Irony dan Pencarian Makna: Selayang Pandang Paralelisme Socrates dan Kierkegaard

slider
06 November 2020
|
2181

Soren Kierkegaard (1813-1855) adalah salah satu figur anomali pada zamannya. Terlihat dari kritiknya terhadap budaya dan tradisi di zaman ia hidup. Jalan hidupnya sudah dimulai sejak belajar di Universitas Copenhagen, Denmark, dan kali pertama mewujud dalam dunia akademik dengan tesis yang ia susun. Bukan hanya secara substansial, tesisnya juga mendobrak tradisi penulisan ilmiah konvensional yang sudah berjalan lama.

The Concept of Irony (1841) adalah wujud pertama dari luapan kritik Kierkegaard. Dengan semangat metode negativitas yang diilhami dan diadopsinya dari Socrates, keseluruhan karya hingga Kierkegaard meninggal adalah bentuk dari kritik atas kemapanan otoritatif pengetahuan, budaya, dan tradisi pada zamannya.

Karya-karya pseudonyms-nya (karya yang tidak dinisbahkan pada namannya melainkan pada tokoh-tokoh fiktif) pun, dengan nama penulis yang berbeda-beda memiliki maksud dan sasaran kritiknya masing-masing.

Kierkegaard sangat terilhami oleh Socrates (abad ke-5 SM) dengan metode dialektika yang terekam dengan indah dalam karya-karya Plato. Metode Sokrates ini berupaya mempertanyakan sesuatu yang telah mapan dengan memberikan contoh-contoh kasus yang berhubungan.

Socrates menemukan bahwa setiap orang yang ia ajak diskusi dan dianggap ahli pada bidang tertentu, nyatanya tidak benar-benar mengetahui dan paham atas suatu hal. Pertanyaan-pertanyaan berupa contoh kasus yang diajukan Socrates tidak dapat secara komprehensif dijawab oleh orang-orang yang terkenal sebagai ahli oleh masyarakat Athena masa itu.

Dari sini, Socrates menyimpulkan bahwa ia adalah orang yang paling bijak karena mengetahui bahwa ia tidak mengetahui apa-apa dibanding orang lain yang mengaku mengetahui namun tidak dapat memberi jawaban yang memadai dan dangkal. Perkara seperti inilah yang disebut sebagai irony oleh Kierkegaard, di mana definisi umum yang telanjur berlaku terbentur dan tergoyah oleh contoh kondisi-kondisi konkret yang mungkin.

Metode dialektika Socrates atau yang disebut oleh Hegel sebagai metode negativitas inilah yang menjadi metode sekaligus jalan hidup karier intelektual Kierkegaard.

Kierkegaard melihat kehidupan pada masanya telah terdistorsi oleh ironi berupa pengetahuan-pengetahuan mapan yang dilancarkan oleh instansi negara, agama, tradisi, norma masyarakat, etika, dan standar-standar yang ditetapkan dan diwacanakan secara konvensional, yang menutup kemungkinan bagi individu untuk memperoleh pengalaman konkret individual dan penghayatannya sendiri atas pakem-pakem tersebut. Individu dipaksa tunduk pada budaya dan tradisi yang ada dengan ancaman akan dirundung jika mencoba mempertanyakan dan mempersoalkannya.

Kierkegaard melihat adanya arogansi elite agama, negara, dan masyarakat yang berusaha membungkam hak-hak individual untuk menghayati dan mengalami secara individual suatu tradisi dan melampaui batasan-batasan standar komunal-konvensional. Ia melihat tidak adanya artinya kehidupan konkret indvidu-individu yang hidup di dalamnya, jika budaya dan tradisi tertutup untuk dipertanyakan dan dimaknai lagi oleh setiap orang.

