Socrates: Mengenali Diri

slider
02 Februari 2023
|
4445

Pada pembahasan Ngaji Filsafat (4 Januari 2023) edisi Socrates: Mengenali Diri, Socrates mengatakan, “Let him that would move the world first move himself” (Biarkan dia yang akan [ingin] menggerakkan dunia pertama-tama menggerakkan dirinya sendiri). Dalam paradigma Socrates, sesuatu yang luar biasa yang kita lakukan bermula dari diri sendiri. Dan, permulaan menggerakkan diri dengan cara “mengenali diri”.

Socrates merupakan seorang filosof Yunani yang menggeser fokus pembahasan filsafat kala itu dari yang awalnya terlalu sibuk memikirkan tentang kosmos (alam semesta), bergeser ke memikirkan tentang antropos (manusia). Baginya, berpikir tentang manusia adalah pembahasan yang amat penting. Jangan sampai kita terlampau jauh berupaya memahami semesta, namun sedikit pun tidak memahami hakikat kedirian kita sendiri (baca: manusia).

Dengan memahami manusia, mengenali diri, harapan Socrates, kita dapat menjadi orang yang lebih bijak dan rasional, dan bukan menjadi orang yang dibutakan hasrat kepemilikan duniawi. Lebih jelasnya, sebagaimana dijelaskan Socrates, menjadi manusia yang “Its not living that matters, but living rightly (Bukan [sekadar] yang penting hidup, tapi hidup dengan benar).

Bila hidup hanya sekadar hidup, maka hewan di hutan, ikan di laut, dan seluruh makhluk semuanya juga menjalani hidup. Penanda diri manusia dari yang lain adalah tidak sekadar menjalani hidup, namun berupaya menapaki hidup dengan benar, dengan baik, dan dengan bijak. Untuk itu, penting bagi kita untuk mengenali diri.

Awalnya Mengenali Diri: Who We Are?

Sesekali kita perlu bertanya kepada diri sendiri, “Who we are?” (Siapa kita?). Barangkali, selama ini, kita belum mengenal hakikat diri kita sendiri. Tidak tahu sebaik atau seburuk apa diri kita? Apa tujuan atau cita-cita hidup kita? Jangan-jangan, sejauh ini, kita hanya hidup sekadar yang penting hidup, dan tidak pernah berupaya mencari makna dalam hidup. Sehingga yang terjadi, gagal dalam mengenali diri, dan tanpa sadar menjadikan hidup tidak karuan, atau membuat kita terjabak pada rutinitas yang tidak produktif.

Akhirnya kita menjadi manusia yang misorientasi kehidupan. Tidak jelas apa yang kita inginkan dan butuhkan. Akibatnya, banyak hal yang tidak penting kita giatkan, dan banyak peluang yang kita lewatkan. Ibarat katak dalam tempurung, kita menjadi manusia yang terjebak pada rutinitas-rutinitas tanpa pernah tahu dan memikirkan baik tidaknya hal yang dilakukan, serta arah mana yang akan dituju jika melakukan sesuatu hal. Oleh karena itu, agar hidup bisa lebih barmakna, pertama-tama kita perlu berupaya mengenali diri.

Ada dua sisi kedirian manusia yang perlu kita kenali. Pertama, the physical realm-the body (ranah jasmani-tubuh). Sifatnya changeable (berubah-ubah), transient (sementara), dan imperfect (tidak sempurna). Kedua, the ideal realm-the soul (ranah ideal-jiwa). Sifatnya unchanging (tidak berubah-ubah), eternal (selamanya), dan immortal (abadi).

Jika manusia hidup dengan terlalu fokus pada mengejar kepuasan yang pertama, maka hidup sangat beresiko terjebak pada ambisi mengenyangkan sesuatu yang tidak akan pernah kenyang. Jika berupaya menyehatkan yang kedua, maka akan membawa hidup pada perlabuhan kebijaksanaan dan kebahagiaan. Dalam hal ini perlu dipahami, jiwa manusia menjadi sehat ketika mencari kebaikan, kebenaran, keadilan, dan pengetahuan diri. Ketika manusia hanya fokus pada mengejar kekayaan, ketenaran, dan kekuasaan, maka jiwanya akan menjadi lemah, sakit-sakitan, dan bodoh.

Karena itu, Socrates mengingatkan untuk hidup tidak sekadar mengejar kekayaan, ketenaran, dan kekuasaan, namun berupaya menjalani living rightly (hidup dengan benar/bijak).

Selanjutnya Menguasai Diri: Who We Should Be?

