Jangan Berputus Asa dalam Menjalani Kehidupan

slider
17 November 2025
|
87

Ngaji Rutin Selasa Malam: Jangan Berputus Asa dalam Menjalani Kehidupan | Ust. Dr. Muhammad Taufiq, M. Ag | Selasa, 28 Oktober 2025

Dalam perjalanan eksistensi manusia, setiap individu pasti akan berhadapat dengan dinamika dan persoalan hidup yang tak terhindarkan. Dalam konteks psikologi agama, respons negatif terhadap dinamika ini seringkali memuncak pada kondisi keputusasaan (ya’su). Secara terminologis, keputusasaan adalah keadaan emosional yang ditandai dengan hilangnya harapan, keyakinan, serta perasaan tidak berdaya dalam menghadapi cobaan atau rintangan hidup.[1] Kondisi ini, yang digambarkan secara metaforis sebagai patah arang, melumpuhkan semangat dan menghentikan upaya.

Secara teologis, Islam secara tegas melarang keputusasaan. Larangan ini bukan sekadar anjuran moral, melainkan penetapan status spiritual, yang berlandaskan pada firman Allah SWT, “... Dan janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum kafir.” (QS. Yusuf [12]: 87).[2] Penegasan ini mengindikasikan bahwa keputusasaan merupakan anomali iman, sebab bertentangan langsung dengan keyakinan akan tauhid (keesaan dan kemahakuasaan Allah) serta rahmat Ilahi (kasih sayang Tuhan).

Analisis Etiologis: Empat Faktor Pemicu Keputusasaan

Meskipun dilarang, keputusasaan seringkali muncul karena adanya interaksi antara kegagalan personal dan tekanan lingkungan. Setidaknya terdapat empat faktor pemicu utama yang mendorong individu menuju kondisi patah semangat, di mana tiga faktor bersifat eksternal-psikologis dan satu faktor bersifat internal-spiritual.

Pertama, kegagalan berulang dan tuntutan perfeksionisme. Kegagalan yang terjadi secara repetitif dalam mencapai tujuan, baik itu dalam bisnis, pendidikan, maupun karir, sering menjadi alasan utama seseorang menarik diri dari arena perjuangan. Perspektif ini menganggap kegagalan sebagai akhir dari jalan, bukan sebagai tahap dalam proses.[3]

Padahal, dalam etika profesionalisme, kegagalan seharusnya diartikan sebagai “kesuksesan yang tertunda” atau data empiris yang menuntut perubahan metodologi. Secara historis, keberhasilan seorang tokoh seperti Thomas Alva Edison menemukan lampu listrik terjadi setelah melakukan ratusan kali percobaan yang gagal. Praktik ini menunjukkan bahwa ketahanan (resilience) adalah kemampuan untuk terus mengulangi ikhtiar meskipun mengalami kegagalan berulang.[4]

Kedua, tekanan sosial dan lingkungan. Tekanan eksternal dari lingkungan sosial, terutama dari keluarga, sering menjadi beban berat. Tuntutan untuk mencapai standar tertentu, misalnya harus kuliah di universitas favorit atau mendapatkan posisi prestisius yang tidak selaras dengan kapasitas atau keinginan pribadi dapat memicu krisis identitas.

Ketika kegagalan terjadi dalam upaya memenuhi ekspektasi orang lain, individu cenderung merasa tidak nyaman, bahkan tertekan, yang berujung pada penyerahan diri.[5] Dalam psikologi sosial, dukungan yang diberikan seharusnya berupa motivasi dan dorongan alih-alih bentuk tekanan yang dapat merusak harga diri anak atau anggota keluarga.

Ketiga, krisis kesehatan mental. Faktor kesehatan mental seperti depresi klinis, kecemasan (anxiety), dan stres berkepanjangan memiliki korelasi yang kuat dengan keputusasaan. Kekalahan emosional yang ekstrem, seperti trauma akibat perselingkuhan atau kekecewaan mendalam, dapat memicu reaksi psikologis yang melampaui batas toleransi mental.

Kasus-kasus gangguan jiwa (ODGJ) seringkali berakar dari depresi dan stres berat yang dipicu oleh patah hati dan tekanan hidup. Oleh karena itu, penguatan mental, baik melalui terapi profesional maupun melalui asupan spiritual rutin (pengajian) yang menyejukkan hati, adalah mekanisme pertahanan diri yang esensial.

Keempat, tipisnya harapan hidup (fragile hope). Faktor internal ini merujuk pada pandangan hidup yang pesimistis, di mana individu tidak memiliki keyakinan kuat akan adanya perubahan atau masa depan yang lebih baik. Pandangan hidup yang ringkih ini sering berujung pada pola pikir fatalistik: “Saya pasti tidak akan berhasil” atau “Hidup saya hanya akan begini-begini saja.”[6]

Perspektif Islam menekankan bahwa perubahan nasib dapat terjadi kapan saja. Keberhasilan atau kemakmuran dapat datang dari jalan yang tak terduga, menentang segala pesimisme rasional. Dengan demikian, menjaga harapan hidup tetap besar adalah investasi spiritual.

