Soe Hok Gie: Potret Semesta Kehidupan Mahasiswa

slider
18 Agustus 2019
|
1649

CITA-CITA

Saya mimpi tentang sebuah dunia

Dimana ulama, buruh, dan pemuda,

Bangkit dan berkata, “Stop semua kemunafikan! Semua pembunuhan atas nama apapun!”

Dan para politisi di PBB sibuk mengatur pengangkutan gandum, beras, dan susu

buat anak-anak yang lapar di tiga benua dan lupa akan diplomasi

Tak ada lagi rasa benci pada siapapun, agama apapun, ras dan bangsa apapun

Dan melupakan perang dan kebencian

Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik

Tuhan, saya mimpi tentang dunia tadi yang tak akan pernah datang

28 Oktober 1968

Tulisan tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak mimpi seorang mahasiswa demonstran bernama Soe Hok-Gie dalam catatan hariannya. Kegemarannya pada dunia literasi dan sastra bisa jadi diwarisi oleh ayahnya yang merupakan seorang penulis dan juga wartawan. Sejak masih sekolah, Gie sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta. Bahkan, ia pun sudah mengenal karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer dan sastrawan lainnya.

Di era saat ini, dimana banyak panggung publik mudah dikuasai secara instan oleh siapapun baik dari kalangan entertainer, youtuber, bahkan politikus sekalipun. Kita sebagai golongan muda akan merasakan dilema untuk mencari figur idealis yang dapat dijadikan patron dalam menjalankan kehidupan. Bahkan banyak dari kita terjebak pada metamorfosis pencitraan yang sempurna dilakukan oleh publik-publik figur moncer. Ini bukan berarti negara kita tidak memiliki figur-figur yang dapat menjadi panutan, akan tetapi karena sang figur tidak mementingkan kostum popularitas sehingga tidak banyak orang yang akan mengenali mereka terutama golongan muda seperti kita.


Baca jugaFitrah sebagai Arah Kembali Menjadi Manusia 


Dalam gelaran Ngaji Filsafat edisi Tokoh Muda, Dr. Fahruddin Faiz menerangkan bahwa tokoh idealis yang berpegang teguh pada prinsip kebenarannya bukan diukur dari seberapa sering mereka berjibaku dengan lensa kamera sehingga memiliki ketenaran. Bukan juga diukur dengan seberapa tinggi pangkat dan jabatan mereka di negara ini. Tetapi bisa jadi muncul dari diri seorang manusia biasa saja. Kemudian menjadi sorotan tersebab keputusannya untuk bertindak di waktu yang tepat, tidak diam dibungkam oleh kemunafikan penguasa, dan juga menjunjung tinggi kebenaran yang berlandaskan pada maslahat bersama. Tokoh yang dibahas pada pertemuan Rabu pekan kedua bulan Agustus 2019 kali ini adalah Soe Hok Gie. Ia merupakan seorang intelektual yang berprinsip tidak mengejar kekuasaan, tetapi mencanangkan kebenaraan dan bersedia menghadapi ketidakpopuleran. Sebab ada sesuatu yang lebih besar dari semua itu, yaitu kebenaran itu sendiri.

Gie adalah seorang cendekiawan muda yang memiliki tingkat intelektualitas merdeka. Ia lahir ketika dunia berada di tengah gentingnya perang dunia kedua dan Indonesia masih dalam proses perjuangan menuju kemerdekaan di bawah kesewenangan Jepang. Di era ini Indonesia layaknya bayi yang sedang belajar merangkak untuk bisa bangkit lalu berjalan sendiri. Hingga di masa itu kerap terjadi perlawanan dan pemberontakan. Ibarat anak bayi yang menunjukan sifat agresif dan kontrol yang tidak terkendali.

