Tawakal

slider
30 April 2018
|
83127

Sebut saja namanya Soib, dia seorang mahasiswa di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, asal Bangkalan, Jawa Timur. Dalam kesehariannya selama dua tahun kuliah, Soib berjalan kaki menyusuri trotoar antara UIN dan Gowok untuk memenuhi jadwal kuliahnya. Suatu saat, Soib membeli sepeda ontel second, dan sejak saat itu ia sudah jarang nyeker ke kampus.

Awalnya, Soib sangat menjaga sepedanya. Ke mana-mana ia membawa kunci rantai. Tak perduli di keramaian atau di tempat yang sepi, ia selalu merantai sepeda kesayangannya itu. Lama-lama setelah sampai paruh semester 4, kabiasaannya merantai sepeda sudah mulai kendor dan berkurang. Sering sepedanya ia tinggalkan begitu saja di tempat parkir fakultas. Hingga akhirnya Soib tak pernah membawa kunci rantai kemanapun ia pergi dengan sepedanya, aman pikirnya.

Tibalah suatu hari, Kamis 15 Maret 2018 pukul 11.15 WIB, peristiwa itu terjadi di Gang Ambarkusumo, Gowok. Di mana saat itu orang sekontrakan ada semua (kebetulan Soib ngontrak), dan saat itu Soib sedang asik dengan dagangan bukunya yang ia bungkus untuk dikirim ke Sumatera Barat.

Selesai packing buku ia hendak pergi ke kantor pos untuk mengirimkan paket buku dengan memakai sepeda. Buru-buru ia keluar dari rumah, menengok sepeda yang sejak pagi buta dia taruh di serambi rumah. Sepeda itu tidak ada. Dia masuk kembali, dikira sepedanya dipinjam teman kontrakan pergi membeli sayur. Namun lama ia tunggu sepeda itu tak kunjung datang, kemudian ia baru ingat, teman-temannya lengkap berada di rumah kontrakan semua.

Sejak itu Soib menyadari kalau sepedanya raib digondol maling di siang bolong. Sontak teman-teman sekontrakan melakukan pengejaran ke berbagai arah menggunakan sepeda motor, namun hasilnya nihil. Ada sebersit harapan di dada Soib, karena di depan rumah kontrakannya terdapat CCTV yang menghadap ke serambi. Namun, memang takdir sepedanya dibawa orang. Si pencuri memakai helm dan jaket panjang sehingga tidak dapat diidentifikasi wajahnya.

Hampir sebulan peristiwa itu berlalu (Senin 09 April 2018), semua teman Soib mengetahui perihal peristiwa kehilangan tersebut, tetapi mungkin hampir terlupakan. Kemudian, Si Saipul (nama samaran) datang berkunjung ke rumah kontrakan Soib dengan bersepeda, alih-alih ingin mengerjakan tugas kuliah hingga ia menginap di rumah kontrakan Soib dan teman-teman.

Menjelang malam, salah satu teman Saipul mengingatkan supaya sepedanya dimasukin ke ruang dapur. Karena dikhawatirkan nasibnya sama dengan sepeda Soib beberapa hari yang lalu dibawa orang. "Siang bolong aja raib apalagi malam hari," celetuk salah seorang teman. Namun, Saipul tidak menghirau, ia yakin tak akan terjadi apa-apa. Malam itu pukul 02.00 WIB, Soib pulang kekontrakan. Ia sebenarnya heran kenapa Saipul berani menaruh sepeda di luar rumah, ia hendak menegur Saipul yang sedang tidur di ruang tamu, tapi rasa capek membuatnya enggan untuk itu, Soib langsung ngeloyor tidur.

Pagi harinya, setelah azan Subuh, tiba-tiba Soib dibangukan oleh suara ribut-ribut. "Ib... Ib... bangun, Subuh, tadi pas pulang sepeda Saipul masih ada gak?" tanya teman yang membangunkannya untuk salat subuh.

"Ada kok. Memangnnya kenapa?" tanya Soib memastikan.

"Hilang cuy..., kamu kok gak bantu masukin kalau tadi malam jam 2 masih ada. Saya capek, langsung tidur. Lagian orangnya aja gak peduli sama sepedanya. Lah Saipul sudah tahu kalau punyaku pernah hilang, kok masih aja berani dia," sanggah Soib, kesal.

