Halangan Berfilsafat: Tiga Musuh dalam Diri
Di tengah hiruk pikuk kehidupan hari ini yang penuh distraksi dan keterdesakan praktis, filsafat sering dianggap sebagai kegiatan mewah yang tidak penting. Ia ditempatkan di menara gading, terpisah dari realitas, bahkan kadang dicurigai hanya sebagai mainan intelektual yang jauh dari kenyataan. Padahal, filsafat justru lahir dari pergulatan manusia paling mendasar: keinginan untuk memahami. Ia adalah keberanian untuk bertanya, untuk tidak puas dengan jawaban siap saji, dan untuk menggali makna di balik segala yang tampak.
Namun, tidak semua orang mudah memasuki medan filsafat. Ada sejumlah halangan yang kerap kali bersifat batiniah—tidak terlihat, tetapi kuat mencengkeram. Halangan-halangan ini tidak datang dari luar seperti larangan atau sensor, melainkan dari dalam diri manusia sendiri. Dalam tulisan ini, penulis ingin mengajak pembaca merenungi tiga jenis penghalang utama yang secara halus tetapi efektif menjauhkan kita dari sikap filosofis: herd instinct, partisan mindset, dan arrogant mindset. Ketiganya bisa kita temukan bukan hanya pada orang lain, tetapi juga—dan inilah yang lebih penting—dalam diri kita sendiri.
Herd Instinct: Takut Menyendiri dalam Pikiran
Herd instinct atau naluri kawanan adalah kecenderungan manusia untuk mengikuti arus mayoritas tanpa berpikir kritis. Ini bukan sekadar ikut-ikutan; ia berakar pada kebutuhan dasar manusia akan rasa aman, diterima, dan diakui. Dalam banyak kasus, orang mengikuti norma sosial, keyakinan agama, atau nilai-nilai budaya karena merasa “sudah seharusnya begitu”. Tidak ada yang salah dengan tradisi atau norma, yang menjadi soal adalah ketika seseorang berhenti bertanya.
Bayangkan seseorang yang sejak kecil diajari bahwa Tuhan ada dan Mahakuasa. Ia menerima itu begitu saja, bukan karena telah melalui pencarian intelektual, melainkan karena semua orang di sekitarnya pun meyakininya. Ketika ia mulai mempertanyakan eksistensi Tuhan atau sumber moralitas, segera ia dibungkam oleh kalimat: “Itu sudah dari dulu begitu,” atau “Jangan bertanya yang aneh-aneh.” Naluri kawanan bekerja dengan cara yang halus: ia membuat kita merasa bersalah karena berpikir berbeda. Akibatnya, potensi untuk berfilsafat mati sejak dini.
Filsafat, sejak era Socrates, selalu dimulai dengan pertanyaan yang mengganggu kenyamanan. Socrates sendiri dihukum mati karena dituduh merusak pikiran anak-anak muda Athena, padahal ia hanya mengajak mereka untuk bertanya. Dalam masyarakat yang terlalu mapan dan penuh kepatuhan buta, filsafat akan selalu dicurigai. Maka, keberanian untuk keluar dari kawanan—bukan dalam arti menjadi pembangkang tanpa arah, tetapi sebagai pencari kebenaran—menjadi syarat utama untuk berpikir filosofis.
Partisan Mindset
Halangan kedua adalah partisan mindset, yaitu sikap mental yang terlalu melekat pada satu pandangan, ideologi, atau kelompok, hingga menolak mendengarkan pandangan lain. Ini bisa terjadi dalam konteks agama, politik, bahkan akademik. Seorang penganut mazhab tertentu, misalnya, mungkin menolak mentah-mentah membaca karya filsuf dari mazhab lain karena dianggap sesat atau menyimpang. Ia tidak lagi menilai argumen berdasarkan rasionalitas, melainkan berdasarkan siapa yang menyampaikan.
Fanatisme ini membuat akal tidak lagi menjadi alat pencari kebenaran, melainkan tameng pembenaran. Pikiran yang seharusnya terbuka menjadi tertutup. Dialog berubah menjadi monolog. Bahkan jika lawan berpikir menyampaikan argumen yang bernas, ia akan ditolak hanya karena berasal dari “yang lain”.
Padahal, filsafat justru tumbuh subur dari dialog, bahkan dari ketegangan antarpandangan. Bayangkan jika Plato menolak pandangan Herakleitos hanya karena berbeda sekolah. Atau jika Al-Farabi enggan membaca Aristoteles karena bukan muslim. Tradisi filsafat Islam sendiri menunjukkan bahwa keterbukaan terhadap berbagai pemikiran—Yunani, Persia, India—justru memperkaya khazanah keilmuan. Filsuf besar seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd tidak ragu untuk mengkritik maupun memadukan berbagai aliran demi mendekati kebenaran.
