Gendis

26 Januari 2018
|
1135

Pada anak kecil, kita bisa melihat keluguan yang murni, walaupun orang dewasa juga akan mengatakan bahwa mereka ÔÇ£belum bisa berpikir dengan benarÔÇØ. Akan tetapi, bukankah ÔÇ£berpikir dengan benarÔÇØ itu juga yang menyebabkan banyak orang dewasa jadi bermasalah? Sangat bermasalah malah. Anak-anak kecil memang sering terlibat pertengkaran memperebutkan sesuatu yang mereka inginkan hingga berujung pada tangisan keras dari salah satu atau bahkan keduanya. Namun, lihatlah, tak berapa lama kemudian, mereka pun akan kembali bermain bersama, seolah pertengkaran sebelumnya tak pernah terjadi. Sementara orang dewasa? Bukankah seringkali kalangan yang katanya sudah bisa ÔÇ£berpikir dengan benarÔÇØ ini malah sangat fasih berdusta dengan berkata ÔÇ£Ah saya sih sudah gak apa-apaÔÇØ, tapi dalam hatinya malah menegaskan, setelah suatu pertengkaran atau konflik, bahwasannya ÔÇ£sampai mati pun tak akan saya maafkan!ÔÇØ. Bahkan, saat orang yang dibencinya mengalami musibah, ada semacam kesenangan, baik diucapkan atau hanya dalam hati: ÔÇ£Rasain!ÔÇØ Rupanya, karena sudah ÔÇ£bisa berpikir dengan benarÔÇØ itu, maka mereka pun memiliki pembenaran atas kebahagiaan saat orang yang dibencinya menderita, pembenaran atas kegemarannya merawat dendam dan sakit hati dengan sebaik-baiknya. Bahkan, kalau perlu, diproklamirkan melalui media sosial agar seluruh dunia tahu ÔÇ£dendam koleksi kesayangannyaÔÇØ tersebut. Adapun anak kecil, dengan mudah bisa dialihkan perhatiannya kepada hal lain, ketika dia tertarik pada ÔÇ£sesuatu yang tak semestinyaÔÇØ; sedangkan orang dewasa--yang katanya sudah bisa ÔÇ£berpikir dengan benarÔÇØ itu--malah bisa sangat obsesif pada suatu hal hingga maut merenggutnya. Dalam hal kehilangan pun, anak-anak bisa sedemikian ringan. Mereka bisa dengan cepat lupa. Sementara, orang dewasa yang katanya sudah bisa ÔÇ£berpikir dengan benarÔÇØ, seringkali mereka malah ÔÇ£gagal move onÔÇØ dan selalu menyesalkan kehilangannya tersebut, bahkan hingga membuat har-hari yang dijalaninya menjadi suram dan murung. Pada saat kakak saya meninggal dunia tanggal 4 Januari 2018 kemarin, putrinya yang bernama Gendis, yang usianya lebih muda 8 bulan dari Alick (6 tahun) dan juga menjadi teman sekolahnya, ketika diberitahu bahwa Bundanya telah meninggal, hanya menangis sebentar, lalu kemudian asyik bermain dengan Alick hingga jam 10 malam. Itu pun karena saya memutuskan untuk membawa Alick pulang ke rumah neneknya, sebab, jika tidak demikian, maka kedua anak ini akan bermain terus hingga larut malam dan bukannya tidur. Keluarga besar saya banyak yang berkomentar bahwasannya Gendis belum paham ÔÇ£apa itu meninggal duniaÔÇØ. Hari Sabtu minggu lalu, saat dia dan Alick mengikuti psikotes di sekolahnya, saya mendengar bagaimana dengan ringan Gendis berkata kepada temannya ÔÇ£Bunda Gendis mah udah meninggalÔÇØ, lalu dia lanjutkan dengan obrolan lainnya. Saya mendengarkannya dengan sedikit teriris, teringat mendiang kakak tersayang, namun juga takjub pada keluguan yang murni tersebut, yang tanpa beban. Suatu beban yang justru malah seringkali digenggam erat-erat dan tak mau dilepaskan sampai kapan pun oleh orang-orang dewasa yang katanya sudah bisa ÔÇ£berpikir dengan benarÔÇØ. Kadang saya berpikir, ÔÇ£Apa yang akan Gendis katakan kepada Ayahnya saat dia mulai merasakan rindu kepada Bundanya?ÔÇØ Lalu saya pun mencoba mengalihkan pikiran tersebut agar jangan sampai saya sendiri terjatuh pada keluh kesah dan menyesalkan ketetapan-Nya yang, bagaimana pun, pastilah ketetapan terbaik bagi manusia. Akhirnya, kakak ipar saya pun menceritakan percakapannya dengan Gendis saat dia mulai merasa rindu kepada Bundanya. Gendis: ÔÇ£Yah, surga jauh?ÔÇØ Ayah: ÔÇ£Jauh sekali.