Pesantren dan Psikologi Berkah

slider
21 Februari 2023
|
2016

Seorang anak kelas empat SD meminta kepada orangtuanya untuk mondok itu tidak masuk akal. Motif seperti apa yang mampu mendorong anak seumur jagung untuk hidup di dalam komunitas tanpa bimbingan, rasa aman, sekaligus kenyamanan yang padahal bisa ia peroleh ketika tinggal di rumah saja bersama orangtuanya?

Lantas setelah ia selesai dengan pendidikan pesantrennya, justru ia menganggap satu-satunya sistem pendidikan terbaik adalah pesantren itu sendiri. Rasa lekat terhadap teman seumuran di pesantren yang ia rasakan jauh melampaui kelekatannya dengan teman sepermainannya saat di rumah. Pada momen tertentu, ia merasa sungguhan bahagia hidup di pesantren. Anak kelas empat SD itu adalah saya.

Beberapa kali saya menyaksikan orang-orang masuk pesantren tanpa ada tujuan yang jelas, kemudian tinggal di pesantren dan justru selama rentang waktu tertentu tak bisa lepas dari pesantren dengan alasan yang sangat tendensius. Segala asumsi yang tengah saya buat sama sekali jauh panggang dari api untuk mendekati dinamika seperti apa yang sebetulnya terjadi; atau apa yang membuat dunia pesantren begitu gandrung untuk terus diikuti.

Saya menyerah pada satu-satunya konsep berpikir santri yang agaknya masih kurang masuk akal bagi saya, adalah keberkahan yang lahir dari kyai dan pesantren. Tidak sedikit yang kemudian santri-santri senior mengabdikan diri kepada sang kyai dan pesantren, hanya bermodalkan konsep berpikir mengenai keberkahan.

Paradigma berkah ini sudah seperti cita-cita adiluhung bagi semua santri. Bahkan pada titik tertentu, keberkahan ini menjadi tolok ukur atas keberhasilan santri ketika hidup di pesantren. Santri gagal adalah mereka yang tidak bertambah kebaikannya, sekaligus mengartikan bahwa selama menjadi santri, ia tak mendapatkan keberkahan.

Dinamika Pesantren

Dinamika kehidupan santri merupakan nilai paling berharga yang bisa kita dapatkan di dalam pesantren. Santri menjadi bagian dari dimensi individu sekaligus dimensi anggota komunitas yang bergerak beriringan, menjadikan seseorang harus terus menyeimbangkan interaksi sosial yang berkelindan di dalamnya.

Hal tersebut yang kemudian mendesaknya untuk terus belajar mengenai kecerdasan sosial dan emosional secara terus-menerus. Termasuk kemampuan berkomunikasi, manajemen, dan resolusi konflik, serta keterampilan sosio-emosional seorang santri sungguhan dipacu di dalam pesantren.

Belum lagi mengenai interaksi seorang santri bersama para gawagis dan sang kyai di bilik pesantren. Segala pemahaman mengenai etika, perilaku, dan sikap yang ideal perlu diaplikasikan menjadi keterampilan mumpuni untuk menghadapi situasi tersebut.

Saya cukup yakin atas asumsi dasar yang saya miliki: bahwa santri mempunyai kecerdasan sosio-emosional yang baik. Betapa tidak, ketika mereka dihadapkan dengan lingkungan yang mampu mendesak untuk terus berperilaku ideal semacam itu.

Senada dengan apa yang dijelaskan oleh Ryu Hasan, bahwa kecerdasan emosional tidak akan berimplikasi positif pada kehidupan apabila tanpa keterampilan. Kecerdasan emosional hanya bisa eksis ketika dilatih melalui pengaplikasian di situasi sosial.

Dinamika kehidupan santri di dalam pesantren tak ubahnya semacam bentuk latihan untuk menjadi seorang individu yang cerdas secara emosi, sekaligus menjadi seorang anggota komunitas yang cerdas secara sosial. Intensitas pola interaksi antara satu santri dengan santri yang lain, serta antara santri dengan para gawagis dan kyai, menjadi kondisi adaptif yang cukup ideal untuk berlatih keterampilan sosio-emosional.

