An-Nahl untuk Gunung
“Pencapaian pendakian seperti apa yang paling berhasil membuatmu terus mengucapkan ‘alhamdulillah’ saat mengenangnya?”
Kalimat semacam itu acap kali ditujukan kepadaku ketika si penanya baru saja mengetahui bahwa aku suka melakukan perjalanan mendaki gunung. Aku selalu menjawab, “Menginjakkan kaki di puncak Rinjani, gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia, bersama tujuh orang hebat, lalu kembali lagi ke rumah dengan selamat.”
Ya, hingga beberapa hari lalu, jawaban itu masih mengakar sebagai kalimat yang paling berhasil menggambarkan rasa syukur atas pencapaian tertinggiku dalam hal pendakian gunung. Namun, tidak setelah 22 April lalu.
Pada bulan ini setidaknya ada dua hari istimewa yang diperingati oleh masyarakat Indonesia, yakni Hari Kartini (21 April) dan Hari Bumi (22 April). Dua hari itu sebenarnya cukup dijadikan sebagai suatu alasan bagiku untuk melakukan pendakian sebagai seorang wanita; demi menunjukkan betapa aku sebagai wanita memiliki kekuatan untuk menaklukkan medan, sekaligus mempunyai jiwa pecinta alam. Sayangnya, aku bukanlah wanita yang mudah “menggadaikan” pengalaman mendakiku dengan alasan-alasan semacam itu. Bagiku, mendaki adalah sebuah perjalanan spiritual yang tidak bisa disamakan dengan cara memperingati hari apapun. Aku punya cara lain untuk memaknai hari-hari istimewa seperti itu, tanpa harus merusak citra spiritual aktivitas mendaki yang telanjur melekat di dalam diriku.
Tepat pada Sabtu, 22 April 2017, aku melakukan pendakian tunggal. Karena itu, perjalanan sengaja kulakukan pada hari libur panjang—yang kuyakini akan dipilih banyak pendaki untuk berkemah di gunung. Tentu saja aku sudah memperhitungkan segala kemungkinan. Singkatnya, aku sudah mematangkan segala persiapan sebelum keberangkatan, meskipun gunung yang kupilih hanya memiliki ketinggian tidak lebih dari 2.000 mdpl.
Lantas, dalam rangka apa aku melakukan perjalanan mendaki gunung kali ini? Sudah pasti bukan untuk menunjukkan kemampuanku sebagai wanita atau kecintaanku pada alam. Pendakian ini terlaksana karena sebuah dorongan bernama r-i-n-d-u. Apa yang bisa dilakukan kerinduan, kalau bukan mendesak si perindu untuk segera menuntaskan rasa rindunya? Dan, apa daya si perindu untuk mengobati perasaannya, kalau bukan dengan menjumpainya?
Aku rindu ketika langkah demi langkah kakiku bergantian menjejaki tanjakan tanah dan batu sembari menundukkan kepala mengucapkan takbir. Aku rindu sesekali menyentuh dedaunan dan rerumputan di sepanjang jalur pendakian sembari tersenyum mengucapkan salam. Aku rindu sejenak menyandar pada akar atau batang pohon sembari mengatur napas mengucapkan istighfar. Aku rindu memandangi hamparan bumi sembari menahan haru mengucapkan tasbih. Aku rindu mencuri-curi pandang ke arah puncak sembari mendongak mengucapkan tahlil. Aku juga rindu dikelilingi kabut atau mendengar kicau burung sembari terpejam mengucapkan tahmid.
Kerinduan-kerinduan itu pada akhirnya mendorongku membayar tunai obatnya dengan melakukan pendakian dan berkemah. Usai mengopi-mengobrol bersama tetangga tenda, kepada ekosistem gunung kupersembahkan sebuah hadiah kecil. Sebuah tanda terima kasih yang sudah sangat lama ingin sekali kuberikan untuk setiap gunung yang kudaki, tetapi baru kali ini tersampaikan: Surat An-Nahl!
Entah sejak kapan aku jatuh hati kepada An-Nahl. Menyelami makna yang terkandung di dalam surat yang memiliki arti ‘lebah’ itu membuatku semakin ingin berakrab dengannya. Karena itu, pembacaan An-Nahl di puncak menjadi alasan paling utama yang membuatku melakukan pendakian hari itu.