Sebelum kita membahas cerita di atas, ada baiknya kita bandingkan dengan cerita seorang sahabat Nabi saw berikut. Cerita dari sahabat Anas r.a, ia berkata: Suatu hari datanglah seorang lelaki menemui Nabi Saw dengan mengendarai unta betina. Kemudian ia tinggalkan begitu saja unta itu di salah satu pintu masjid tanpa tali dan ia masuk menemui Rasulullah Saw. Melihat hal itu Rasulullah Saw bertanya kepadanya, mengapa untanya dibiarkan begitu saja.

Orang itu pun menjawab, "Aku biarkan ia wahai Rasulullah, saya tawakal kepada Allah SWT."

Kemudian Rasulullah meluruskan tindakannya, "Ikatlah dulu untamu, kemudian barulah kamu bertawakal kepada Allah SWT" (HR. Tirmidzi).

Dalam sebuah cerita juga disebutkan, ada dua orang sufi yang berkawan. Mereka berbincang-bincang di tengah padang sahara. Di sela-sela mereka ngobrol, mereka melihat seekor burung yang patah sayapnya disuapi oleh burung lainnya.

"Subhanallah, Maha Kuasa Engkau. Tak pernah sedikitipun engkau meninggalkan hambanya. Burung yang sayap patahpun tak kau sia-siakan, kau jamin rizkinya," celetuk salah satu sufi itu. "Lalu mengapa aku harus mencari rizki Allah SWT," sambungnya.

Sufi yang satunya mendengar saudaranya berkesimpulan seperti itu langsung menyahut, "Benar wahai saudaraku, rahman dan rahim Allah meliputi sesuatu. Namun, burung yang mengantarkan makanan kepada burung yang patah sayapnya jauh lebih baik, ia lebih memiliki kekuatan untuk memberi daripada berpasrah menerima."

Bila dipikir sejenak, tidak ada perbedaan yang kontekstual dalam cerita tersebut. Semuanya sama, salah kaprah dalam cara pandang tentang tawakal. Atau, mirip dengan putus asa, pasrah pada keadaan.

Pada cerita pertama, awalnya Soib sangat menjaga sepeda kesayangannya. Namun seiring berjalannya waktu, Soib merasa aman dengan lingkungan sekitar, bahkan terlalu yakin tentang keamanan lingkungannya. Apalagi ia merasa tenang karena ada CCTV yang terpasang menghadap kepada serambi rumah kontrakan. Sedangkan tindakannya untuk mengantisipasi sepeda itu supaya tak hilang tidak ada.

Dilanjut dengan peristiwa setelahnya, peristiwa si Saipul. Mirisnya, peristiwa yang menimpa Soib bukan menjadi pelajaran bagi Saipul. Namun ia mengulangi tindakan ceroboh itu, sangat ceroboh sebenarnya. Bagaimana tidak, sejak Soib kehilangan sepedanya ia bukannya tidak mengetahuinya, ia termasuk dari orang-orang yang ikut iba terhadap Soib saat kehilangan sepedanya. Lah, kok ya diulangi lagi! Secara naluriyah orang awam, peristiwa yang menimpa Soib masih mendingan daripada peristiwa yang menimpa Saipul. Lah kok bisa sama-sama ceroboh? Ya, sepeda si Soib hilang di siang bolong, di mana barang itu ada di depan rumah sedangkan pemiliknya berada dibalik pintu.

Ia merasa aman karena tetangganya ramai mondar-mandir di samping dan di depan rumahnya, siang hari tidak serawan malam hari. Sedangkan si Saipul benar-benar tidak ada usaha lain lagi selain yakin bahwa sepedanya aman. Padahal sudah mengetahui bahwa malam hari adalah waktu yang rawan kehilangan. Lah kok tidak mau ditawari supaya sepedanya ditaruh di dalam rumah saja. Keblinger bukan?

Sebenarnya, tindakan pencurian itu terjadi karena ada niat dari pelakunya, direncanakan dengan sebaik mungkin dan dilaksanakan apabila didukung oleh kesempatan. Namun, ada juga yang awalnya tidak ada niat untuk mengambil dan menggasak barang orang lain, tetapi karena didukung oleh kesempatan, maka orang itu akhirnya mencuri. Di luar itu, ada lagi penyebab hilangnya sesuatu, bukan karena dicuri melainkan karena benda itu bergerak, seperti hewan tunggangan atau hewan kembala yang ditinggalkan tanpa diikat.