Psikologi Berkah

Dari seluruh pembahasan di atas, tentu saja menjadi kawasan yang tak luput dari topik kajian keberkahan. Apabila berkah, seperti yang diutarakan dalam Syarah Shahih Muslim karya Imam Nawawi, adalah ziyaadatul khoir wa sa’adah (bertambahnya kebaikan dan kebahagiaan), maka dapat diartikan bahwa keberkahan pesantren berupa bentuk lingkungan yang suportif untuk melatih keterampilan sosio-emosional.

Tentunya keterampilan tersebut menjadi harapan bagi seluruh manusia. Sebab, masih menurut Imam Nawawi, keberkahan mempunyai dua arti: (1) tumbuh, berkembang, atau bertambah; dan (2) kebaikan yang berkesinambungan. Dalam hal ini, menjadikan konsep keberkahan semakin jelas teraplikasi pada hubungan antara lingkungan pesantren yang suportif untuk melatih keterampilan sosio-emosional agar menjadi manusia yang bijaksana.

Tentu kita ingat bagaimana kisah Baginda Nabi Muhammad Saw yang mendamaikan kelompok-kelompok yang berebut mengangkat hajar aswad ke tempat semula. Pada awalnya mereka buntu untuk memutuskan siapa yang berhak untuk mengangkat batu mulia itu, namun Baginda Nabi Muhammad Saw memecah kebuntuan tersebut dengan cara yang mengesankan.

Baginda Nabi Muhammad Saw memberikan solusi, siapa saja yang datang lebih pagi di tempat ini, dialah yang berhak mengangkat dan meletakkan hajar aswad di tempat semula. Dan keesokan paginya, hanya Baginda Nabi Muhammad Saw satu-satunya yang sudah berada di sana.

Dengan begitu cerdasnya, Baginda Nabi Muhammad Saw meminta kelompk-kelompok tersebut yang mengangkat hajar aswad secara bersama-sama. Kebuntuan keputusan terselesaikan dan permusuhan dapat terelakkan. Tanpa keterampilan decision making (pengambilan keputusan) dan tentu saja kecerdasan sosio-emosional, Baginda Nabi Muhammad Saw tak mungkin bersikap seperti riwayat yang sudah masyhur kita ketahui di atas.

Selain itu, keterampilan sosio-emosional sangat berguna di masyarakat heterogen seperti yang sedang kita alami saat ini, ketika menghadapi segala budaya kemanusiaan yang beragam dan kita akan lekas tahu bagaimana menyikapinya. Dari sekian banyak, keberkahan pesantren menjadi maket nilai kehidupan yang begitu diidamkan.

Eksistensi manusia, menurut Plato, adalah ketika kita hidup bijaksana di tengah kondisi yang cepat berubah. Antara Plato dan praktik dunia pesantren di atas, menjadi sintesis yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Pembelajar

Sedikitnya dari segala telaah unsur-unsur mengenai pesantren dan keberkahan, pada dasarnya penting untuk mempunyai prinsip pembelajar sepanjang hayat. Keberkahan semakna dengan paradigma berpikir yang terbuka dengan segala gejolak kondisi, sejak dari segi keilmuan hingga modernitas cara pandang.

Topik kajian berkah yang sudah kita bahas sebelumnya pada dasarnya membabak bagian terkecil dari semesta keberkahan di dunia pesantren melalui tinjauan psikologi. Hal ini menjadikan nilai-nilai pesantren tidak hanya berhenti pada implikasi kajian keislaman, namun bilik pesantren juga menelaah hal-hal yang bersifat psikologis, dan barang tentu berimplikasi pada kecerdasan sekaligus keterampilan sosio-emosional seorang santri.


Category : kebudayaan

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Kukuh S. Aji

Menulis puisi, cerpen, dan kadangkala esai. Pelajar Kawruh Jiwa Suryomentaram. Berminat pada kajian psikologi budaya dan lingkungan hidup. Bermain paruh waktu di Madrasah Rasa Center.