Teladan Hidup dari Para Perempuan Desa
Pada hari yang biasa, bulik saya tiba-tiba berseloroh di hadapan suaminya. “Ngeneki polahe wong wedok bendino. Makane, suk mben nek meninggal sampeyan sek. Nek ora ngono, suk mben sopo sing arep ngopeni anak-anakmu.” Kalau dialihbahasakan kira-kira demikian, “Beginilah pekerjaan perempuan setiap hari. Jadi, besok kapan kalau meninggal sampeyan dulu. Kalau tidak begitu, siapa yang akan mengurus anak-anakmu kelak.”
Sepintas, pernyataan itu akan membuat siapa pun yang mencuri dengar atau tidak sengaja mendengarnya tertawa alih-alih mengutuk sebagai bentuk kelancangan atau ketidaksopanan istri terhadap suami. Kejadian itu diceritakan ulang oleh nenek kepada saya beberapa hari lalu. Mendengar parodi itu, saya tertawa berderai-derai.
Bulik tinggal persis di samping rumah. Sedikit banyak saya mengetahui sikap dan laku hidup kesehariannya. Ia guru, istri, ibu rumah tangga, sekaligus petani yang tekun. Lebih daripada ibu saya, bulik mendidik anak-anaknya dengan ketegasan yang cukup berarti.
Ketiga sepupu saya tumbuh menjadi anak-anak rajin dan patuh tidak hanya kepada kedua orang tuanya, tetapi juga kepada orang tua pada umumnya. Belum lama ini, ibu meminta tolong kepada sepupu saya untuk mengantar nasi angsul-angsul ke tetangga. Ia menyanggupi tanpa menunjukkan raut muka keberatan. Padahal di lingkungan tempat kami tinggal, pekerjaan mengantar nasi sebenarnya dibebankan kepada anak gadis. Tetapi sepupu laki-laki saya yang sudah akil baligh itu toh melakukannya juga. Menurut ibu, sikap sepupu saya yang demikian itu merupakan buah dari didikan bulik.
Bekerja sepanjang hari
Kalau di kota mempekerjakan pekerja rumah tangga sementara suami dan istri bekerja di luar rumah itu hal lumrah, lain halnya di desa. Mayoritas suami-istri yang bekerja di luar rumah tidak mempekerjakan pekerja rumah tangga. Sang istri sendirilah yang membereskan segala pekerjaan di rumah. Mulai dari menyiapkan kudapan, mencuci baju, menyapu, mencuci piring, dan lain sebagainya.
Bapak dan ibu bekerja di luar rumah semenjak saya kecil. Tetapi mereka tidak pernah mempekerjakan orang lain untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Ibu yang melakukan semuanya, kadang-kadang dengan bantuan bapak. Begitu juga yang terjadi dengan rumah tangga bulik saya.
Ibu bangun tengah malam untuk shalat, beliau tidak tidur lagi sampai azan Subuh tiba. Demikian juga dengan bapak. Bedanya, setelah Subuh bapak punya waktu untuk bersepeda atau olahraga pagi menyusuri jalan kampung. Sementara ibu harus bergulat di dapur untuk menyiapkan menu sarapan kami.
Karena toko ibu kini ada di depan rumah, maka selesai menyiapkan sarapan ibu langsung memulai pekerjaannya di toko. Selain menjual kebutuhan sehari-hari, toko ibu juga melayani pembelian hasil panen dari orang-orang. Entah itu padi, kacang tanah, kacang hijau, dan lain sebagainya. Jadi, sehari-hari ibu biasa juga mengangkat karung-karung dengan bobot berpuluh-puluh kilo.
Ibu menutup tokonya sekitar pukul 16.00 WIB. Kesibukannya berlanjut dengan membereskan kebun di samping rumah, mulai dari mencabuti rumput, memangkas daun-daun kering di pohon pisang, membakar sampah, dan sebagainya.