Kierkegaard dengan metode negativitas ala Socrates berupaya mempertanyakan dan mengkritik apakah makna budaya dan tradisi adalah seperti sebagaimana yang disampaikan oleh elite otoritas yang memangkunya? Atau justru berbeda sama sekali dengan apa yang dialami dan dihayati setiap individu yang hidup di dalamnya?

Kritik Kierkegaard paling mencolok tertuju pada instansi agama Kristen yang dianggap berusaha menjelaskan apa itu kristenitas dan bagaimana menjadi seorang Kristen sesuai aturan-aturan baku ajarannya dengan mengabaikan arti penting pengalaman individual pemeluknya. Baginya, upaya menjelaskan secara rasional yang banyak disajikan para elite Gereja hanya akan mereduksi agama pada ruang sempit formalisme ritual/ibadah dan mengaburkan makna esensial dari agama, yakni kepercayaan terhadap kontradiksi-kontradiksi yang terkandung di dalamnya.

Dalam Fear and Trumble (1843), Kierkegaard mencontohkan kisah Abraham yang diperintahkan untuk mengorbankan anaknya yang secara kontradiktif bertentangan dengan akal sehat, hati nurani seorang ayah, serta norma universal yang berlaku.

Pada bagian lain, Kierkegaard juga menolak rasionalisasi konsep ketuhanan pada diri Yesus, yaitu Tuhan yang menjelma manusia. Perasionalan Tuhan yang lumrah dilakukan oleh para teolog ini, baginya ini tidak akan mengantarkan pada hakikat esensial agama, melainkan hanya menutup kemungkian pemahaman konkret religius individu. Menurut Kierkegaar, kontradiksi ini harus diterima sebagaimana adanya dan bukan untuk didudukkan dalam diskursus logos manusia, melainkan ruang bagi (lompatan) keimanan.

Bagi Kierkegaard, tidak ada pengetahuan mapan atau otoritas yang bisa mengklaim paling mengetahui ajaran Kristen dan oleh karenanya lebih Kristen dari orang lain. Pengetahuan seperti itu hanya akan jatuh pada perdebatan doktrin-doktrin teologis.

Kierkegaard bersikeras, bahwa pengetahuan akan keimanan tidak berada pada ruang diskursus pengetahuan teologis, melainkan keyakinan konkret individual yang mengimani dan menghayatinnya. Oleh sebab itu, tidak ada pengetahuan baku berupa argumen teologis atau semacamnya, dan dengan demikian tindakan yang harus diambil adalah melakukan “lompatan keimanan”.

Dengan lompatan keimanan inilah pemeluk Kristen akan benar-benar meresapi dan menghayati agamanya melampaui batasan-batasan doktrin teologi. Kierkegaard merasa tidak memiliki pengetahuan akan keimanan Kristen walaupun ia benar-benar menguasai agama ini. Baginya, mendikte bahwa agama adalah seperti ini dan bukan seperti itu hanya akan mengekang penghayatan individu pada agama.

Pada Socrates di era klasik Yunani kuno, banyak orang yang merasa memiliki pengetahuan dan berhak diakui sebagai memiliki otoritas akan sesuatu. Kabar dari Oracle di Delphi mendorong Socrates untuk mencari pembuktian, apakah benar ia adalah manusia terbijak? Padahal, ia tidaklah mengetahui apa-apa dibanding para Sofis dan orang-orang yang dipandang bijak lainnya.

Socrates kemudian terdorong untuk mempertanyakan segala sesuatu kepada para ahli yang berkaitan, dan menemukan para ahli ini nyatanya tidak benar-benar menguasai hal yang orang anggap ia bisa. Socrates bertanya dan bertanya hingga kawan bicaranya merasa tersinggung dan terganggu atas pertanyaan dan meninggalkan Socrates sendiri. Inilah sikap yang diterimanya hingga akhirnya keresahan masyarakat dan elite penguasa Athena menyeret Socrates ke persidangan.

Socrates dianggap merusak tatanan masyarakat yang telah mapan, menghasut anak muda, dan menolak dewa-dewa orang Yunani dengan mempersoalkan pengetahuan elite otoritas yang dipandang bijak, serta mempertanyakan budaya dan tradisi yang ada dengan metode bertanya dan terus bertanya.

Tindakan Socrates ini tidak lain didorong oleh kegelisahan atas pertanyaan apa benar ia orang yang paling bijak dibanding orang-orang yang lebih tahu dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti, apa itu keadilan? Apa itu keindahan? Dan pertanyaan mendasar lain yang dianggap telah menemukan kesimpulan final.

Kesejalanan untuk hari ini

Masa di mana Socrates dan Kierkegaard hidup sekilas berbeda. Namun keduanya memiliki karakter sikap yang sama terhadap zamannya. Socrates dengan dorongan nurani dan metode dialektika mempertanyakan definisi-definisi yang dianggap selesai kepada ahli-ahli tertentu. Dengan melempar pertanyaan-pertanyaan mendasar, Sokrates tidak menemukan bahwa definisi-definisi yang berlaku itu memadai. Para ahli itu tak ayalnya seperti pemula yang baru saja belajar dan tidak mengetahui apa-apa, bahkan tidak mengetahui ketidaktahuan dirinya sendiri.

Pada titik ini, Socrates sampai pada kesimpulan bahwa hanya ialah yang tahu bahwa ia tidak tahu apa-apa. Dan oleh karenanya, kabar dari Oracle (untuk sementara) dapat diterima, bahwa ia adalah orang paling bijak.

Socrates tidak memberikan jawaban positif dan tidak memeroleh jawaban positif dari kawan bicaranya selain negasi-negasi yang lahir dari pertanyaan-pertanyannya yang tak berujung simpulan. Dengan menegasikan definisi-definisi, dialog, akan membuka makna-makna yang lebih luas. Namun sayangnya, keterbukaan bagi makna-makna baru ini tidak disambut gembira oleh kawan bicaranya—melainkan malah persekusi.

Kierkegaard hidup di masa pemikiran Hegel tengah menjadi tren filsafat dan akademik serta menjadi landasan rasional atas penjelasan dogmatis agama Kristen oleh pengikutnya. Seperti Hegel, sebelum Kierkegaard, telah lebih dulu memberikan perhatian khusus kepada Socrates.

Hegel menyebut Socrates sebagai pionir yang merubah perhatian pemikiran Yunani dari kosmosentris ke antroposentris yang menempatkan subjek manusia sebagai perhatian utama filsafat.

Namun, Hegel melihat kelemahan pada bangunan metodologi Socrates sebagai tidak komprehensif karena tidak menghasilkan definisi yang positif dari dialog-dialog yang dilakukannya. Kierkegaard menolak anggapan itu seraya mengungkapkan bahwa justru ketidakadanya definisi positif atas segala hal inilah yang menjadi kekuatan dan ciri khas metode dialektika Socrates.

Kierkegaard memandang Hegel terlalu ingin membakukan segala hal menjadi positif dan itu berlawanan dengan ruh metode Socrates yang ingin menolak dan mempertanyakan segala hal demi mencapai kebenaran.

Kebenaran sesungguhnya tidak lain hanya dapat dipahami dan dimaknai secara subjektif oleh individu-individu yang merefleksikannya. Makna tidak berada pada kesepakatan-kesepakatan positif, melainkan berada pada bagaimana makna tersebut memiliki arti dalam penghayatan individu dengan terus-menerus menegasikan dan merefleksikannya bagi diri kehidupan konkret diri sendiri.

Spirit menegasi inilah yang diadopsi dan dilancarkan Kierkegaard pada institusi agama Kristen di zamannya yang dipandangnya otoriter dan menutup segala kemungkinan bagi umatnya untuk memahami ajaran Kristen secara mandiri, konkret, dan individual.

Dari sini dapat kita lihat persamaan Socrates dan Kierkegaard, bahwa keduanya berupaya menaikkan isu individualitas dan subjektivitas atas budaya dan tradisi yang cenderung menyeragamkan setiap individu di zamannya.

Dengan mempertanyakan dan mempertanyakan segala definisi, individu akan menemukan kebenaran eksistensial yang paling konkret dan klop bagi dirinya. Socrates dalam hal ini mendorong masyarakat Yunani masa itu untuk menemukan kebenaran yang telah “tertanam” dalam dirinya.

Dengan bertanya, Socrates mendorong agar setiap individu merefleksikan pengetahuan, budaya, dan tradisi yang yang ada sembari menyerap makna sepenuhnya untuk kehidupannya. Jika ditemukan tidak bermakna, maka tidak salah untuk ditinggalkan. Inilah yang disebut sebagai miautic atau midwifery atau pembidanan bagi makna-makna. Socrates dalam hal ini menjadi bidan bagi lahirnya kebenaran-kebenaran subjektif yang mungkin terbuka bagi setiap individu.

Alih-alih memberikan jawaban positif atas sesuatu, Socrates mendorong agar kebenaran tersingkap dengan caranya sendiri-sendiri pada setiap individu dengan refleksi kritis. Tidak ada kesimpulan dalam dialog Socrates, melainkan keterbukaan tanpa batas menuju kebenaran yang mungkin bagi setiap individu yang membacanya.

Kebenaran (makna) telah senantiasa terkandung dalam diri individu dan hanya dapat digapai dengan menjangkarkan segala sesuatu pada refleksi terus menerus dan mendalam pada diri, dan tidak akan menemukan akhir selama hayat diri masih berjalan.

Kierkegaard berada dijalur yang sama dengan Socrates dalam menghadapi kondisi sosial di mana ia tinggal.

Spirit seperti terpacak pada kedua filosof inilah yang perlu dilestarikan di era posmodern yang diwarnai fenomena-fenomena klaim kebenaran. Kebenaran baku harus selalu dipertanyakan dan direfleksikan ke dalam diri sendiri. Penting atau tidak definisi itu harus selalu disibak dan diisukan kepada publik sembari merayakan kebebasan berpendapat. Sementara pembungkaman merupakan bentuk kontra-produktif yang merundung kebebasan berpendapat.

Kebebasan berpendapat harus dirayakan sebagai jalan proses negativitas Socratik menuju manusia bijak yang akhirnya menghargai dan menjunjung tinggi rasa ingin tahu seraya menyadari sepenuhnya ketidaktahuan diri. Kesadaran akan ketidaktahuan diri ini tidak dipahami sebagai absen-penuh-nya pengetahuan, namun kesadaran ini adalah bukti hadirnya pengetahuan terbaik ala Socrates. Versi diri terbijak-nya Socratik.

Semangat literasi Kierkegaard adalah contoh cara yang dapat ditempuh di era sekarang yang telah dilengkapi dengan media massa yang dapat dengan mudah terakses melampaui ruang dan waktu. Karya-karyanya adalah pengejawantahan misi Socrates abad modern.

Tentunya kita harus cerdas memahami pemikiran ini, anomali ini. Indikasi kontra-produktif dari kebebasan berpendapat juga terlihat pada tumbuh berkembangnya post-truth yang mewacana tanpa dasar.

Masyarakat modern hari ini hanya menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan beropini, namun melupakan sisi lain dari semangat Socrates yang sangat penting, yakni kesadaran dan pengetahuan bahwa kita tidak tahu apa-apa, dan oleh karenanya harus rendah hati dan menghargai perbedaan pendapat, serta tidak katrok melihat keragaman pandangan.


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Refan Aditya

Honorer. Penyimak obrolan-obrolan Filsafat, Agama, dan seputarannya. Anggota grup Facebook Esoterika-Forum Spiritualitas, dan sedang menekuni dunia Online Journal System. Penggemar Paul McCartney.