Support System: Menemukan Ketenangan di Tengah Ketidakpastian
Kita hidup di zaman yang serba cepat, serba cemas, dan serba tidak pasti. Informasi datang bertubi-tubi, teknologi berubah begitu cepat, dan kadang kita merasa kehilangan pijakan. Di tengah hiruk pikuk itu, ada satu hal penting yang sering luput dari perhatian kita: manusia tidak bisa hidup sendirian.
Sebagaimana kata Aristoteles, manusia adalah makhluk sosial. Kita butuh orang lain—bukan hanya untuk bertahan hidup, tetapi juga untuk tumbuh dan menemukan makna. Dari sinilah lahir konsep sederhana namun dalam: support system, atau sistem pendukung dalam hidup.
Makna Sederhana dari Support System
Support system berarti jaringan orang-orang di sekitar kita yang memberi dukungan, dukungan secara emosional, sosial, maupun praktis. Mereka adalah orang-orang yang membuat kita merasa aman, didengarkan, dan diterima apa adanya. Bisa keluarga, teman, pasangan, guru, komunitas, atau bahkan orang asing yang hadir di waktu yang tepat.
Dalam bahasa Jawa, istilah ini punya padanan yang hangat: dekengan—penopang, pelindung, atau sosok yang menjadi sandaran. Kalau kita pikir baik-baik, hidup kita penuh dengan dekengan: orang tua yang selalu mendoakan, teman yang mendengarkan tanpa menghakimi, atau bahkan pedagang kopi yang menyediakan tempat nyaman untuk kita menenangkan pikiran. Terkadang kita tidak menyadarinya, tetapi semua itulah yang membuat langkah kita tetap kuat.
Tanda-Tanda Support System yang Sehat
Hubungan yang sehat membuat kita tumbuh, bukan tenggelam. Maka, kenalilah ciri-ciri support system yang benar-benar membantu. Ciri pertama, memberi rasa aman. Kita bisa jadi diri sendiri tanpa takut dihakimi. Kedua, saling mendukung. Kita dan dia mau mendengarkan satu sama lain. Ketiga, mendorong kita berkembang. Tidak membuat kita bergantung, tetapi menumbuhkan kemandirian. Keempat, komunikasi terbuka dan jujur. Jujur, tulus, tidak manipulatif atau berpura-pura. Kelima, menularkan energi positif. Setelah bertemu, kita merasa lebih semangat, bukan justru lelah.
Sebaliknya, bila hubungan membuat kita merasa bersalah terus-menerus, dikontrol berlebihan, dicurigai tanpa alasan, atau dijatuhkan, itu pertanda sistem pendukung kita sedang tidak sehat. Dalam istilah modern, itulah yang disebut toxic relationship, hubungan yang perlahan meracuni kebahagiaan.
Ubuntu: Aku Ada Karena Kita Ada
Dalam filsafat Afrika Selatan dari suku Zulu dan Sosa ada konsep indah bernama Ubuntu. Artinya, “I am because we are”: Aku ada karena kita ada, yang dipopulerkan oleh nelson Mandela dan Desmon Tutu. Jadi, keberadaan kita tidak mungkin lepas dari kebahagiaan orang lain.
Ada kisah tentang anak-anak di Afrika Selatan yang diminta berlari memperebutkan sekeranjang buah. Anak-anak bukannya saling berlomba, mereka malah berpegangan tangan, berlari bersama, dan membagi buah itu secara adil. Ketika ditanya mengapa, mereka menjawab, “Bagaimana mungkin aku gembira dan bahagia jika teman-temanku susah dan sedih?” Begitulah makna sejati hidup bersama, bukan tentang siapa yang paling cepat atau paling tinggi, tetapi siapa yang mau berjalan beriringan.
Belajar dari Angsa yang Terbang
Di langit musim gugur, kawanan angsa sering terbang membentuk huruf “V”. Formasi ini bukan kebetulan. Setiap kepakan sayap angsa di depan membantu meringankan beban angsa di belakangnya, sehingga kawanan angsa bisa terbang lebih jauh tanpa kelelahan. Saat pemimpin angsa lelah, ia mundur ke belakang dan angsa lain menggantikan posisinya.
Jika ada angsa yang terluka, dua angsa akan turun menemaninya sampai sembuh. Tidak ada yang dibiarkan sendirian. Kebersamaan mereka bukan sekadar insting, tetapi pelajaran tentang solidaritas: saling menggantikan, saling memberi semangat, serta saling menjaga.