Dari kebun, ibu melanjutkan aktivitasnya di dapur. Menyiapkan makan malam untuk kami sekeluarga. Seringkali belum selesai benar pekerjaannya di dapur, azan Magrib sudah berkumandang. Lain halnya dengan saya, ibu terbiasa mandi dengan gegas. Sementara ibu mandi, bapak sudah siap dengan baju koko lengkap dengan sarung dan peci di ruang shalat.
Pekerjaan ibu sembari menunggu azan Isya adalah melipat baju atau membuat minuman hangat untuk bapak. Menurut pengamatan saya, pekerjaan ibu sehari-hari boleh dinyatakan beres benar selepas salat Isya. Waktu itu digunakan ibu untuk berbincang dengan bapak di teras atau menonton acara televisi bersama di ruang tengah.
Melakoni banyak peran
Tak beda dengan ibu, dalam pengamatan saya, bulik pun sama sibuknya sepanjang hari. Hari-hari belakangan sekolah diliburkan karena pandemi, jadi pekerjaan bulik berkurang sebuah. Tetapi pada hari biasanya, ia melakoni setidaknya lima peran sekaligus. Istri, ibu rumah tangga, guru, petani, hingga penjual baju.
Secara garis besar, kesibukan bulik dan ibu sebagai istri dan ibu rumah tangga tidak ada bedanya. Pagi dan malam hari begitu pekerjaan di luar rumah rampung, keduanya bekerja penuh membereskan pekerjaan rumah. Baru ketika dewasa, saya mengamati betul bahwa pekerjaan sebagai istri dan ibu rumah tangga itu sungguh tidak ringan.
Pasalnya saya mulai dilibatkan secara aktif oleh ibu untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan di rumah. Minimal ibu meminta (kalau tidak memaksa) saya membersihkan segala perkakas yang saya gunakan untuk keperluan sendiri. Ibu juga tidak lagi membantu menyiapkan barang-barang setiap kali saya hendak berangkat ke tanah rantau. Nahasnya, sejak ibu berlaku demikian, ada saja barang yang tertinggal di rumah dan baru saya ingat begitu sudah di dalam bus menuju perantauan.
Ibu juga hafal saya punya bekas luka atau jerawat di bagian mana saja. Jadi kalau ada luka tambahan, beliau sontak akan menanyakannya. Dari segala peran yang dilakoni ibu dan bulik saya di rumah, saya sering geleng-geleng kepala. Betapa sibuk pekerjaan para perempuan desa pada umumnya, batin saya tak habis-habis.
Feminis yang sesungguhnya
Feminisme atau kesetaraan (antara laki-laki dan perempuan), dalam sedikit pengetahuan saya tampak begitu kuat memancar dari keseharian hidup para perempuan di desa. Para perempuan berperan aktif menafkahi keluarga antara lain dengan berjualan di pasar, membuka toko kelontong, mengolah sawah dan lahan perkebunan, dan lain-lain. Di lingkungan saya, justru banyak sekali perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. Sementara para suami berperan sebagai bapak rumah tangga.
Mereka melakoni hari-hari riang berkecukupan tanpa banyak berdebat apa itu feminisme. Bagian itu biar menjadi urusan orang terpelajar atau orang-orang di kota. Kira-kira begitu penerjemahan saya saat menghadapi dua halaman berbeda, desa tempat saya lahir dan kota tempat saya menempuh pendidikan dan kemudian belajar bekerja.
Para perempuan di desa melakoni beragam peran publik sekaligus privat sebagai panggilan jiwa. Melampaui tuntutan-tuntutan emosional menyaksikan betapa timpangnya pembagian kerja antara perempuan dan laik-laki dalam sebuah rumah tangga. Para perempuan melakoni hari-hari sibuk dengan—meminjam sajak Jokpin—amin yang semoga aman. Tsah!
Category : kolom
SHARE THIS POST