Mbah Rubi

slider
22 Maret 2020
|
1189

Hidup sendiri tidak membuat Mbah Rubi merasa kesepian. Ia biasa bercengkerama dengan keluarga kakak semata wayangnya yang tinggal tepat di sebelah rumah. Ia dekat dengan keluarga kakak laki-lakinya itu bukan hanya karena sering bergumul dengan mereka. Kedekatan itu juga terjalin lantaran ia ikut memanfaatkan sumur peninggalan kakek mereka. Ia turut merawat sumur itu bersama dengan keluarga kakaknya.

Tahun demi tahun datang silih berganti. Satu demi satu anak dilahirkan oleh kakak iparnya. Hingga tak terasa, ia telah memiliki tujuh ponakan. Ketika kemenakannya itu semakin tumbuh berkembang, kemudian mulai berumah tangga dan memiliki anak, Mbah Rubi menjadi tidak enak hati jika masih harus memanfaatkan sumur bersama keluarga mereka. Ia lalu merasa bahwa sudah saatnya membuat sumur sendiri.

Selain pertimbangan kebutuhan air pada keluarga besar kakaknya yang semakin meningkat—mengingat semakin bertambahnya anggota keluarga mereka—ada juga pertimbangan lain sehingga ia memutuskan untuk membuat sumur baru. Ia berencana membagi rumah peninggalan orang tua yang menjadi bagian dari haknya, menjadi tiga petak. Satu petak untuk ia tempati sendiri, dua lainnya untuk disewakan. Maklum, fisiknya tidak lagi bisa berlama-lama bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena itu, sumur baru itu ia persiapkan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya sekaligus pengontrak rumah.

Maka, dengan kemantapan hati, pada tahun 1992, Mbah Rubi mengundang tukang untuk menggali sumur. Sejak saat itu, ia menggunakan air dari sumurnya sendiri, terpisah dari sumur peninggalan kakeknya yang kini menjadi milik keluarga sang kakak. Pada awalnya, ia menggunakan timba untuk mengambil air di sumur barunya. Namun, usia yang semakin menua membuat perempuan kelahiran 1940-an itu beralih menggunakan mesin pompa air. Penggunaan mesin pompa juga ia terapkan pada dua penyewa rumah yang ia gambarkan sebagai “dua pintu”. Mbah Rubi menggunakan istilah “dua pintu” untuk menyatakan bahwa ada dua kepala keluarga yang menyewa rumahnya. Masing-masing petak ruangan memiliki pintu masuk sendiri yang juga terpisah dari pintu masuk kediaman Mbah Rubi. Dapat dikatakan bahwa sumur itu dipakai oleh penghuni tiga rumah.

Sejak masa remajanya, Mbah Rubi menjadi buruh cuci. Ia terbiasa berkeliling kampung, masuk dari satu rumah ke rumah lainnya untuk mencuci pakaian. Mula-mula, ia mencuci pakaian-pakaian kotor itu di rumah orang yang menyewa jasanya. Rata-rata, mereka yang menggunakan jasa cucinya memasang saluran air dari PDAM. Air yang digunakan untuk membilas pakaian-pakaian itu pun sering terlihat keruh dan berbau. Tidak jarang, warna kuning seperti warna karatan besi meninggalkan noda pada pakaian yang dicucinya. Karena itu, jika air dari PDAM terlihat keruh, ia tidak segan-segan membawa cucian ke rumah. Ia lebih senang membilas cucian itu dengan air dari sumur barunya. Air sumurnya lebih jernih, tidak berbau, dan tidak berwarna.

Ketika tulang-tulang di tubuhnya mulai menunjukkan kerentaan usia, Mbah Rubi tidak kuat lagi melanjutkan pekerjaannya sebagai buruh cuci. Ia pun berganti perkerjaan menjadi pengumpul sampah. Mulai dari sampah kertas hingga sampah plastik ia kumpulkan, lalu dijualnya ke pengepul.

Meskipun ia tidak lagi menjadi buruh cuci, akan tetapi ketergantungannya terhadap air sumur tidak serta-merta selesai. Kebiasaan siram-siram jalanan dan menyirami tanaman di halaman rumah yang dilakukan sejak masa mudanya, tidak bisa ia tinggalkan. Ia memiliki kesadaran bahwa kegiatan siram-siram bermanfaat. Tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi orang lain yang lewat di sekitar rumahnya.

Kegiatan menyirami tanaman di pekarangan juga sudah lama menjadi bagian hidup Mbah Rubi. Petak rumah yang ia tempati dipenuhi dengan berbagai jenis tumbuhan. Pagar tanaman teh-tehan mengelilingi halaman depan rumahnya. Tanaman berjenis semak itu tumbuh hampir satu meter tingginya. Kerapatan ranting-ranting cokelat yang tebal seolah-olah menyiratkan kesepuhan usia tanaman itu. Warna hijau pada daunnya tak terlalu tersamarkan oleh debu jalanan. Pertanda sering bersentuhan dengan guyuran air.

Penampakan bangunan rumah Mbah Rubi tidak terlalu jelas jika dilihat dari jalan kampung di tengah Kota Jogja—satu-satunya jalan yang melintasi rumahnya. Ketidakjelasan itu selain disebabkan teh-tehan yang tumbuh subur, juga karena adanya beberapa pohon yang tumbuh besar di muka rumah. Setelah melewati pagar tanaman, kita bisa melihat beberapa pohon jambu kluthuk. Pohon yang ia lupa tanam sejak kapan itu, setidaknya setahun sekali selalu berbuah lebat. Ketika dirasa sudah cukup masak, ia memanennya dengan penuh suka cita. Paling sedikit, ia akan mendapatkan satu tenggok atau sekitar lima kilogram. Selesai memetik, ia kemudian membawanya ke pasar untuk dijual. Biasanya, pedagang buah akan membelinya seharga Rp3.000,- hingga Rp4.000,- per kilogram. Selain mendapat kesenangan memetik buah dari pekarangannya sendiri, Mbah Rubi pun berbahagia lantaran mendapat tambahan penghasilan.

Di samping pagar tanaman dan pohon jambu, Mbah Rubi juga menanam beraneka jenis tanaman hias di dalam pot. Salah satunya adalah bunga kamboja merah. Di antara banyak pot berisikan tanaman hias jenis daun-daunan, tanaman kamboja terlihat paling menonjol. Bunga berwarna merah yang mekar di antara hijaunya cat rumah dan dedaunan, seolah-olah menegaskan sisi keelokan rumah itu. Ia mengatakan bahwa ia menyenangi suasana tersebut.

Karena itu, ketika air di sumurnya mengalami kekeringan, ia menjadi gusar. Sepanjang usia sumur barunya, ia mengalami dua kali penyusutan air tanah. Pertama, ia lupa kapan tepatnya terjadi penurunan muka air tanah. Ia hanya ingat bahwa pada saat itu, ia memanggil tukang ahli sumur untuk ngeduk sumurnya lebih dalam lagi. Pada waktu itu mengeluarkan Rp150.000,- untuk dua tukang yang melakukan pengedukan. Air pun kembali muncul dengan intensitas yang lebih banyak. Debitnya kembali normal.

Kedua, muka air tanahnya kembali menyusut pada Juli 2014. Penyusutan kedua ini ia rasakan sebagai sesuatu yang sudah melebihi batas kewajaran. Jika pada penyusutan pertama dulu ia masih bisa memanfaatkan air meskipun dengan volume yang sangat kecil, maka pada penyusutan kedua ia sama sekali tidak dapat memanfaatkan air sumurnya. Mbah Rubi tidak dapat menggunakannya bukan karena air yang keluar dari keran beraliran kecil, melainkan keadaannya yang memang sudah mengering. Air tidak bisa lagi disedot dengan mesin pompa.

Pada saat terjadi penyusutan kedua, Mbah Rubi mengira-ngira tinggi permukaan air di dalam sumurnya tidak lebih dari setengah meter. Menurutnya, keadaan tersebut berlipat lebih parah dibandingkan penyusutan yang pernah ia alami sebelumnya. Ia menggambarkan situasi tersebut dengan mengatakan, “Sat’é tenan parah!” (keringnya benar-benar parah). Ia merasa sedikit beruntung sebab pada saat itu kebetulan dua rumah yang ia sewakan sedang tidak ada penyewanya karena baru saja direnovasi. Ia memang tidak membebankan biaya pemakaian air kepada penyewa rumahnya. Ia hanya membebankan biaya listrik untuk mesin pompa air. Namun, Mbah Rubi tidak dapat membayangkan bagaimana seandainya dua petak rumah sewaannya itu sudah ada pengontrak yang baru dan ia tidak dapat menyediakan sumber air bagi mereka. Masalahnya, dengan ketinggian air yang kurang dari setengah meter itu tidak akan mencukupi kebutuhan—bahkan hanya untuk—satu rumah tangga.

Ia gusar bukan hanya karena akses terhadap air menjadi terbatas, melainkan juga kebutuhan air bagi tanaman-tanaman di pekarangannya. Meskipun ia tidak menyelesaikan sekolah dasarnya karena merasa tidak mampu berpikir ilmiah, ia memiliki welas asih terhadap sesama makhluk hidup—dalam hal ini tumbuhan. Ia, layaknya orang Jawa, selalu berusaha merasakan apa yang dirasakan oleh siapa pun di luar dirinya. Maka, ketika kekeringan melanda sumurnya, ia pun bersedih memikirkan tanaman-tanamannya. Ia khawatir tidak dapat melakukan kebiasaannya untuk menyirami tanaman lagi jika kekeringan terus berlanjut.

Sambil menunggu keadaan kembali seperti semula, Mbah Rubi tetap mencoba untuk berbagai air dengan tanaman-tanaman di pekarangannya. Ia tetap menyirami tanaman-tanamannya meskipun ia sendiri harus sangat berhemat dalam pemakaian air. Ia melakukannya karena ia terbiasa memposisikan diri berada dalam situasi sulit yang dihadapi siapa pun di luar dirinya. Sebagai makhluk hidup, ia membutuhkan air untuk bertahan hidup. Karena itu, ketika ia memosisikan diri sebagai tanaman, ia juga akan merasakan hal yang sama, yakni membutuhkan air untuk mempertahankan hidup. Bedanya, bila sebagai manusia ia dapat mengusahakan sendiri untuk mencari sumber air, maka sebagai tanaman ia membayangkan tak dapat melakukan hal yang sama seperti ketika ia menjadi manusia. Apalagi, untuk tanaman-tanaman yang berada di dalam pot. Akarnya terbatas untuk mencari sumber air di perut bumi.

“Yo disirami sithik-sithik. Sing penting uwite iso ngombe. Kan dekke yo butuh ngombe to. Bisane urip butuh ngombe. Yo podho karo awake dhewe. Nggih berbagi. Sing penting ki toyo. Ono beras ning ora ono banyu, yo piye mesusine, piye masake. Yo ora iso no.”

(“Ya disirami sedikit-sedikit. Yang penting tanamannya bisa minum. Dia juga membutuhkan minum.  [Tanaman itu] Bisa [tetap] hidup [karena] perlu minum. Ya sama seperti kita [manusia]. Ya, berbagi. Yang terpenting adalah [ada] air. Ada beras tetapi tidak ada air, ya bagaimana mencuci [berasnya], bagaimana memasak [beras itu]. Ya tidak bisa, dong.”)

Begitulah Mbah Rubi mengungkapkan pentingnya air dalam kehidupan manusia maupun tumbuhan. Sebagai makhluk hidup, keduanya membutuhkan air. Ia juga seolah ingin mengatakan bahwa keberadaan air jauh lebih mendesak dibandingkan dengan bahan pangan, seperti beras. Sebab, bahan pangan pun hanya akan bisa dikonsumsi apabila ada air untuk mengolahnya.

Sama seperti pada penyusutan pertama, saat penyusutan kedua Mbah Rubi berpikir bahwa fenomena tersebut terjadi karena faktor kemarau. Sepanjang usianya, ia hanya mengenal satu macam penyebab menurunnya muka air tanah, yaitu faktor kemarau. Sebelumnya, ia tidak pernah dihadapkan pada permasalahan sosial menyangkut air. Hingga setelah seorang aktivis yang tidak lain tetangganya itu melakukan “Aksi Mandi Tanah”, ia baru memahami bahwa ada faktor-faktor lain yang menyebabkan penurunan muka air tanah. Seperti, pembangunan yang tidak terkendali dan tidak memperhatikan faktor lingkungan.

Adapun pada saat terjadi penyusutan kedua, Mbah Rubi kembali memilih mengundang tukang ahli sumur untuk ngeduk. Pada awalnya, ia ingin melakukan suntik atau penambahan pipa demi mendapatkan sumber air yang lebih melimpah. Namun, setelah mendengar nasihat dari kakaknya yang mempertimbangkan faktor biaya dan kerumitan prosesnya, ia kemudian memilih untuk melakukan pengedukan. Ia telah mengeluarkan Rp300.000,- untuk membayar dua tukang. Ia juga harus mengeluarkan sedikit tambahan biaya guna membelikan mereka makanan ringan untuk satu hari kerja. Jumlah yang tidak sedikit bagi seorang Mbah Rubi.

Al-Fatihah untuk setiap jiwa yang menghormati air.

*Cerita ini merupakan bagian dari laporan penelitian berjudul “Jogja Asat” yang ditulis pada pertengahan 2016. Tokoh Mbah Rubi juga menginspirasi Penulis dalam pembuatan esai berjudul “Surat untuk Kekasih (Wong Begja Ala Ki Ageng Suryomentaram dalam Jogja Asat) pada buku Suluh Kebahagiaan terbitan MJS Press. Dikirim ke redaksi www.mjscolombo.com sebagai bagian dari usaha Penulis untuk mengingat pentingnya menghormati air dalam peringatan Hari Air Sedunia 2020.


Category : kebudayaan

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ainia Prihantini

Penyuka Sastra dan Penikmat Perjalanan