Nah, bila kasusnya demikian semestinya sikap waspada dan hati-hati itu harus tetap ada. Minimal jangan sampai seperti apa yang dilakukan oleh si Soib dan Saipul. Melihat nasihat Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Tirmidzi di atas, konsep tawakal sebenarnya bukan hanya semata-mata berpasrah diri kepada Allah SWT, melainkan terdapat usaha yang harus dilakukan dengan benar-benar matang. Karena hasil dari pekerjaan sebagian ditentukan oleh pekerjaan yang tekun dan baik.

Menurut Ibnu Qoyyim Al-Jauzi, "Tawakal merupakan amalan dan ubudiyah hati dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, percaya dan berlindung hanya kepadanya, serta ridha atas sesuatu yang menimpa dirinya, dan berkeyakinan bahwa Allah akan memberikan jalan keluar baginya, dengan tetap melakukan sebab-sebab dan usaha keras untuk memperolehnya." 

Maka bila ditarik kesimpulan dari hadis yang dipertegas oleh pernyataan Ibnu Qoyyim di atas, terdapat dua hal yang harus benar-benar diperhatikan.

Pertama, usaha. Supaya niat bertawakal tidak menjurus terhadap perilaku ceroboh tanpa dasar (berpasrah tanpa usaha), maka perlu ada usaha yang sebaik-baiknya. Bekerja dengan baik menunjukan bahwa seseorang menginginkan hasil yang memuaskan. Mengharap hasil yang sempurna tanpa ada usaha yang baik, maka sama halnya mengharap hal yang tidak ada.

Sama halnya dengan membiarkan sepeda motor di pinggir jalan umum begitu saja tanpa perlindungan, kemudian dia masih berharap motornya tidak akan hilang. Atau, bagaikan orang yang ingin kenyang, namun tak pernah ia menyuapi mulutnya dengan nasi atau apa saja yang membuat bisa kenyang. Ini yang namanya menyia-nyiakan umur dalam mengaharap susuatu yang mustahil (adha'al umro fi thalabil muhali).

Maka usaha di sini, meskipun bukan termasuk tawakal itu sendiri, tetapi merupakan bagian penting dalam menentukan tawakal itu tepat atau tidak. Kedua, berpasrah diri. Setelah usaha dijalankan sesuai jalan dan tuntunan yang telah Allah berikan, menjauhi yang syubhat dan yang haram. Melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Maka tibalah saat berpasrah kepada Allah akan hasil dari pekerjaan kita.

Apa pun yang terjadi dengan hasil pekerjaan kita adalah pemberian Allah SWT. Dalam hal ini tawakal mengajarkan keikhlasan menerima semua yang memang tidak bisa dijangkau ikhtiar manusia. Dan juga karena tawakal adalah pekerjaan hati, maka berdoa adalah pendukung utama terhadapnya. Memohon yang terbaik kepada Sang Penguasa Alam Semesta Raya setelah usaha terbaik dilaksanakan.

Namun, bukan berarti tawakal berhenti di situ, melainkan harus ada evaluasi-evaluasi terhadap pekerjaan yang telah berlalu, dan juga menjadikan pelajaran setiap kejadian yang pernah ditemui saat pekerjaan itu berlangsung atau setelah pekerjaan itu usai. Supaya faktor-faktor penghambat bisa diatasi dengan mudah dan cepat.

Begitulah tawakal seharusnya, selalu berproses bersama pekerjaan dan suasana hati yang berserah diri kepada Allah Swt. Dan sebaliknya, yang harus dijauhi adalah berpasrah tanpa usaha sama sekali untuk mendapatkan hasil yang baik, supaya, sikap pasrah yang demikian tidak mendekati sikap putus asa. Dan juga, bekerja keras tanpa ada sikap pasrah dan disertai doa kepada Allah Swt. Karena hal itu termasuk congkak dan sombong kepadaNya.

Sebaik dan sekeras apa pun usaha manusia, tetap saja Al-Insanu Bittakhyir Wallahu Yatawalla Al-Saraair!

*Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, Edisi-30 Jumat, 27 April 2018/11 Sya'ban 1439 H.


Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Salim Shabir