Sultan Agung Mataram Islam
Asal mulanya Mataram Islam sebagai kerajaan baru berasal dari tanah Mentaok, pemberian Sultan Hadiwijaya kepada Ki Ageng Pemanahan (Kesultanan Pajang) pada 1556.
Peristiwa tersebut berlangsung atas usulan Sunan Kalijaga yang khawatir akan prediksi Sunan Giri menjadi kenyataan. Sejak tanah Mentaok resmi milik Ki Ageng Pemanahan, lalu dikenal sebagai Ki Ageng Mataram (Krisna Bayu Adji dan Sri Wintala Ahmad, 2019).
Ki Ageng Mataram merupakan sultan dari Kerajaan Pajang. Setelah meninggal, Mataram Baru kemudian berdiri dengan raja pertama bergelar Panembahan Senapati ing Ngalaga Sayidin Panatagama Khalifatullah (1587).
Kemudian dilanjutkan oleh Raden Mas Jolang (1601), Raden Mas Wuryah (1613), hingga ke empat yakni Raden Mas Rangsang atau dikenal sebagai Sultan Agung Senapati Ing Ngalaga Abdurrahman (1613-1645).
Sultan Agung memiliki nama asli Raden Mas Rangsang, lahir di Kotagede pada 1613. Secara silsilah, ia merupakan keturunan langsung dari Pangeran Brawijaya, Raja Majapahit. Adapun pendapat lain menyebutkan bahwa Sultan Agung juga merupakan cicit dari Sultan Hadiwijaya (pemilik tanah Mentaok pertama).
Sultan Agung memimpin Mataram di usia muda, kurang lebih 20 tahun (Maharsi, 2016: 2476). Sebagai raja baru di usianya yang masih muda, tidaklah mudah. Ia membangun kepercayaan diri dan optimis sebagai raja, hingga akhirnya muncul cita-cita besar untuk menaklukan pulau Jawa di bawah pemerintahannya.
Hari demi hari dilalui sebagai raja kerajaan Mataram Baru. Sifat dan perilaku Sultan Agung muda membuat masyarakat Mataram merasa nyaman dan terlindungi. Lambat laun Sultan Agung tumbuh dan berkembang menjadi sosok raja yang matang dengan memiliki wawasan dan pengalaman yang luas.
Rasa keingintahuan Sultan Agung terhadap ilmu pengetahuan begitu tinggi, hingga suatu ketika ia pernah mengundang orang Belanda ke istana Mataram untuk belajar bahasa, dan hal-hal yang terkait dengan Belanda. Raja mempelajari betul, konon Sultan Agung menguasai berbagai bahasa.
Bahasa merupakan salah satu gerbang ilmu pengetahuan. Sultan Agung, selain memiliki privillage sebagai keturunan raja, ia tidak mengandalkan keistimewaan itu seluruhnya. Buktinya, upaya-upaya yang dilakukan dengan cara banyak belajar, dan tanggung jawab mengemban amanah.
Apa yang dilakukan Sultan Agung dalam mewujudkan impian besarnya? Ia mulai melakukan ekspansi dengan mengerahkan prajurit-prajurit kerajaan Mataram memerangi kerajaan-kerajaan lain di Madura, Surabaya, Kediri, hingga ke Batavia.
Sifat optimis membuat Sultan Agung tidak gentar dalam menghadapi banyak tantangan, sebab dalam mewujudkan impian besar diimbangi dengan usaha yang besar pula.
Selama berjalannya pemerintahan Kerajaan Mataram Islam di bawah kepemimpinan Sultan Agung, tidak luput dari munculnya pergolakan dan pemberotakan, baik dari dalam tubuh kerajaan maupun dari pihak lawan. Saat itu keadaan politik di Mataram Islam mengalami pasang surut.
Dalam catatan Babad Tanah Jawi (1941), W.L. Olthof menyebutkan bahwa kerajaan Mataram Islam tetap berdiri kokoh dibawah pemerintahan Sultan Agung. Karena kemampuannya dalam memimpin kerajaan, Sultan Agung kemudian dikenal sebagai raja Ambek Adil Para Marta (menegakkan keadilan tanpa pandang buku).
Gelar Sultan Agung lainnya, yakni Panembahan Hanyakrakusuma atau Prabu Pandita Hanyakrakusuma, pada awal pemerintahan. Susuhunan Agung Hanyakrakusuma atau Sunan Agung Hanyakrakusuma, setelah menaklukkan Madaru pada 1624. Sultan Agung Senapati ing Ngalaga Abdurrahman atau Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram, diperoleh dari penguasa Arab/Mekkah ketika itu. Gung Binathara (agung, memiliki kekuasaan seperti batara/dewa). Mbahu Dendha Nyakrawati (pemelihara hukum dan penguasa dunia). Berbudi Bawa Leksana (meluap budi luhurnya, selaras kata dan perbuatan).
