Carpe Diem; Cara Manusia Menghayati Hidup

slider
22 November 2021
|
44631

“Kau, janganlah mencari (adalah kesalahan untuk mengetahui) akhir yang telah diberikan para dewa kepadaku dan kepadamu, Leuconoe, apalagi mempercayai angka-angka dari Babilonia. O sungguh lebih baik menanggung apa pun yang akan terjadi! Apakah Jupiter masih memiliki banyak musim dingin, atau ini yang terakhir; yang membuat gelombang laut Tirenia terus melemah karena memaksa melawan bibir laut. Bijaklah, saring anggurmu; hidup ini singkat; haruskah kita berharap lebih kepada waktu? Sewaktu kita berbicara, waktu yang membuat cemburu telah surut dan pergi: rampaslah hari ini, dan taruh rasa percaya yang sedikit pada esok hari." -Horace, Odes (seri 1; puisi nomor 11) circa 23 SM.

Kira-kira seperti itulah puisi yang ditulis oleh Quintus Horatius Flaccus, atau yang lebih dikenal sebagai Horace—dalam buku Odes—yang terbit pada tahun 23 sebelum masehi. Lantas apa makna implisit dalam puisi yang dikarang oleh penyair Romawi tersebut? Adalah Carpe Diem. Apa itu? Dan yang terpenting, apakah itu penting?

Pendek kata, Carpe Diem adalah sebuah frasa dari bahasa Latin yang jika ditafsirkan secara kasar bermakna: Petiklah hari ini. Sejatinya, frasa tersebut merupakan bagian dari frasa yang lebih panjang. Versi lengkapnya adalah carpe diem, quam minimum credula posteroyang dapat diterjemahkan sebagai Rebutlah hari ini, berikan sedikit kepercayaan pada esok hari (masa depan).

Secara tersirat, Odes tersebut ingin mengatakan bahwa masa depan tidak dapat diprediksi, dan kita tidak boleh membiarkan kejadian di masa depan terjadi begitu saja. Kita haruslah memaksimalkan hari ini, agar masa depan menjadi jauh lebih baik.

Carpe Diem juga berarti bahwa seseorang harus bertindak sejak hari ini, dan tidak menunggu masa depan. Dengan kata lain, parafrasa ini sama dengan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Sekaligus memberi kita petuah agar jangan menunda-nunda sesuatu.

Hantu-hantu Kecemasan

Kini, pertanyaannya adalah mengapa kita harus menyuarakan kembali frasa usang seperti Carpe Diem itu di masa sekarang?

Karena hidup manusia hari ini ada di zaman gangguan media sosial. Ketika di antara kita memeriksa ponsel lebih dari ratusan kali dalam sehari, dan lebih tertarik untuk menjadi penonton kehidupan orang lain di layar gawai, ketimbang menghidupi realitas yang ada dan benar-benar nyata.

Ditambah lagi, manusia ada di depan distopia baru bernama hiperealitas (ketidakmampuan kesadaran hipotetis untuk membedakan kenyataan dan fantasi, khususnya di dalam budaya pascamodern berteknologi tinggi).

Skenario terburuknya, jika boleh meminjam aporisma Nietzsche, manusia modern adalah entitas yang akan menyaksikan bagaimana kedigdayaan AI (kecerdasan buatan) menjadi tuhan-tuhan baru. Konsekuensi paling logisnya, konsepsi manusia terhadap waktu semakin bias. Seperti tidak ada masa kini karena telah dibius oleh masa depan. Manusia semakin kehilangan fokus pada hari ini dan terlalu larut dalam utopia-utopia masa nanti.

Sialnya waktu terus berjalan, zaman terus berlari, dan manusia semakin sulit untuk menghidupi hari. Sebab, manusia dipaksa menghidupi kosakata semacam globalisasi, digitalisasi, revolusi industri, dan isasi-isasi berbau futuristik lainnya. Manusia dininabobokan oleh jargon-jargon masa depan. Sampai-sampai pikirannya terjangkit penyakit-penyakit kecemasan seperti terlalu mencemaskan hari esok. Namun di sisi lain, malah menyia-nyiakan hari ini, hari yang ada di depan matanya sendiri.

Jika melihat pada data yang ada, angka penderita gangguan kecemasan (anxiety) telah meningkat sebanyak 15% dari tahun 2005. Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dari tahun 2015 menunjukkan bahwa sekitar 264 juta orang menderita gangguan kecemasan.

Belum lagi Pandemi Covid-19 yang tidak berkesudahan. Membentuk kegamangan manusia akan masa depan selangkah lebih nyata. Menjadikan batas antara kehidupan dan kematian semakin dekat, yang pada akhirnya memproduksi kenyataan baru bahwa manusia hidup di bawah bayang-bayang ketakutan akan kematian.

Data dan hipotesis di atas seakan melahirkan alasan kuat, mengapa harus merevitalisasi makna Carpe Diem. Sebab filosofi yang dikandungnya berguna bagi manusia yang acap kali dihantui kecemasan. Di dalamnya akan ditemukan wacana besar bahwa, setiap manusia haruslah menikmati fragmen-fragmen insiden yang sedang berlangsung, meresapi keesoterisan momen ini, dan bukan lebih mengkhawatirkan tentang masa depan. Representasi sederhananya adalah dengan menjalani hari-hari tanpa dihantui ketakutan, dan menyikapi dengan tenang hal-hal yang belum tentu terjadi.

