Waktu

20 September 2018
|
1144

Sebenarnya, dari sudut pandang ruhani, dunia tak mengalir melalui waktu melintasi garis lurus dari masa lalu ke masa depan. Alih-alih, waktu dalam visi spiritual bergerak melalui diri kita sekaligus di dalam diri kita dalam alur spiral yang tanpa ujung. Keabadian bukanlah waktu tanpa akhir, melainkan nir-waktu, kata Syeh Shams Tabrizi. Waktu (waqt) adalah ketika pemberian Ilahi "sampai" ke penerima (makhluk). Apapun pemberian itu, ia memuat kualitas ilahiah. Sufi akan menerima apapun yang datang pada dirinya, entah itu susah dan sedih atau senang dan bahagia. Sebab, pada saat pemberian itu tiba, seorang sufi selalu melihat bukan pada apa wujud pemberian itu melainkan siapa yang memberikannya. Karenanya, sufi biasanya selalu memperhatikan momen sekarang, saat ini, sebab pada "saat ini" itulah gagasan masa lalu dan masa depan yang diciptakan pikiran menjadi lebur dalam "saat atau momen sekarang." Sering kita dengar ungkapan "sufi adalah putra waktu," yakni┬á hidup dalam momen di mana ia terserap dalam Sang Waktu itu sendiriÔÇödi sini kita ingat riwayat menyebutkan Tuhan┬á berfirman "La tasub ad-dahr, anaad-Dahr" (jangan mengutuk waktu, karena Akulah Sang Waktu). Allah adalah Maha Awal dan Maha Akhir dalam arti tidak ada yang mendahului-Nya dan tak berawal dari sesuatu, dan tidak berakhir pada sesuatu dan karenanya tidak ada sesuatu sesudah-Nya. Dahr tak bisa diwadahi ruang, sebab ia berakar dari Allah. Maka ÔÇ£zamanÔÇØ adalah penyebaran mode keberadaan (wujud). ÔÇ£DahrÔÇØ adalah sumber, ÔÇ£zamanÔÇØ (hari-hari, aliran ÔÇ£saatÔÇØ yang kita kenal dan rasakan) adalah manifestasi yang beragam dari satu Wujud. Allah memanifestasikan Diri (tajalli)ÔÇöatau bahasa awamnya menciptakanÔÇödalam bentuk-bentuk wujud yang mungkin melalui keragamanÔÇödalam Al-Quran disebutkan, ÔÇ£Setiap ÔÇÿsaat/yaumÔÇÖ (kulla yaumin) Allah berada dalam kesibukanÔÇØ [QS Ar-Rahman, 29). Karena itu, tajalli atau penciptaan adalah dalam momen kekinian (waqt). Waqt (waktu) adalah keadaan saat ini.┬á Tajalli-Nya adalah tak berkesudahan, karena Dia selalu dalam kesibukan, maka Dia melakukan penciptaan terus-menerus. Tetapi, ÔÇ£segala sesuatu adalah binasa kecuali Wajah-Nya.ÔÇØ Artinya, menurut tafsir sufi, momen ÔÇ£binasaÔÇØ itu tidak dalam sekuensi linier atau ÔÇ£nanti,ÔÇØ melainkan momen sekarang, kini, waktu ini, karena jika sekejap saja kita tak binasa, maka akan ada dua ÔÇ£wajahÔÇØ dan itu mustahil. Inilah konsep sufi tentang ÔÇ£tajdid al-khalq,ÔÇØ pembaharuan ciptaan setiap saat. Jadi, kita ini diperbaharui setiap saat. Kita binasa dan tercipta setiap waktu secara simultan. Syaikh Ibn ÔÇÿArabi menulis dalam Fusush Hikam, ÔÇ£Dalam penciptaan-ulang setiap makhluk, saat/waktu pemusnahan berbarengan dengan saat perwujudan bentuk yang serupa (mitsal).ÔÇØ Dijelaskan lebih lanjut oleh penafsirnya, bahwa tidak ada selang/jeda antara pembinasaan dan penciptaan kembali. Imam al-Ghazali dalam kitab Misykat al Anwar, saat menjelaskan ÔÇ£Allahu akbar,ÔÇØ yang kira-kira begini: ÔÇÿAkbar itu bukan lebih besar dari yang lain. Allah tak bisa dibandingkan dengan kebesaran apapun. Bagaimana bisa disebut lebih besar jika selain Allah itu hakikatnya binasa? Momen binasa itu bukan nanti, tetapi kita binasa setiap saat.ÔÇØ Tetapi kita tidak merasakan adanya keterputusan dua aspek ini sehingga kita melihat keragaman wujud. Syaikh Ibn ÔÇÿArabi menjelaskan, ilusi kontinuitas wujud (selain Allah) ini diisyaratkan oleh Al-Quran Surat Qaf [50]: 15, ÔÇ£Apakah Kami letih dengan penciptaan pertama? Sesungguhnya mereka ragu-ragu tentang penciptaan yang baru (min khalqin jadid).ÔÇØ Jadi, Sufi itu ibn al-waqt (putra waktu) karena ia menyadari posisinya dalam momen kekinian, tidak ada masa lalu dan sekarang karena zaman, waqt berakar pada dahr. Agar tiba pada kesadaran ini, orang tak boleh merugi dalam waktu yang terus berjalan (al-Ashr). Maka, pertama-tama, kita harus melakukan tiga hal dalam naungan al-Ashr, waktu yang bergerak, atau waktu senja, agar tidak rugi, kehilangan momen waqt yang lebih tinggi, yaitu beriman dan merealisasikan keimanannya, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. *Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, Edisi-02 Jumat, 21 September 2018/11 Muharram 1440 H

Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Triwibowo Budi Santoso

Penulis buku Akulah Debu di Jalan Al-Musthofa: Jejak-Jejak Awliya Allah; Sumpah Ramaparasu (Novel)