Mengupas tentang sosok Sultan Agung, selain raja yang ahli dalam memimpin, berwawasan luas, juga merupakan raja yang taat pada agama Islam.
Di masa pemerintahan Sultan Agung, perhatian terhadap nilai-nilai agama Islam dibuktikan di antaranya dengan menyatukan Kalender Saka dan Kalender Hijriah (dimulai hari Jumat Legi, tanggal 1 Sura tahun Alip 1555 bertepatan dengan 1 Muharam tahun 1043 Hijriah, atau tanggal 8 Juli 1633). Kalender ini hingga kini masih digunakan oleh masyarakat Jawa.
Dalam sistem pemerintahan kerajaan, mewajibkan seluruh keluarga istana, seperti pemangku jabatan di Istana hingga abdi dalem, untuk shalat jika sampai waktu shalat. Sultan Agung juga membentuk institusi kepenghuluan yang mengatur kehidupan beragama umat Islam, dan mengubah peradilan yang dilaksanakan di istana menjadi peradilan Serambi yang dilaksanakan di serambi masjid.
Dalam ranah budaya dan literasi Jawa Islam, Sultan Agung menghidupkan kembali Sekaten (yang pertama kali diadakan di era Demak), dengan beberapa modifikasi budaya untuk memperingati Maulud Nabi Saw, hingga menulis Babad Tanah Jawa, yang antara lain berisi silsilah raja-raja Mataram mulai dari Nabi Adam as. Sultan Agung sendiri menggunakan gelar “sultan” sejak 1641.
Dari serangkaian kisah tentang Sultan Agung, membawa keberhasilan kerajaan Mataram Islam menuju puncak kejayaan. Tanggung jawabnya dalam memakmurkan rakyat juga dilakukan. Penaklukan pulau Jawa telah berhasil dicapai, kematangan diri dan sikap menjadikannya layak diteladani. Alasan yang dapat dilirik ialah karakter yang optimis, tegas, bijaksana, berkharisma dan berwibawa, lemah lembut, dan taat pada ajaran agama.
Setidaknya ada tiga pilar ajaran dari Sultan Agung yang masih dapat kita jadikan sebagai rujukan.
Pertama, manunggaling kawula-Gusti dalam dua mode. Mode pertama, mode kesalehan, yakni hamba yang ikhlas dan rida melakukan semua perintahnya dan menjauhi larangan-Nya (kehendak Gusti adalah kehendak hamba).
Mode kedua, mode kepemimpinan, yakni abdi yang mempersembahkan kepatuhan dan kesetiaan, dan pemimpin yang mempersembahkan kesejahteraan dan kemaslahatan bersama, lalu bersama mewujudkan visi yang diidealkan.
Kedua, sangkan paraning dumadi, yakni keberadaan manusia merupakan hasil dari ciptaan Tuhan Yang Maha Pencipta yang kelak pada akhirnya juga akan kembali kepada-Nya.
Keberadaan manusia di dunia fana ini (alam madya) dipandang hanya sebagai yang sekadar singgah saja dari perjalanannya yang dimulai dari alam awal (alam purwa) yang nantinya akan menuju ke alam akhir, alam kelanggengan (alam wusana).
Ketiga, memayu hayuning bawana. Maknanya, memperindah keindahan dunia, memberi arti dari hidup. “Memayu” yakni menanamkan kebaikan untuk mendapatkan hasil yang baik; mengendapkan nafsu agar lebih terkendali dan dunia semakin terarah.
Dari sekilas tentang biografi Sultan Agung, banyak hal yang dapat kita teladani sebagai calon pemimpin, baik negara, provinsi, kota, desa, keluarga maupun memimpin diri sendiri. Seorang pemimpin akan disayangi bilamana ia mampu menjadi contoh yang baik, menyayangi rakyat, dan mensejahterakan kehidupan rakyatnya.
Bersikap bijaksana, lemah lembut, berwawasan luas, dan taat pada agama perlu dimiliki oleh pemimpin saat ini. Keringnya wawasan dan gersangnya jiwa terhadap nilai agama menjadikan pemimpin yang berwatak keras, tidak peduli pada rakyat, akibatnya kehilangan kepercayaan dari rakyat.
Referensi:
Olthof, W.L., 2016, Babad Tanah Jawi, Yogyakarta: Narasi.
Ngaji Filsafat 212: Sultan Agung, edisi The Philosopher King bersama Dr. Fahruddin Faiz di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, 28 November 2018.
Category : kolom
SHARE THIS POST