Epikureanisme

Carpe Diem biasanya dimaknai dengan latar belakang Horace yang bertopang pada filsafat epikureanisme. Sehingga pemaknaan Carpe Diem bukan untuk mengabaikan masa depan, tetapi lebih untuk menyadari bahwa masa depan dimulai dari hari ini.

Filosofi ini tentu tercermin dalam puisi-puisi Horace yang telah mewakili filsafat epikureanisme. Epikureanisme singkatnya adalah aliran filsafat yang didasarkan pada ajaran-ajaran Epicurus (Epikuros). Sistem filsafat ini beraliran materialisme yang tentu pada praktiknya sering kali menyerang gagasan-gagasan takhayul, mitos-mitos tertentu, kredo para dewa-dewi, dan intervensi ilahi.

Menurut Mazhab Epikureanisme, cara terbaik untuk menjalani hidup adalah dengan mengarahkan kesadaran manusia ke dalam keadaan ataraxia (bebas dari rasa gelisah, takut, atau cemas; tenang). Istilah dan doktrin ini berakar dari Yunani Kuno. Pertama kali digunakan oleh filsuf bernama Pyrron, kemudian oleh Epicurus, dan kaum Stoik.

Selain itu, epikureanisme menggambarkan bahwa salah satu keadaan ideal adalah keadaan yang disebut dengan aponia (keadaan yang absen dari rasa sakit). Perpaduan antara aponia dan ataraxia inilah yang dipandang sebagai puncak kebahagiaan.

Pendiri filsafat ini, Epicurus, percaya bahwa kebahagiaan adalah kebaikan terbesar dan tertinggi. Dan seperti Mazhab Filsafat Helenistik lainnya, kaum Epikurean percaya bahwa kebahagiaan adalah tujuan hidup manusia. Oleh karena Horace adalah seorang Epikurean. Maka Carpe Diem seakan menjadi kepingan puzzle terakhir yang memungkinkan manusia mencapai keadaan bahagia total ala epikureanisme.

Kesalahpahaman di Baliknya

Sayangnya, filosofi Carpe Diem terkadang disalahpahami. Mungkin karena frasa ini berhubungan langsung dengan epikureanisme sebagai pandang filsafat yang juga sering disamakan dengan gagasan-gagasan hedonisme. Tidak mengherankan, mengingat epikureanisme sekilas mirip dengan hedonisme yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebahagiaan sebagai kebaikan intrinsik.

Distingsi antara epikureanisme dan hedonisme terletak pada usaha-usaha untuk mencapai kebahagiaan tersebut. Hedonisme mencari kebahagiaan atau kesenangan dengan foya-foya secara materialistik. Ini tentu berbeda dengan epikureanisme yang menekankan pada gagasan hidup sederhana, dan menyebut tidak adanya rasa sakit sebagai kebahagiaan terbesar.

Esensi Carpe Diem juga kadang kala disalahartikan sebagai makan dan minumlah, karena besok kita akan mati. Pemaknaan lebih jauh dari Carpe Diem sebenarnya hanya digunakan untuk membenarkan tindakan spontan serta memanfaatkan hari ini sebaik mungkin, agar manusia tidak mengulangi kebodohan yang sama.

Implementasi Carpe Diem pada kehidupan sehari-hari secara tidak langsung membuat manusia menikmati momen ini, hari ini, jam ini, menit ini, detik ini. Bahwa manusia memang harus menikmati hidup yang dimiliki saat ini. Yang pada akhirnya akan menyadarkan manusia bahwa, kekhawatiran yang berlebih bisa memperburuk keadaan, dan hanya membuat dirinya terkungkung pada stres yang tidak tercegah.

Dan pada akhirnya, Carpe Diem juga berarti membuat keputusan yang berani, agar tidak menyesal di kemudian hari. Tentu agak sedikit berbeda dengan Amorfati versi Nietzsche yang berarti belajar mencintai pilihan yang sudah dibuat. Namun, yang menjadi narasi dan pertanyaan utama adalah berani atau tidak kita, sebagai manusia membuat keputusan tanpa penyesalan? Berani atau tidak hidup tanpa belenggu masa lalu dan tanpa kecemasan akan masa depan?

Terakhir, di tengah cepatnya dunia dewasa ini menghidupkan kembali makna Carpe Diem adalah salah satu pilihan waras yang bisa untuk diambil. Masa lalu adalah masa lalu, masa depan adalah masa depan, dan masa kini adalah apa yang benar-benar penting. Jangan meratapi pada apa yang hilang, fokus pada apa yang seharusnya datang. Hiduplah di saat ini, di momen ini, tanpa terbebani hidup sebelumnya atau selanjutnya.


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Mochammad Aldy Maulana Adha

Mochammad Aldy Maulana Adha lahir di Bogor, Jawa Barat—pada 27 Maret 2000. Seorang Pengarang; Founder Gudang Perspektif; Editor-Ilustrator Omong-Omong Media; & Penerjemah paruh-waktu. Bisa disapa melalui: email-genrifinaldy@gmail.com; instagram-@genrifinaldy; twitter-@mochaldyma.