Kebo Marcuet
Saya menangis terisak-isak. Hidung buntet. Mata blawur karena tertutup air mata. Hati sedih sekali. Bibi Engku sejak tadi berusaha menghibur. Tangannya memijit-mijit kaki saya. “Den Alit, cup, cup, den. Nanti beli lagi”. Saya menggeleng. Hati ini rasanya gelo banget. Menyesal kenapa kemarin saya lupa menaruh kembali wayang kardus itu ke tempatnya. Sekarang wayang kardus Kebo Marcuet itu rusak kehujanan. Remuk. Duh Gusti Pengeran, saya harus bagaimana?
“Besok pasaran legi, kita cari lagi, ya engger, di pasar Kotagedhe.” Eyang-uti mengelus-elus kepala saya. Saya masih tersedu-sedu. Belum bisa ngomong. Wayang Kebo Marcuet itu langka. Jarang sekali penjual wayang kardus mau membuatnya. Waktu itu Eyang-kung yang membawakan. Saya senang sekali. Kata Eyang-kung, Kebo Marcuet itu seorang lurah di zaman Majapahit. Orangnya lugu, jenaka, dan apa adanya. Hatinya riang, bicaranya jujur menyejukkan hati. Rendah hati dan pandai menghormati orang lain. Kata Eyang-kung, orang yang bisa menghormati orang lain, pasti orang yang mulia, luhur, dan terhormat. Kebo Marcuet itu orang yang luhur dan agung. Makanya dia rela hanya menjadi seorang lurah saja. Dia tidak tergiur pada jabatan-jabatan bergengsi di istana.
Kebo dari kata Arab keb, kub, atau khub, khubbun. Artinya cinta, yakni cinta kepada Allah. Kebo sinonimnya dengan kata kawi maesa. Ma-esa artinya meng-esa, menuju kepada Yang Esa. Marcuet dari kata ma-cuet-cuet. Artinya orang yang berani bicara. Kebo Marcuet adalah satu-satunya orang sederhana yang berani mengingatkan para pembesar Majapahit. Kebo Marcuet adalah sang pecinta Allah dan kebenaran. Maka dia menjadi maha sakti. Sang lugu tanpa tanding. Siapa bisa mengalahkan orang lugu? Qod aflakhal mukminun. Orang mukmin itu bejo kemayangan. Orang mukmin itu selalu dalam keberuntungan Tuhan. Bagaimanapun ia dibodohi, selalu saja berujung keberuntungan dan kebahagiaan.
Kata pak Carik, Friedrich Nietzsche, filsuf palu godam dari Deutschland, Jerman selatan, sangat memuja manusia lugu. O, sancta simplicitas, katanya. Orang lugu dan sederhana itu orang suci. Orang terpuji. Atau de la folie, artinya sang lugu! Saya kedip-kedipkan mata agar bisa memahami cerita pak Carik. Namun tetap saja tidak mengerti. Bagaimana mungkin? Sang lugu bagi Londo pasti hanya di anggap sebagai orang bodoh. Atau sebagai orang kalah. Atau malah dianggap orang yang cacat mental. Sementara Londo itu pemuja akal, dan hidupnya akal-akalan. Begitu juga orang Jawa yang kamilondonen. Orang Jawa yang berlagak Londo. Nietzsche sendiri akhirnya hanya dianggap sebagai orang gila. Ia mati merana di rumah sakit jiwa di Munchen. Orang lugu itu hidupnya akan tenteram hanya jika tinggal di Nuswantara. Karena hidupnya hanya bergantung kepada kasih sayang dan anugerah Gusti Allah. Orang lugu itu kesayangan Kangjeng Rosulullah.
Adalah Abi Dzarrin r.a. sahabat Kangjeng Nabi Saw. Sang lugu yang menggetarkan tanah Arab. Khalifah Ngusman r.a. selalu gemetar badannya jika sang lugu bicara mengingatkan. Apalagi Marwan bin Hakam L.A. patih khalifah saat itu. Ia terkenal sebagai patih yang sangat licik dan kejam. Abu Dzarrin juga yang berani mengingatkan Gubernur Damaskus Mungawiyah bin Abu Supiyan. Orang lugu selalu saja pemberani. Sebaliknya orang licik pasti pengecut. Mendengar Mungawiyah hidup mewah di Damaskus, sang lugu ini mendatanginya dengan menunggang keledai dan menghunus pedang. Marwan bin Hakam L.A. si licik itu berusaha menghalangi.
“Wahai Abi Dzarrin, biarkan Mungawiyah mewah-mewahan. Baitul Maal itu milik Allah SWT. Dan Mungawiyah itu salah satu gubernurNya.”
“Apa kau bilang?” kata sang lugu sambil memukul kepala patih L.A. itu. “Dasar dungu kau wahai anak haram Hakam. Dasar Yahudi! Baitul Mal itu milik kaum muslimin. Milik rakyat!” Seketika patih licik itu bercucuran keringat dingin. Ia lari terbirit-birit ke istana Baginda Ngusman r.a. memohon agar segera menghentikan langkah sang lugu. Baginda Ngusman r.a. gemetar badannya. Segera beliau memerintahkan untuk menangkap sang lugu, Abi Dzarrin. Baginda Ngusman r.a memutuskan untuk membuang sang lugu ke tengah lautan pasir sendirian.