Prinsip Teologis Resiliensi: Mengapa Kita Dilarang Berputus Asa?

Larangan berputus asa dalam Islam didasarkan pada empat prinsip tauhid dan etika praktis yang membangun resiliensi mental dan spiritual.

Pertama, prinsip sunnatullah tentang perubahan diri. Alasan pertama berakar pada prinsip universal bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum (atau seseorang) hingga mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka (QS. Ar-Ra’d [13]: 11).[7] Prinsip ini menetapkan hubungan kausalitas antara usaha (ikhtiar) dan hasil. Keputusasaan secara efektif melanggar prinsip ini karena menghentikan ikhtiar. Selama ada usaha dan kemauan untuk memperbaiki diri dan metode, pintu perubahan nasib senantiasa terbuka lebar.

Kedua, prinsip kemahakuasaan mutlak (kun fayakun). Kita dilarang berputus asa karena harus meyakini prinsip bahwa tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.[8] Segala sesuatu terjadi hanya melalui kehendak-Nya (Kun Fayakun) (QS. Yasin [36]: 82). Kisah Nabi Musa a.s. menjadi ilustrasi sempurna.

Nabi Musa a.s sewaktu bayi yang ditargetkan untuk dibunuh oleh Firaun sejak lahir, justru diasuh dan dibesarkan di rumah Firaun sendiri, sehingga musuh justru memelihara benih kehancurannya sendiri. Kisah ini mengajarkan bahwa ketika perhitungan rasional menunjukkan kebuntuan, kita harus bersandar pada kekuatan Ilahi yang melampaui logika.

Ketiga, keputusasaan sebagai sifat dasar iblis. Secara ontologis, keputusasaan adalah sifat yang melekat pada Iblis. Sebelum diusir, Iblis dikenal sebagai Azazil adalah makhluk yang taat, namun ia jatuh karena keangkuhan (takabbur) saat menolak sujud kepada Adam. Iblis merasa lebih mulia karena diciptakan dari api, sementara Adam diciptakan dari tanah.[9]

Keangkuhan Iblis mengantarkannya pada kekufuran dan selanjutnya, keputusasaan abadi dari rahmat Allah. Dengan berputus asa, seseorang meneladani sifat Iblis. Sebaliknya, sifat seorang mukmin adalah ketundukan dan kerendahan hati, yang menghasilkan optimisme dan keyakinan akan rahmat Tuhan.

Keempat, perlindungan melalui sabar dan tawakal. Pada tingkat praktik spiritual, resiliensi dibangun melalui sabar dan tawakal. Kesabaran adalah keyakinan kokoh bahwa “Innallaha ma’as-sabirin” (Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar), menjamin bahwa di balik setiap kesulitan terdapat hikmah dan pelajaran yang berharga.

Sementara itu, prinsip tawakal (berserah diri) didasarkan pada pemahaman bahwa Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (La yukallifullahu nafsan illa wus’aha). Prinsip ini menenangkan hati, jika cobaan itu ada, berarti Allah telah memberikan kemampuan untuk menanggungnya. Setelah usaha keras dilakukan, penyerahan diri secara total kepada Allah menjadi benteng terakhir melawan keputusasaan.

Penutup

Menolak keputusasaan adalah sebuah pilihan sadar untuk hidup dalam bingkai tauhid dan ikhtiar. Resiliensi spiritual adalah kunci untuk menghadapi dinamika hidup. Dengan memahami bahwa kegagalan adalah pelajaran, harapan adalah sumber daya, dan keputusasaan adalah sifat yang diwariskan oleh keangkuhan, seorang Muslim memiliki bekal etis dan teologis untuk menjalani kehidupan dengan optimisme, sabar, dan tawakal.

Referensi:

Al-Ghazali, Imam. Ihya’ Ulumiddin. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, n.d.

Syalabi, Ahmad. Gaya Hidup Muslim Kontemporer: Etika dan Profesionalisme. Gema Insani Press, 2000.

Kartono, Kartini. Psikologi Agama. Bandung: Mandar Maju, 2011.

Al-Jauziyah, Ibn Qayyim. Madarijus Salikin: Meniti Jalan Hamba-Hamba Allah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2018.

 

[1] Kartini Kartono, Psikologi Agama, Bandung: Mandar Maju, 2011, hlm. 45.

[2] Ahmad Syalabi, Gaya Hidup Muslim Kontemporer: Etika dan Profesionalisme, Gema Insani Press, 2000, hlm. 112.

[3] Ahmad Syalabi, hlm. 115.

[4] Ahmad Syalabi, hlm. 120.

[5] Kartini Kartono, hlm. 78.

[6] Ibn Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus Salikin: Meniti Jalan Hamba-Hamba Allah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2018, hlm. 301.

[7] Ahmad Syalabi, hlm. 110.

[8] Ibn Qayyim Al-Jauziyah, hlm. 305.

[9] Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, n.d., hlm. 55.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Alfi Sahrin Al Gulam Lubis

Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini sedang magang di Lini Media Masjid Jendral Sudirman