Pada suatu hari, Abu Nawas diundang kenduri. Bukan kenduri biasa. Orang-orang terpandang dan kaya hadir di sana. Semua undangan berpakaian bagus. Kecuali Abu Nawas. Baju yang dikenakannya biasa-biasa saja. Celana lusuh. Sandalnya jelek. Bajunya kusam.
Alhasil Abu Nawas tidak mendapatkan pelayanan dan sambutan yang semestinya. Resepsionis menerima semua tamu dengan cara istimewa, kecuali Abu Nawas. Demi mendapatkan perlakuan sama, Abu Nawas pulang untuk mengganti pakaiannya.
Abu Nawas mafhum ia diperlakukan demikian karena tampilannya yang sederhana. Itu lumrah. Kini setelah pulang, ia datang lagi ke kenduri dengan mengenakan jas paling bagus dan sepatu paling mengkilap.
Sesampainya di sana, Abu Nawas mendapatkan perlakuan yang wah! Persis seperti perkiraannya. Ia disejajarkan dengan tokoh-tokoh, orang kaya, dan kaum terpandang.
Tibalah kini waktu makan siang. Semua tamu lahap menikmati hidangan yang tersaji, kecuali Abu Nawas.
Ia mengambil makanan, tetapi tidak ia makan. Malah semua makanan yang diambil itu ia tumpahkan ke saku baju dan celananya. Ia mengambil minum tetapi dituangkan ke saku jas dan sepatunya.
Sontak semua mata para hadirin tertuju padanya. “Ada apa denganmu hai Abu Nawas?”, tanya salah seorang penerima tamu. “Ada apa lagi dengan Abu Nawas ini?”, tanya yang lain.
Dengan senyum kecil, Abu Nawa menjawab: “Saya tidak berhak menikmai hidangan lezat ini, yang berhak adalah baju dan celana saya karena ia mendapatkan kehormatan di sini. Ketika saya datang pertama kali tadi, saya diacuhkan karena pakaian saya jelek. Setelah berganti pakaian bagus nan indah, saya mendapat kehormatan. Jadi orang-orang di sini tidak menghormati saya. Mereka hanya menghormati pakaian saya. Karena itu, makanan ini saya berikan kepada jas, celana, dan sepatu saya saja”.
***
Sebagian orang berpendapat bahwa kesan pertama sangat menentukan. Itu benar.
Jika kesan pertama menarik dan meyakinkan, maka separuh jalan dari rencana sudah ada dalam genggaman tangan. Tetapi bila kesan pertama gagal total, maka langkah berikutnya terasa berat sekali.
Naifnya, sebagian orang hanya membangun kesan pertama lewat tampilan fisik semata. Hal ini wajar-wajar saja, karena kebanyakan orang sangat mudah terpukau dan ternganga pada tampilan fisik semata.
Padahal pandangan mata tidak selalu jujur. Sering menipu. Orang dengan tampilan sederhana sering dicampakkan dan diabaikan karena dianggap tidak mengenakkan mata.
Sebaliknya, yang serba mewah dan tampil dengan perfect selalu dipuja, diberi tempat tinggi tersendiri. Mata memang sangat mudah terpesona.
Pandangan demikian mengakibatkan banyak orang mengejar gaya hidup mahal, agar tampil meyakinkan. Dengan tampilan yang meyakinkan, maka orang akan mudah menaruh hormat.
Dengan kehormatan, semua yang susah menjadi mudah, yang sulit mulai terurai sedikit demi sedikit.
Sebaliknya dengan tampilan apa adanya dan biasa-biasa saja, akan benyak pertanyaan yang menggantung yang mesti segera terjawab. Keramahan juga tidak selalu diperoleh dengan tampilan sederhana.
Pengalaman senada dengan Abu Nawas juga pernah saya alami dalam sebuah acara pelantikan. Waktu itu saya tidak mengenakan jas resmi komunitas tersebut. Kendati posisi saya sebagai ketua. Karena saat itu, jas sedang saya cuci dan belum kering ketika gelaran acara dimulai.
Ketika memasuki ruang utama di acara itu, saya langsung duduk di deretan kursi depan yang disediakan. Penerima tamu mengintai dan mengikuti saya dari belakang.
Si penerima tamu mengingatkan saya untuk duduk di belakang, sebab deretan kursi di depan dimiliki oleh mereka para pimpinan dan tamu undangan.
Saya hanya tersenyum seraya berbisik pelan, “Saya ketuanya. Jas saya basah belum kering. Jadi maaf, saya memakai pakaian seadanya.”
Petugas itu langsung meminta maaf dan mempersilakan saya duduk di depan. “Jadi cuma jas itu yang membuat saya dihormati di sini”, batin saya sambil terkekeh.
***
Tidak ada larangan mengenakan tampilan bagus dan indah. Bukankah Allah itu Mahaindah dan Dia mencintai keindahan? Memang! Tetapi jangan sampai kita menghormati seseorang karena bungkusnya.
Mewah atau tidak tampilannya, mereka tetap harus peroleh penghargaan yang sama. Seharusnya manusia dihargai bukan karena bungkusnya, bukan karena embel-embelnya, tetapi semata-mata karena mereka seorang manusia.
Ibarat bibir, tampilan itu gincu. Sedang yang berharga dan patut dihormati bukanlah gincu itu, bukan pula bibir yang diolesi gincu itu, melainkan ucapan yang keluar dari bibir itu. Kehormatan seseorang terletak pada kualitas ucapannya, bukan bibir apalagi harga gincu di bibirnya.
Tampilan yang baik adalah tampilan yang selayaknya. Tidak berlebihan. Tetapi juga tidak kumuh. Kita bisa berpenampilan dengan menyesuaikan segala sesuatu keadaan atau acara yang ada.
Tetapi sikap kita kepada orang lain hendaknya tetap sama, tidak membeda-bedakan hanya karena tampilannya saja. Lebih-lebih tampilan yang terpandang mata di kali pertama. Wallahu’alam.