“Alakamdulilaah. Baginda Ngusman, dan engkau si licik Marwan. Dengarkanlah, telah berlaku ketentuan dari Kangjeng Nabi Saw untuk diriku. Aku datang sendirian ke tanah Madinah ini, dan akan berpulang juga sendirian ke hadirat Allah SWT. Ya Rosulullah, tunggulah kedatangan sang lugu ini di pintu swargamu.” Baginda Ngusman menyadari inilah fitnatul kubro. Inilah tanda runtuhnya khalifah dan kebenaran. Keringat dinginnya bercucuran membasahi janggutnya yang sudah basah karena air mata.
Maka ketika Kebo Marcuet memutuskan untuk menghadap ke istana Majapahit, seketika Kraton Majapahit geger. Sang lugu sudah tandhang gawe, artinya sedang melaksanakan bakti kehadirat Ilahi. Gadanya wesi kuning. Wesi itu besi, besi terbaik itu purosani atau purusatama. Artinya manusia utama. Kuning kiratabasa dari kukuh wening. Hati yang kokoh, bersih, dan jernih tanpa ambisi dan tanpa kesombongan. Sang lugu berangkat ke Majapahit dikawal dua raksasa renggutmukha dan angkatbuta. Mukha dan buta artinya raksasa. Kebo Marcuet memiliki daya yang luar biasa besar untuk mengangkat dan merenggut setiap kepalsuan.
Mendengar berita ini Sang Ratu dan patihnya si licik, Logender L.A., sudah depresi. Jika sang lugu sudah beraksi, maka hanya satu artinya. Majapahit telah melakukan kesalahan. Majapahit sedang menyimpang dari kebenaran. Keringat dingin membasahi punggung Sang Ratu. Logender L.A. panik. Ia perintahkan seluruh angkatan perang Majapahit pergi menghadang. Namun siapakah yang bisa mengalahkan sang lugu? Seluruh anasir alam membela Kebo Marcuet.
Unsur tanah bangkit dan seketika menggulung bala tentara darat Majapahit. Unsur air tidak ketinggalan. Seluruh bala tentara air Majapahit, di laut dan sungai, porak poranda. Demikian juga badai taifun, tak segan-segan meniup mundur bala tentara. Sedangkan bala tentara sorogenen Majapahit, seluruh meriam, bedhil, dan mimisnya tidak mau meledak. Pasalnya api tak mau membantu. Seluruhnya mejen. Aduhai, bagaimana ini gerangan seharusnya?
“Saya itu bukannya mau perang. Saya itu hanya ingin mengingatkan Baginda Ratu,” demikian Kebo Marcuet sambil menangis tersedu-sedu. Mendengar kata-kata ini, si licik Logender L.A. semakin panik. Jangan sampai niatan baik ini terdengar Baginda Ratu. Bahaya. Kebenaran itu bahaya. Kesederhanaan itu bahaya. Kejujuran itu bahaya. Ketentraman itu bahaya. Kesucian itu bahaya. Rendah hati itu bahaya.
Logender L.A. (1330-an masehi) matek aji. Ia kesurupan arwah Marwan bin Hakam L.A. (684 masehi), teladannya. Segera mereka menyuruh seluruh carik dan empu agar menulis kitab sejarah dan serat tentang Kebo Marcuet. Sejarah Kebo Marcuet harus ditulis buruk dan jahat. Kepalanya harus dilukiskan sebagai berkepala kerbau. Juga Minakjinggo, anaknya Kebo Marcuet. Kepalanya dilukiskan sebagai berkepala anjing. Jangan sampai generasi mendatang tahu bahwa fitnatul kubro itu nyata.
Kata Eyang-kung, dulu Kangjeng Nabi pernah ditanya. “Siapakah penghuni neraka itu ya Rosulullah?”
“Kebanyakan adalah kaum wanita yang berbuat maksiyat”
“Kalau begitu penghuni swarga apakah kaum laki-laki, ya Rosulullah?”
“Bukan. Mereka adalah qoumul bulkh. Mereka adalah orang-orang lugu, baik lelaki maupun perempuan.”
Saya menangis semakin nelangsa. Wayang Kebo Marcuetku nggak bisa diperbaiki. Remuk. Saya menangis sambil menjejak-jejak gebyok rumah. Gebyok itu dinding terbuat dari kayu. Di gebyok itu tergantung gambar mahkota Majapahit. Gebyok tua itu bergetar. Saya terus saja menjejaknya. Kontan gambar mahkota Majapahit itu jatuh bersama piguranya. Bibi Engku panik. “nDaraaaa... ndaraaa... mahkotanya jatuh!” Saya terdiam. Waduh, celaka ini. Eyang-uti bisa marah besar. Pangkal paha saya bakalan dicubiti Eyang-uti sampai merah. Waaaaa... ampun.[]
Category : buletin
SHARE THIS POST