Ketika Support System Menjadi Racun
Di luar itu, tidak semua hubungan membawa ketenangan. Ada juga yang penuh iri, curiga, dan kompetisi. Seperti “mental kepiting”, ketika satu mulai naik, yang lain menarik ke bawah agar tidak lebih dulu sukses. Atau “bajak laut di perahu bocor”, orang yang mengambil keuntungan di saat yang lain sedang susah.
Hubungan seperti ini perlahan melemahkan kita. Maka, penting untuk menjaga jarak, menetapkan batas, dan menurunkan ekspektasi. Tidak semua orang akan memahami atau mendukung kita. Terkadang, menjaga jarak bukan berarti membenci, tetapi menyelamatkan diri agar tetap sehat.
Self-Support: Menjadi Sahabat bagi Diri Sendiri
Ada kalanya kita harus berjalan sendiri. Saat orang lain sibuk dengan dunianya, kita belajar menjadi teman terbaik bagi diri sendiri. Inilah yang disebut self-support: kemampuan memberi dukungan pada diri sendiri, tanpa bergantung sepenuhnya pada orang lain.
Caranya sederhana, pertama, dapat dengan menulis jurnal, menuangkan isi hati agar tidak mengendap di dada. Kedua, memberi afirmasi positif: “Aku cukup, aku kuat, aku pantas bahagia.” Ketiga, melakukan hal kecil yang menenangkan: secangkir teh hangat, berjalan sore, atau shalat malam. Keempat, mengenali kapan harus beristirahat dan kapan harus melangkah. Self-support bukan berarti menutup diri, tetapi menyiapkan diri agar tidak rapuh saat dunia tidak seindah harapan.
Menjadi Support System bagi Orang Lain
Hidup bukan hanya tentang menerima dukungan, tetapi juga memberi. Menjadi support system yang baik bukan soal selalu punya solusi, tetapi mau hadir dengan sepenuh hati. Terkadang seseorang tidak butuh nasihat panjang, hanya butuh telinga yang mau mendengarkan. Terkadang ia tidak mencari solusi, hanya butuh diakui bahwa rasa sakitnya itu valid. Menjadi pendukung berarti memberi ruang bagi orang lain untuk tumbuh, bukan menggantikan perjuangannya.
Allah SWT: Support System yang Tak Pernah Pergi
Pada akhirnya, semua bentuk dukungan manusia bersumber dari satu kekuatan utama: Allah SWT. Kita boleh bersandar kepada manusia, tetapi jangan lupa bahwa semua itu adalah sarana dari-Nya. Allah memahami luka bahkan sebelum kita mengucapkannya. Dia tidak pernah meninggalkan, bahkan ketika semua orang menjauh.
Namun, bersandar kepada Allah tidak berarti menolak bantuan manusia. Sebab justru bantuan manusia adalah cara Allah menolong kita. Allah menurunkan pertolongan lewat tangan teman yang datang tepat waktu, lewat nasihat guru, atau pelukan keluarga. Semua itu bagian dari kasih sayang-Nya.
Ada satu peribahasa bijak, “Jangan hanya ajari aku memancing, tapi tunjukkan di mana sungainya. Dan yang terpenting, jangan racuni sungai tempat aku memancing.” Maknanya dalam sekali: dukungan sejati bukan hanya memberi nasihat, tetapi juga membuka jalan dan menjaga lingkungan agar kita bisa tumbuh bersama dengan sehat.
Di tengah dunia yang penuh ketidakpastian, support system adalah pelita kecil yang membuat kita tetap berjalan. Sangat beruntung mempunyai keluarga yang peduli, teman yang mendukung, atau komunitas yang hangat, maka jagalah mereka baik-baik. Bila belum terbangun atau mempunyai seperti mereka, carilah atau bangunlah. Dan kalau pun semuanya belum juga ada, jadilah sahabat terbaik bagi dirimu sendiri, sambil tetap bersandar kepada Allah, Sang Penopang yang tak pernah lelah mendengar setiap bisikan hati.
Barakallahufiikum….
Referensi:
Ngaji Filsafat 484: Support-System Menghadapi Ketidakpastiam Zaman edisi Menemukan Ketenangan di Tengah Ketidakpastian bersama Dr. Fahruddin Faiz, M. Ag di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, pada Rabu, 17 September 2025.
Category : catatan santri
SHARE THIS POST
Lapak MJS
- Sekar Macapat dalam Wacana dan Praktik
- Nisan Hamengkubuwanan: Artefak Makam Islam Abad XVIII-XIX di Yogyakarta dan Sekitarnya
- Lima Puluh Tahun: Meniti Jalan Kembali
- Buletin Bulanan MJS Edisi ke-9 Maret 2025 M
- Buku Terjemah Rasa II: Tentang Hidup, Kebersamaan, dan Kerinduan
- Buku Ngaji Pascakolonial