Pemahaman Gie tentang sejarah, politik, dan ilmu sosial lainnya itu diuji di masa remaja ketika Indonesia berada dalam masa paling kritis dan juga mencekam sepanjang sejarah republik ini didirikan. Pada saat itulah ia memenuhi panggilannya sebagai seorang intelektual muda dengan menulis kritik keras terhadap pemerintah dan membangun bibit-bibit kesadaran demokrasi agar setiap lapisan masyarakat Indonesia memahami masalah di negaranya. Hingga kelak ikut terlibat dalam menentukan arah hidup bangsa. Baginya, tulisan adalah wahana untuk menguak tabir persoalan yang mengganjal pikiran. Bahkan dalam surat terakhirnya yang ia kirimkan kepada Ben Anderson, seorang pakar politik Indonesia yang juga adalah kawan dekat Gie. Gie berkata, “Saya rasa semua yang saya tulis dalam artikel-artikel saya adalah sejumput petasan dan saya ingin mengisi semuanya dengan bom.”

Dalam potret singkat kehidupannya, Gie banyak memberikan pesan kepada para mahasiswa dan pemuda untuk lantang menyuarakan suara penderitaan dan ketidakadilan yang dirasakan dan di pandang sebelah mata oleh pemerintah. Ia pun paham betul bahwa suara mahasiswa adalah manifestasi perwakilan suara rakyat, dan suara rakyat adalah perwakilan suara bangsa. Karena itu, Gie tidak segan-segan mengambil suara untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Semasa masih remaja tanggung di era Orde Lama, Gie sudah berani menunjukkan independensi pikirannya melalui tulisan yang cukup berani untuk ukuran seusianya. Gie pun menuliskan bahwa, “Kita, generasi kita ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau, kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia.”

Setelah jatuhnya rezim Orde Lama maka lahirlah rezim Orde Baru. Di tengah semangat idealisme mahasiswa pada saat itu yang sedang berapi-api, penguasa Orde Baru cukup cerdik untuk melunturkan idealisme perjuangan mahasiswa. Caranya dengan memberikan hadiah bagi mereka yang dulunya berjuang untuk meruntuhkan PKI dengan disediakannya kursi DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong), serta diangkat menjadi pejabat pemerintahan. Gie pun berencana untuk mengirimkan hadiah ‘Lebaran-Natal’ kepada 13 perwakilan mahasiswa yang duduk di DPR-GR. Isinya berupa pemulas bibir, cermin, jarum dan benang disertai surat terlampir yang berisi kumpulan tanda tangan.

Yang Terhormat,

...

Bersama surat ini kami kirimkan kepada Anda, saudara kami yang terhormat, yang dapat membuat diri kalian lebih menarik di mata penguasa dan rekan-rekan sejawat Anda di DPR-GR.

Bekerjalah dengan baik, hidup Orde Baru! Nikmatilah kursi Anda dan tidurlah yang nyenyak!

Mahasiswa Universitas Indonesia

Keberanian Gie mengungkapkan kenyataan pada masa itu mungkin bagi sebagian orang dinilai naif, ceroboh, bahkan mungkin bisa dibilang tidak sayang nyawa. Tetapi bagi seorang Soe Hok Gie, itu adalah panggilannya sebagai seorang intelektual, untuk berani menyatakan kebenaran, serta berani berteriak lantang menjawab tantangan zaman. Dari semua yang Gie lakukan besar harapannya bahwa di negara ini akan lahir regenerasi pemuda dengan sosok “Posmo Indonesia”. Sebuah istilah yang memiliki makna semacam antidot bagi keterpurukan bangsa dan negara tanpa pernah mengabaikan sejarah. Dalam catatan hariannya, Gie pernah menulis sebuah kalimat yang mewakili penghormatannya akan sebuah sejarah. “Siapapun yang tak belajar dari sejarah, maka ia akan mengulangi kesalahan yang dibuat generasi pendahulu pernah lakukan.”

Dari banyak pesan yang disampaikan Soe Hok Gie di atas bisa diambil benang merah bahwa barisan mahasiswa dan pemuda merupakan barisan agent of change dan merupakan titik tumpuan suatu peradaban bangsa dan negara. Amanat yang terletak pada bahu mahasiswa sangatlah mulia. Maka dari itu, mahasiswa perlu memiliki keteguhan prinsip dan keberanian bersikap sebagai bekal utama dalam menyuarakan kebenaran.

Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar, terimalah dan hadapilah.”


Category : catatan santri

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Muhammad Fajrul Falakh

Squad #4 MJS. Masih tercatat sebagai mahasiswa selow