Jaran-Jaranan

slider
21 Agustus 2015
|
9706

Betapa senangnya hati saya. Kuda-kudaan dari gedebog pisang selesai dibuatkan yang-kung. Langsung saya pakai main berlari-larian.

Jaranan... jaranan

Jarane jaran teji

Sing numpak ndara Behi

Sing ngiring para mentri...

***

Kata yang-kung lagu itu ciptaan Pangeran Dipanegara sebagai lantunan kesedihan hatinya ketika peperangan di Majaksingi, Magelang. Ndara Behi dan putra beliau Pangeran Jayakusuma gugur syahid berkalang tanah. Tidak puas dengan kematian itu, Kumpeni masih memenggal kepala Ndara Behi. Kepalanya ditusuk tombak, dan diarak keliling untuk memamerkan kemenangan mereka terhadap Pangeran Dipanegara.

Sementara Pangeran Dipanegara mengamati seluruh peristiwa itu dari atas bukit. Mengetahui paman Behi dan sepupunya gugur, beliau melompat menuju medan laga. Kepedihannya memuncak. Geramnya meledak. Mana pernah Kumpeni menang melawan bregada Mataram? Sejak kapan mereka berani menghina syuhada Mataram? Memenggal dan mengarak kepala Ndara Behi adalah penghinaan dan pelecehan.

Namun tiba-tiba eyang anom Pangeran Mangkubumi sepuh memegangi tangannya. “Angger Kibarul Mukminin, jangan ngger...”. Kuda Gagak Rimang meringkik kecewa, karena tidak jadi bertempur dengan Kumpeni. Kangjeng Pangeran Dipanegara tertunduk menyadari. Bahwa pertempuran suci bukan arena balas dendam. Pertempuran suci bukan pula arena untuk kehebatan strategi perang. Pertempuran suci hanya semata melaksanakan dhawuh agung Gusti Kang Maha Welas Asih.

Meskipun pandangannya nanar menyaksikan kepala Ndara Behi diarak keliling Magelang. Tangannya mengepal geram. Gigi beliau gemeletak tidak bisa terima atas perlakuan Kumpeni terhadap Ndara Behi. Namun beliau, Pangeran Dipanegara yang juga bernama Sultan Abdul Hamid, harus merelakan semuanya terjadi. Karena semua itu kehendak Yang Maha Mulia.

Malah kata Pak Carik, dulu Kangjeng Nabi Muhammad SAW juga begitu. Hanya bisa berkaca-kaca. Hatinya tercekat menyaksikan pamanda Hamzah bin Abdul Muthalib gugur dalam pertempuran Uhud. Telinganya dipotong. Dadanya disobek, jantungnya hilang. Semua itu ulah Hindun dan Abu Sofyan yang membalas dendam kematian Umayyah. Sungguh pun Allah SWT membolehkan pembalasan, namun hanya dengan yang setara saja. Tidak diizinkan berlebih-lebihan. Namun, Gusti Allah malah berfirman bahwa memaafkan jauh lebih baik. Karena sesungguhnya Gusti Allah itu Roufurrokhiem. Gusti Allah Yang Maha Pemaaf.

“Ini lho orang Nuswantara ngger” kata yang-kung. Orang Jawa atau orang Nuswantara adalah orang yang merelakan dirinya untuk semata melaksanakan wahyu. Melaksanakan perintah Ilahi, menjadi pamomong buwana, menjadi guru dunia. Bukan manusia yang gila hormat dan gila kemenangan. Apalagi gila kehebatan dan pamer. Naudzubillahi min dzalik.

***

Jaranan, jaranan, jarane jaran teji

Sing numpak Ndara Behi

Sing ngiring para mentri

Jrek, jrek, nong, jrek, jrek, nong

Jarane mlayu neng nglurug

Gedhebug jedher, gedhebug jedher

Prok, prok, gedhebug jeder

(Kuda-kudaan, kudanya kuda lincah

Yang naik Ndara Behi

Pengiringnya para menteri

Dengan suka cita pergi berperang)

Jaranan-jaranan, jarane jarang kepang

Sing numpak klambi abang

Mlayune ndut endutan

Jrek, jrek, nong, jrek, jrek, nong

Jarane mlayu neng nglurug

Gedhebug jedher, gedhebug jedher

Prok, prok, gedhebug jeder

(Kuda-kudaan, kudanya kuda kepang

Penunggangnya bersimbah darah

Larinya limbung tanpa arah

Dengan suka cita pergi berperang)

Jaranan-jaranan, jarane jaran kore

Ranana kendhaline, jarane mlayu dhewe

Jrek, jrek, nong, jrek, jrek, nong

Jarane mlayu neng nglurug

Gedhebug jedher, gedhebug jedher

Prok, prok, gedhebug jeder

(Kuda-kudaan, kudanya kuda kore

Tiada lagi penunggangnya

Sang kuda berlari sendirian

Dengan suka cita pergi berperang)

***

Saya terus berlarian sambil mendendangkan lagu jaranan. Yang-kung mengejar-ngejar dari belakang. Saya terus berlari kegirangan. Tapi entah mengapa, yang-kung mengejar-ngejar sambil berlinangan air mata. Sambil tetap sabar dan tertawa. Menari dan berlari dengan mata yang teduh dan hati yang lapang. Yang-kung menggoda saya: ayo lik, jangan kalah oleh amarah. Ayo lik, jangan kalah oleh gengsi. Ayo lik, jangan kalah oleh harga diri. Ayo lik, jangan kalah oleh rumangsa menang, rumangsa bener. Ayo lik, semua yang rumangsa itu tinggalkan. Ayo lik, kita sabar dan bersyukur hati. Menanti datangnya saat suka dan bahagia hati. Ayo lik...! Wallahu a’lam.

*Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, Jumat 21 Agustus 2015


Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

HS. Janutama

Warga Yogyakarta.