Untuk 10th Ngaji Filsafat: Menghadirkan Socrates dalam Diri
Pada semasa hidupnya, Socrates menghabiskan banyak waktu berkeliling ke pasar-pasar lalu mengajak orang untuk berdialog. Ia membuka percakapan, memantik perdebatan (argumentasi), mengajukan pertanyaan, sampai pada akhirnya yang diajak berdialog menemukan jawabannya sendiri.
Socrates mengasumsikan bahwa setiap orang berpotensi menyadari/menemukan sendiri kebenaran-kebaikan maupun kesalahan-keburukan. Melalui metode dialog, Socrates diibaratkan bidan yang menuntun kelahiran. Ia tak sedang menegaskan bahwa “saya paling benar”, tapi menuntun orang berpikir agar menemukan pencerahan atas kebenaran.
Socrates juga punya jargon sangat kondang yang cukup kerap dikutip, yakni “The unexamined life is not worth living”. Artinya kurang lebih, “Hidup yang tak diuji adalah kehidupan yang tak berharga”.
Semangat filsafat itulah—mendayagunakan akal untuk menyadari suatu kebenaran—yang tampaknya ingin didengungkan dan ditularkan Ngaji Filsafat kepada khalayak. Mengutip penjelasan Fahruddin Faiz dalam buku Filosof Juga Manusia (2016), filsafat mempunyai tiga fungsi utama.
Pertama, clarifying concept (memperjelas konsep). Ini adalah fungsi paling awal dan mendasar, yakni agar kita mampu memahami definisi dan maksud sebuah konsep secara benar. Mengklarifikasi konsep menjadi dasar bagi kita untuk mengambil kesimpulan atau keputusan tertentu.
Kedua, constructing arguments (menyusun argumen). Setelah memahami konsep, filsafat membantu menyusun landasan-landasan yang kita pakai untuk mengambil suatu sikap. Selain membedakan dengan orang yang cuma ikut-ikutan, argumen ini juga merupakan suatu pertanggungjawaban atas keputusan sadar yang kita pilih.
Ketiga, analyzing (menganalisis). Berbekal pemahaman konsep secara benar, filsafat menuntun kita membaca sebuah persoalan secara proporsional. Melakukan analisis permasalahan adalah suatu langkah penting sebelum mencari jalan keluar.
***
Perkenalan saya dengan Ngaji Filsafat bermula pada awal 2017. Dalam kekhusyukan scroll Facebook, perhatian saya terbetot pada poster berinformasikan suatu kajian di masjid yang membahas tema filsafat. Kala itu juga saya memantapkan tekad untuk hadir dengan niat mengisi waktu sekaligus mengasup ruhani yang telah lama gersang.
Saya masih ingat, perjumpaan pertama saya dengan Ngaji Filsafat adalah pada edisi 144 yang membahas Filsafat Cinta Jalaluddin Rumi. Sejak itu, saya mengalokasikan waktu sekali dalam sepekan mengisi kolam kosong dan menyirami padang tandus pada diri saya dengan mengikuti Ngaji Filsafat.
Saya perlu menyampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya pada muda-mudi takmir Masjid Jendral Sudirman yang menginisiasi kehadiran serta menjaga napas panjang Ngaji Filsafat.
Seluruh sesi Ngaji Filsafat pun didokumentasi dengan baik dalam bentuk rekaman ceramah dengan durasi penuh, mulai detik pembuka hingga salam penutup. Kita bisa menyimaknya di kanal YouTube MJS Channel. Kini, 10 tahun Ngaji Filsafat (21 April 2013-21 April 2023), telah terselenggara 388 episode. Selamat ulang tahun dan semoga panjang umur, Ngaji Filsafat!
Selain berkat penyelenggara, pamor Ngaji Filsafat bisa sebesar sekarang tak lepas dari sosok sang pengampu ngaji: Fahruddin Faiz. Pak Faiz cenderung tampil dengan persona akademisi ketimbang sebagai ustaz/kiai, meski pemahaman soal keislamannya pun tak kalah mumpuni.
Sebagaimana ketika mengajar di ruang akademis kampus, Pak Faiz menyiapkan slide presentasi di tiap pertemuan Ngaji Filsafat. Tapi jangan bayangkan penyajian ngaji yang mengundang jemu dan kantuk. Tapi bak magnet, selama dua jam setiap Rabu malam, Pak Faiz menjadi pusat tatapan ratusan pasang mata dari muda-mudi santri ngaji.
Di tangan Pak Faiz, filsafat yang dikatakan ruwet, mbulet, njelimet, dan bikin mumet, jadi ringan dan menyenangkan. Pak Faiz juga berhasil membuat saya—dan barangkali untuk kebanyakan orang—menjadikan filsafat teramat dekat dan bermanfaat. Bak Socrates, yang digambarkan Marcus Tullius Cicero sebagai “orang yang memanggil filsafat turun dari langit agar berdiam di kota tempat tinggal manusia bahkan masuk ke rumah-rumah mereka, lalu menarik filsafat untuk memperhatikan kehidupan dan moralitas, kebaikan, dan kejahatan manusia”.
Pak Faiz sangat ahli menerjemahkan berbagai konsep yang kompleks ke dalam bahasa sederhana sehingga filsafat mampu diterima segala kalangan bahkan yang masih awam sekalipun.
Tutur lembutnya dipadu ritme pelan, ibarat alunan instrumental yang menenangkan, mampu membius pendengaran seluruh hadirin. Pak Faiz kerap memberi kelakar dalam ceramahnya, membuat hadirin yang serius menanti asupan ilmu jadi tergelak.
Pak Faiz juga kerap menyisipkan ilustrasi untuk memudahkan hadirin mengaitkan materi dengan kondisi nyata. Sesekali juga menyajikan cerita yang makin memikat hadirin untuk terus menyimak tuturannya.