Betapa Allah telah berfirman dengan surat yang seindah itu untuk memberikan petunjuk, rahmat, serta kabar gembira kepada semesta. Salah satu penekanan yang kupahami dalam An-Nahl adalah penjelasan tentang pencipataan beraneka makhluk—baik yang diketahui, maupun tidak diketahui manusia—dengan tujuan kemanfaatan bagi manusia. Allah memberikan contoh penciptaan kuda, bagal, dan keledai sebagai tunggangan manusia. Ayat kedelapan tersebut kemudian diikuti dengan ayat yang menjelaskan tentang hak Allah untuk memberi penerangan jalan lurus kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Bagiku, kedua ayat itu adalah penanda agar aku senantiasa bersyukur atas segala nikmat, sekaligus pengingat untuk terus meminta perlindungan dari kelalaian-kelalaian atas keberlimpahan nikmat yang kuperoleh.
An-Nahl juga menggambarkan tentang hikmah penurunan air hujan. “Dialah yang telah menurunkan air (hujan) dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuhan, padanya kamu menggembalakan ternakmu” (Q.S. An-Nahl: 10). Aku bisa merasakan besarnya kasih sayang Allah hanya dari sebuah peristiwa, h-u-j-a-n. Secara kasatmata, setidaknya ada tiga kebijaksanaan-Nya yang kupahami dari penurunan hujan. Pertama, bahwa air hujan dapat dimanfaatkan sebagai minuman—sementara manusia membutuhkan air minum setiap hari sepanjang hidupnya. Kedua, bahwa air hujan dapat menumbuhkan tanaman dengan atau tanpa campur tangan manusia—sementara keberadaan tanaman sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Ketiga, bahwa air hujan yang menumbuhkan tanaman itu berguna sebagai pakan ternak—di mana hewan ternak dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia. Ketiganya memiliki satu muara, yakni kebermanfaatan air hujan bagi manusia.
Pun, An-Nahl memberitahukan kepadaku bahwa malam dan siang, matahari dan bulan, serta bintang-bintang telah Allah ciptakan dalam berbagai jenis dan beragam warna. Sedangkan di bumi, Allah tancapkan gunung-gunung untuk menghindari goncangan dan sungai-sungai serta jalan-jalan diciptakan sebagai petunjuk. Lalu, Allah menundukkan dan mengendalikan semua yang ada di langit dan di bumi itu demi kebaikan manusia. Sungguh, ada banyak ajaran kasih sayang yang bisa didapat pada setiap ciptaan-Nya.
Keistimewaan makhluk-makhluk dalam ekosistem gunung yang direkam Al Quran semacam itulah yang pada akhirnya membuatku memaknai perjalanan mendaki gunung sebagai sebuah “ziarah ruhani”. Pada setiap apa-apa yang kujumpai di gunung, aku semakin diyakinkan atas kebesaran kuasa-Nya. Pada setiap apa-apa yang secara sengaja maupun tidak sengaja kudapati di gunung, aku semakin diperlihatkan nirbatas rahmat-Nya.
Selayaknya sebuah tempat ziarah, aku memuliakan ekosistem gunung. Di gunung aku merasa menemukan makhluk-makhluk yang selalu tunduk pada perintah Sang Pencipta-nya. Aku bisa mengambil pelajaran dari kehidupan dan kematian mereka. Di gunung aku juga bisa mengasah kepekaan ruhaniku, di samping kepekaan jasmani. Maka, kurasa, adalah sebuah hal wajar jika sekarang aku menjawab pertanyaan yang tertera di awal tulisan ini dengan pernyataan, “Hal membahagiakan sepanjang pengalaman mendaki yang membuatku paling bersyukur adalah ketika aku berkesempatan menghadiahi ekosistem gunung dengan bacaan Surat An-Nahl di puncak, ditemani hujan dan badai pada dini hari.”
Al fatihah untuk setiap gunung di seluruh penjuru bumi dan di planet lain.
Terkadang, kita hanya perlu berjalan keluar rumah—pergi ke tempat yang tidak setiap hari kita lihat, menyapa makhluk Tuhan yang lain, dan mengenal orang-orang baru. Agar kita tidak hanya ingat, tetapi juga benar-benar memahami bahwa Allah itu Mahakuasa, Mahasuci, dan Mahabesar.
*Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, Edisi – 30, Jumat 28 April 2017. Penulis buku Suluh Kebahagiaan (MJS Press, 2016) pada tulisan yang berjudul “Surat untuk Kekasih (Wong Begja Ala Ki Ageng Suryomentaram dalam Jogja Asat).
Category : buletin
SHARE THIS POST