Sayangnya, di zaman ini, partisan mindset sering kali justru diperkuat oleh algoritma media sosial. Kita hanya disuguhi konten yang sesuai dengan pandangan kita, dan perlahan terperangkap dalam echo chamber yang meneguhkan bias kita sendiri. Dalam kondisi demikian, filsafat menjadi semakin sulit: ia butuh keterbukaan terhadap yang berbeda, bahkan terhadap yang bertentangan.
Arrogant Mindset
Halangan ketiga adalah arrogant mindset, yaitu sikap merasa diri sudah memiliki kebenaran mutlak sehingga tidak perlu lagi berpikir ulang. Ini adalah bentuk kejumudan yang sering menyaru sebagai keyakinan kuat. Seseorang yang terjebak dalam pola pikir ini menganggap pertanyaan filosofis tentang eksistensi, hakikat realitas, atau nilai moral sebagai hal yang sia-sia. “Semua sudah jelas,” katanya, “untuk apa dipikirkan lagi?”
Sikap seperti ini bukan hanya menolak pertanyaan, tetapi juga mematikan kerendahan hati intelektual. Padahal, sebagaimana dikatakan oleh filsuf Prancis Gabriel Marcel, filsafat adalah “kesediaan untuk dibimbing oleh keheranan.” Ia hanya mungkin muncul jika kita mengakui bahwa kita belum tahu. Socrates, tokoh yang menjadi lambang filsafat, justru dianggap bijaksana karena ia tahu bahwa ia tidak tahu. Dari pengakuan itu tumbuhlah semangat untuk belajar, untuk menggali, dan untuk memahami lebih dalam.
Arogansi intelektual tidak hanya ditemukan pada orang awam, tetapi juga pada mereka yang merasa sudah “berilmu.” Gelar akademik, posisi otoritatif, atau penguasaan atas teks-teks klasik kadang menjerumuskan seseorang ke dalam kepercayaan bahwa ia sudah mencapai kebenaran akhir. Akibatnya, diskusi filosofis berubah menjadi ceramah satu arah; yang lain dianggap “belum sampai,” dan tidak layak diajak berdialog setara.
Dalam konteks seperti ini, filsafat tidak lagi hidup. Ia menjadi beku dalam dogma, kehilangan denyut keterbukaan dan dinamika. Untuk menghindari jebakan ini, kita perlu menjaga sikap intellectual humility, yakni kesadaran bahwa setiap pemahaman kita bersifat parsial dan terbuka untuk koreksi. Ini bukan berarti relativisme mutlak, tetapi pengakuan bahwa pencarian kebenaran adalah proses, bukan hasil akhir yang bisa diklaim sepihak.
Menuju Sikap Filosofis: Keberanian, Keterbukaan, dan Kerendahan Hati
Tiga halangan di atas—naluri kawanan, fanatisme ideologis, dan arogansi intelektual—bukan hal asing dalam kehidupan sehari-hari. Kita semua mungkin pernah, atau sedang, terjebak dalam salah satunya. Maka tugas kita sebagai pencari makna bukan sekadar mempelajari filsafat sebagai disiplin ilmu, melainkan menjadikannya sebagai sikap hidup: berani berbeda, terbuka pada yang lain, dan rendah hati dalam pencarian.
Filsafat bukan hanya milik akademisi atau pemikir besar. Ia milik siapa saja yang bersedia bertanya dengan jujur dan mencari dengan sungguh-sungguh. Dalam dunia yang semakin gaduh dan penuh polarisasi, filsafat menawarkan ruang untuk berhenti sejenak, merenung, dan menimbang. Ia tidak memberi jawaban instan, tetapi menajamkan pertanyaan. Ia tidak menjanjikan kepastian, tetapi mengajarkan kedalaman.
Karena itu, mengatasi halangan-halangan berfilsafat bukanlah urusan elite intelektual, tetapi panggilan bagi siapa saja yang ingin hidup lebih bermakna. Seperti yang dikatakan oleh Karl Jaspers, filsafat bukan sekadar mengetahui, tetapi “menjadi”. Maka, mari kita berfilsafat, bukan hanya dengan kepala, tetapi dengan seluruh keberadaan kita.
Category : filsafat
SHARE THIS POST