Sesekali pula menyentil contoh kasus yang umum dialami hadirin hingga kami yang merasa tersindir jadi terkekeh menertawakan diri. Sering jarang mengajak audiens santri ngaji untuk berintrospeksi diri. Juga tak jarang, memberi wejangan yang memberi keteduhan dan ketenangan.
***
Tak terhitung berapa banyak pelajaran, kesadaran, maupun tuntunan yang saya jumput dari majelis ilmu ini. Dalam tulisan ini, saya membagikan beberapa saripati Ngaji Filsafat yang berhasil mengkristal di alam pikiran saya hingga kerap kali jadi pemandu hidup.
Pertama, belajar dari anak kecil. Saya selalu ingat ilustrasi anak kecil yang beberapa kali disampaikan Pak Faiz. Mengontra bahkan meruntuhkan superioritas orang dewasa atas anak-anak, Pak Faiz justru menempatkan anak-anak—dalam aspek tertentu—sebagai pihak yang perlu dicontoh oleh orang dewasa.
Pak Faiz menggambarkan, anak-anak mampu memosisikan permainan secara proporsional. Mereka tahu itu permainan, tapi mereka menjalaninya dengan serius. Semua bersedia mematuhi aturan bersama.
Mereka jadi lawan saat bertanding, tapi siapa pun pemenangnya mereka akan gembira dan tertawa bersama. Bahkan ketika mereka terlibat pertikaian atau perkelahian, besoknya mereka akan bermain bersama lagi dan sudah melupakan perselisihannya.
Ironisnya, dalam kasus tertentu, dijumpai antara anak-anak sudah rukun dan bisa gembira bersama lagi, justru antara orangtuanya yang belum akur. Anak-anak sudah mengedepankan kepentingan bersama, sementara orangtuanya maunya mencari menang sendiri.
Ringkasnya, anak-anak sudah dewasa dalam menyikapi konflik, sedangkan orang dewasa yang justru kekanak-kanakan ketika dihadapkan konflik.
Kedua, tugas kita berusah. Dalam salah satu wejangannya, Pak Faiz mewanti-wanti para santrinya agar berusaha istikamah dalam menghadiri Ngaji Filsafat.
Di samping itu, perlu untuk menata niat agar yang utama tak lain adalah mencari ilmu, tanpa perlu menarget macam-macam. Aspek istikamah inilah yang bisa kita usahakan. Sisanya, soal ilmunya ada yang paham atau tidak, paham sedikit atau banyak, serahkan pada takdir.
Analogi serupa bisa kita pakai dalam hal usaha meraih apa pun. Dalam meraih cita-cita baik dalam hal pendidikan, karier, termasuk urusan percintaan, tugas utama kita adalah berusaha sebaik-baiknya. Sisanya adalah kuasa-Nya. Dengan menyadari porsi tugas dan kuasa hasil, kelak kita akan lebih legawa terhadap apa pun hasilnya.
Ketiga, mengakui situasi. Aspek ini sangat penting karena terkait dengan perubahan ke arah lebih baik. Menerima atau mengakui kondisi riil yang terjadi, menjadi langkah awal sebelum kita melangkah ke tahap pencarian solusi. Penerimaan atas situasi ini kebalikannya adalah sikap denial (pengingkaran). Tanpa kehendak untuk mengakui yang sesungguhnya terjadi, tak akan ada jalan keluar.
Dalam kaitannya dengan saya pribadi, konsep penerimaan ini perlahan-lahan meminggirkan perasaan denial, yang kemudian mendorong saya untuk lebih mengenali diri sendiri.
Misalnya, konsep ini menuntun saya untuk mengakui aspek-aspek tertentu yang mudah memicu ketersinggungan saya, mengakui ketika kondisi diri sedang tidak baik-baik saja, dsb. Ketimbang menyangkal, menyadari lalu mengakui bahwa ada situasi yang sedang tidak sehat akan menuntun kita pada bagaimana cara mengatasinya.
Keempat, menjadi manusiawi. Tak kurang-kurang Pak Faiz menekankan pada para santri filsafatnya agar dalam menjalani hidup jangan sampai lupa menikmatinya secara proporsional. Bahwa kita tahu, hidup ini tak melulu disetel kencang, tapi ada kalanya melambat.
Waktu yang kita miliki tidak harus selalu untuk mengejar pencapaian atau prestasi. Ada kalanya kita butuh istirahat. Ada kalanya kita butuh nonton film. Ada kalanya kita ingin main games. Ada kalanya kita ingin sekadar rebahan. Semua itu berhak kita nikmati.
Bukankah itu terkesan menyia-nyiakan hidup yang cuma satu kali ini? Rasa-rasanya tidak juga, jika kita sadar untuk mengatur aktivitas kita. Menikmati berbagai bentuk jeda itu sah-sah saja dan manusiawi. Selama, kita bisa menempatkannya secara proporsional.
Sejatinya empat kebijaksanaan yang berhasil saya petik di atas, jika ditarik menuju pola besarnya, akan bermuara pada upaya mempertanyakan dan menguji jalan hidup maaing-masing kita yang selama ini dianggap mapan, dalam rangka meningkatkan kualitas hidup kita.
Sebagai penutup, saya merasa beruntung sekaligus bersyukur, bahwa Ngaji Filsafat menginspirasi saya untuk mempelajari, memahami, serta mengolah catatan ngaji menjadi buah tangan berupa buku berjudul Pandangan Para Filosof: Catatan Santri Ngaji Filsafat (2020). Buku ini juga ditukangi para penyelenggara Ngaji Filsafat, di bawah bendera MJS Press.
Category : catatan santri
SHARE THIS POST