Sekarang kita kembali bertanya, “Who we should be?” (Siapa kita seharusnya?). Hal ini berhubungan dengan penguasaan diri manusia. Apa yang “seharusnya” dilakukan, dan yang “seharusnya” tidak dilakukan: hal yang dapat kita ketahui setelah mengenali diri. Mengenali tujuan hidup, sehingga tahu mau melakukan apa. Mengenali apa yang menyehatkan jiwa dan yang membuatnya sakit, sehingga paham jalan hidup mana yang seharusnya ditempuh. Pilihannya, mengejar kepuasan duniawi yang tidak pernah kenyang, atau menyehatkan jiwa dalam kebaikan, kebenaran, dan kebijaksanaan hidup.

Socrates mengingatkan, sebaiknya manusia paham, “... What you ought to want, and knowing what that is(Apa yang seharusnya diiginkan, dan mengetahui apa itu). Manusia perlu memahami keinginan dirinya, apakah itu sesuatu yang memang seharusnya atau malah sesuatu yang tidak seharusnya atau tidak perlu untuk diingini dan dilakukan.

Salain itu, Socrates mengenalkan triple filters untuk mengukur sejauh apa kepantasan suatu hal untuk diingini dan dilakukan. Menurut Socrates, jika kita berhadapan dengan sesuatu, maka saringlah sesuatu itu dengan mempertanyakan: Is it true? (Apakah itu benar?). Jika hal itu benar, maka pertanyakan lagi: Is it kind? (Apakah itu baik?). Dan, jika itu baik, maka pertanyakan lagi: Is it necessary? (Apakah itu penting?).

Sesuatu yang tidak benar, tidak baik, dan tidak penting berarti itu bukan sesuatu yang seharusnya untuk kita. Dan, dalam hal ini, manusia perlu menguasai diri untuk melakukan yang seharusnya atau meninggalkan yang tidak seharusnya.

Akhirnya Membentuk Diri: Who We Will Become?

Who we will become? (Kita akan menjadi siapa?). Pertanyaan ini muncul setelah kita mengenali diri, tahu kekurangan dan kelebihan diri, serta dapat dijalani ketika kita menguasai diri. Sehingga, akhirnya, kita berpikir dan bertindak ingin membentuk atau memperbaiki diri menjadi lebih baik.

Upaya memperbaiki diri menjadi lebih baik termasuk kebijaksanaan hidup. Sebagaimana Socrates menjelaskan, “The easiest and noblest way is not to destroy others, but to improve yourself(Jalan yang paling mudah dan paling mulia bukan menghancurkan orang lain, melainkan memperbaiki [membentuk] diri sendiri).

Dalam hal ini, ideal-ideal yang diimpikan, peran yang dimainkan, pembanding dan penilaian dari orang lain, pengalaman hidup, dan budaya sekeliling, itu semua memengaruhi arah pembentukan diri. Oleh karena itu, bijaklah dalam kesemua hal itu. Kita bisa menggunakan triple filters untuk menjernihkan hal-hal yang dapat memengaruhi pembentukan diri.

Selain itu, penerimaan terhadap feedback (pandangan, komentar, atau kritik orang lain), dan coach-ability (kemampuan melatih diri dengan mendengarkan dan mau menjadi lebih baik), merupakan dua hal penting untuk improve ourself.

Penerimaan terhadap feedback bukan dimaksudkan agar kita tenggelam dalam toxic minds dan hate speeches orang-orang. Melainkan lebih pada sikap belajar mendengarkan nasihat maupun kritik yang membangun. Socrates berkata, “Smart people learn from everything and everyone, average people from their experiences, stupid people already have all the answers (Orang pintar belajar dari apa pun dan siapa pun, orang biasa belajar dari pengalaman mereka, orang bodoh [merasa] sudah memiliki semua jawaban).

Membentuk diri bukan sesuatu yang mudah, bahkan dua hal sebelumnya, mengenali diri dan menguasai diri, juga bukan hal yang mudah. Namun, sebagaimana penjelasan Socrates, “The greater the difficulty, the greater the glory of overcoming it (Lebih besar kesulitan, lebih besar kemuliaan [yang didapat] dari mengatasi [kesulitan] itu).

Sulit memang. Namun, dari kesulitan itu kita bisa mendapatkan kebahagiaan yang berlipat. Setidaknya, kita dapat kebahagiaan mengenali diri sendiri. “Oh, ini toh aku. Seperti ini profilku. Ternyata, aku adalah ...?” Dapat memahami diri itu sudah termasuk kebahagiaan juga, bukan?


Category : catatan santri

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Moh. Rivaldi Abdul

Mahasiswa Doktoral S3 Studi Islam, Konsentrasi Sejarah Kebudayaan Islam, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta