Kosombongan Iblis

slider
02 Oktober 2018
|
1307

Ada sebuah cerita yang sudah populer. Tapi, justru karena sudah populer, cerita tersebut tidak lagi berkesan dan menggetarkan. Sebagai cerita, dia kehilangan misteri, tenaga penggugah, dan daya penggerak. Akibatnya, dia menjadi cerita yang lumpuh dan menjadi metafor yang mandul, lebih-lebih di mata manusia modern yang melecehkan hal-hal yang tak ilmiah dan tak bisa dinalar.

Yang saya maksud adalah cerita tentang kedurhakaan Iblis. Manakala Tuhan menugasi bangsa malaikat untuk tunduk kepada Adam yang baru saja diciptakan, tidak semua malaikat menjalankan perintah itu. Satu malaikat pembangkang, yang dalam Islam bernama Iblis dan dalam agama samawi lain terkenal sebagai Lucifer, menolak tunduk kepada adam.

Meskipun semua kejadian telah diskenariokan oleh-Nya, dalam rangka mendidik manusia melalaui kitab suci, Tuhan tetap bertanya kepada Iblis, mengapa dia enggan tunduk kepada Adam. Bersandar pada kemampuan berpikirnya yang memang tinggi, Iblis menjawab dengan bangga dan yakin, tetapi sebenarnya juga naif. “Aku,” ujar Iblis, “lebih baik dari dia (Adam). Aku diciptakan dari api sedangkan dia diciptakan dari tanah”.

Jawaban ini mengumandangkan kesombongan Iblis. Karena kesombongan tersebut, secara alamiah dia terusir dari surga. Surga, tempat kedamaian dan kebahagiaan, tidak diperuntukkan bagi makhluk sombong. Nabi pernah bersabda, tidak akan masuk surga siapa pun yang menyimpan kesombongan dalam hati walaupun hanya serenik biji sawi.

Sejak peristiwa pengusiran, pengasingan, atau alienasi tersebut, Iblis dikutuk dengan sebuah amanah berat. Di panggung drama kehidupan dunia, dia harus berperan sebagai antagonis yang menguji keimanan manusia. Iblis menjadi tangan ilahi yang menyaring dan memilah mana golongan manusia rendah hati yang pantas memasuki surga dan mana golongan manusia tinggi hati yang kelak menemaninya di neraka.

Sampai di sini, melalui ceramah para ustaz dan kiai, kita tahu kelanjutan biografi Iblis. Yang jarang dibicarakan adalah penyebab kesombongan Iblis. Mengapa Iblis berteori bahwa dia diciptakan hanya dari api dan adam pun diciptakan hanya dari tanah? Dan mengapa dia begitu yakin dengan kebanaran teorinya? Selain karena kepercayaan berlebihan terhadap keandalan akal, Iblis sampai pada teori tersebut karena dia membaca kenyataan semata-mata secara artifisial.

Sebelum aliran fenomenologi mewarnai filsafat Barat, bahkan filsuf serasional Immanuel Kant pun sudah menjelaskan bahwa kenyataan terbangun dari dua dimensi, yaitu dimensi lahiriah yang disebutnya fenoumena dan dimensi batiniah yang dinamainya noumena. Itu artinya, untuk memperoleh pengetahuan yang tuntas dan utuh, kita tak bisa memandang kenyataan secara artifisial. Agar tidak terusir dari kebahagiaan yang surgawi, kita perlu merenungi lanskap kehidupan dunia dengan nalar semiotika spiritual. Nalar yang dihayati kaum sufi ini memandang semesta takdir sebagai bentangan jejaring ayat-ayat Sang Maha Cinta (al-Rahman) yang diciptakan tidak untuk kesia-siaan dan disia-siakan. Semesta kehidupan adalah hamparan hikmah yang memendarkan cahaya keindahan.

Nah, Iblis tidak berpikir dengan nalar semiotika spiritual ini. Dia melihat Adam, juga dirinya sendiri, secara lahiriah belaka. Iblis menyangka bahwa dirinya hanyalah api dan Adam hanyalah tanah. Dia lupa bahwa Adam juga memiliki dimensi batiniah yang berpotensi meninggikan derajat Adam bahkan hingga melampaui ketinggian derajat malaikat. Adam memang hanya tanah. Tapi ingat, Adam adalah sitihinggil, tanah yang ditinggikan.

“Jangan kau seperti Iblis,” tulis Maulana Jalaluddin Rumi dalam Diwan-i Syams-i Tabriz, “[dia] hanya melihat air dan lumpur ketika memandang Adam. Lihatlah di balik lumpur, beratus-ratus taman yang indah.” Ratusan taman indah di balik lumpur merupakan kiasan yang menunjuk pada ruh Ilahi yang diembuskan-Nya ke dalam tubuh Adam kala penciptaan.

Kecuali Iblis, jemaah malaikat lain “menyaksikan” ratusan taman indah di balik lumpur tersebut. Itulah sebabnya, dengan segenap kerendahan hati yang tulus dan jujur, mereka rela mematuhi perintah Tuhan untuk tunduk kepada Adam. Hakikatnya, mereka tidak tunduk kepada Adam sebagai tanah/lumpur. Mereka menemukan sesuatu yang luhur dalam diri Adam, yaitu tiupan ruh Ilahi. Mereka tunduk kepada Sang Pencipta yang meniupkan ruh tersebut.

Sementara itu, Iblis menyalahpahami perintah Tuhan. Disangkanya dia diharuskan tunduk kepada dimensi tanah/lumpur dari Adam. Tunduk kepada tanah/lumpur memang salah, sama sekali tak rasional, dan melanggar tauhid. Tapi, sesungguhnya Iblis tidak diperintah untuk tunduk kepada tanah/lumpur, melainkan kepada ruh Ilahi yang menjadi jangkar eksistensi, energi kehidupan, sekaligus pusat kedirian Adam. Iblis diperintah untuk tunduk kepada pencipta Adam.

Akibat cara berpikir yang artifisial (palsu; tidak alami; buatan), tumbuhlah benih kesombongan di hati Iblis sehingga dia enggan tunduk kepada Adam. Di sisi lain, dia pun bermaksiat (berdurhaka) kepada Tuhan. Artifisialisme mengalienasikan Iblis dari kebahagiaan surgawi. Artifisialisme melemparkannya ke dalam jurang neraka kesombongan, kedengkian, dan kebencian.

Iblis, demi mencari sebanyak-banyaknya teman dan pengikut, kemudian mengajarkan cara berpikir artifisial ini kepada manusia. Sepanjang perjalanan sejarah umat manusia, artifisialisme Iblis melahirkan keturunannya: formalisme, materialisme, simbolisme, literalisme, skripturalisme, dan saudara-saudaranya. Semua cara berpikir ini memperlakukan kenyataan sebagai objek pemahaman yang berdimensi tunggal. Dimensi batiniah kenyataan memang diakui, bahkan diyakini dan diimani, tetapi tidak dipertimbangkan dalam menarik kesimpulan dan mengambil keputusan.

Salat dipelajari dan dijalani secara fikihiah saja sehingga tidak membentengi seorang hamba dari perilaku korupsi. Mengenakan celana yang panjangnya di atas mata kaki, yang semula dianjurkan Nabi untuk mentradisikan kerendahan hati di kalangan sahabat, justru menandakan kesombongan. Bekas sujud (itsar al-sujud), yang maknanya adalah akhlak mulia yang didasari cinta, dimengerti secara lahiriah belaka sebagai bercak gosong pada kulit dahi. Bila sudah fasih dan merdu melantunkan al-Quran, saya sudah dianggap “membaca” Al-Qur'an, bahkan dipuji sebagai ahli ibadah yang alim.

Lebih menyedihkan lagi, bila sudah berhijrah dari pergaulan sesat dan sarat bidah, lancar mengutip ayat dan hadis, mengenakan jubah dan sorban, ditambah pula rajin salat berjamaah di masjid, segeralah saya ditahbiskan menjadi ustaz yang berwenang membimbing umat. Walhasil, saya pun akhirnya menjadi ulama yang bodoh, menuduh bodoh, dan membuat bodoh. Saya tidak mengerti Islam tetapi sok tahu tentang Islam dan tidak mau tahu tentang hakikat Islam.

Semua kesesatan dan penyesatan ini bermula dari akar yang sederhana: cara berpikir artifisial. Cara berpikir inilah yang dulu pernah menyebabkan Iblis bermaksiat kepada Tuhan sehingga dikutuk menjadi penghuni neraka dan penyesat manusia. Wallahu a’lam.

*Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, Edisi-03 Jumat, 28 September 2018/18 Muharram 1440 H


Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Lintang Noer Jati