ÔÇØ Gendis: ÔÇ£Bisa kita pake motor ke sana?ÔÇØ Ayah: ÔÇ£Gak bisa Ndis. Surga jauuuh sekali.ÔÇØ Gendis: ÔÇ£Kita pinjem mobilnya tante Iin (kakak saya yang ketiga tertua). Kan mobil tante Iin suka Ayah pake pergi jauh jauh.ÔÇØ Ayah: ÔÇ£Hhhmmmm... Nggak bisa, Ndis.ÔÇØ Gendis: ÔÇ£Pake pesawat bisa, Yah? Kan ada uang Bunda meninggal kemarin buat naik pesawat.ÔÇØ Ayah: ÔÇ£Ndis, surga jauuuuh sekali. Kita gak bisa ke sana sekarang. Tapi Bunda pasti nunggu Gendis di sana. Gendis banyak berdoa ya.ÔÇØ Lalu Gendis pun menyembunyikan wajahnya di balik selimut untuk kemudian tidur. Indahnya keluguan murni anak-anak itu. Saya iri karenanya, terlebih jika melihat bagaimana di hati saya begitu banyak luka dan dendam yang saya rawat baik-baik, sampai pikiran pun menjadi kusut, hingga tubuh saya pun rontok karenanya. Suatu ketika seorang teman pernah bertanya: ÔÇ£Kang Al, apa sih hikmah dari penyakit di otak dan jantung Kang Al?ÔÇØ Dengan agak terkejut saya menjawab: ÔÇ£Lho, memangnya menurut kamu penyakit apa sih yang ada di kepala dan dada seseorang? Bukankah Rasulullah saw pernah bersabda bahwa datangnya penyakit itu dari makanan dan pikiran? Menurutmu, kenapa otak dan jantung saya bermasalah?ÔÇØ Dalam suatu forum kajian tasawuf, saya pernah bercerita:
ÔÇ£Orang-orang yang pernah mengidap tumor (seperti saya), kanker, atau juga jantung (seperti saya), akan tahu bahwa salah satu ÔÇÿresep obat tambahanÔÇÖ yang diberikan para dokter adalah ÔÇÿjalani hidup sehat dan berpikir positif. Bagaimana sih bentuknya? Coba kendalikan hasrat terhadap makanan (juga seks), lepaskan berbagai beban pikiran yang tak perlu, karena justru semua hal yang kita rawat baik-baik itu, berbagai perkara yang begitu kita sayangi dan tak mau kita lepaskan sampai maut memisahkan, yang malah merupakan salah satu penyebab efektif dari penyakit-penyakit tersebut. Dan agama, baik melalui kitab suci maupun ucapan para tokoh terkemukanya, berulang kali selalu menyerukan agar kita tak membenci, tak mendendam, tak merawat luka, tak berprasangka buruk lalu bergunjing, menyeru agar kita hidup di hari ini dan bukannya menjalani hari-hari dengan trauma masa lalu atau khawatir masa depan, untuk kemudian berusaha untuk menjadi pemaaf, senantiasa berprasangka baik, mencintai manusia, serta mengendalikan syahwat (hasrat material seperti makanan, seks, harta benda dan lain sebagainya) dan hawa nafsu (hasrat imaterial seperti amarah, dendam, prasangka buruk, dan lain sebagainya). Jadi, sebenarnya kita memang harus menjalani seruan-seruan baik dalam agama, kecuali kalau kita memang memilih ingin mati penyakitan, baik penyakit di hati dan pikiran, maupun penyakit di tubuh kita.ÔÇØ
Saya menuliskan ini semua bukan dalam rangka berkeluh kesah atas ketetapan-Nya. Selama 21 tahun ini, saya dididik oleh dua orang Mursyid yang akan menunjukkan amarahnya jika ada saliknya berkeluh kesah, sebab itu merupakan sebentuk kekufuran, dan saya mencoba sekuat tenaga menghindarinya. Mudahnya, kenapa keluh kesah merupakan sebentuk kekufuran, penjelasannya adalah begini. Kita mengenal seseorang berkepribadian begini atau begitu karena hal itulah yang dominan dan seringkali muncul darinya saat kita berinteraksi dengannya. Begitu pula Allah SWT. Dari semua Asma-Nya, Dia memasangkan Asma Rahman dan Rahim dalam basmalah, dan bukan Asma lainnya, sebab Dia memang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Nah, sebuah keluhan sebenarnya adalah tuduhan langsung kepada-Nya bahwa Dia telah berlaku tidak adil kepada kita, Dia telah menzalimi kita, dan tuduhan tersebut secara langsung menghapuskan kedua Asma yang paling dibanggakan-Nya tersebut. Dan ini merupakan masalah akidah yang sangat serius, sehingga hanya api neraka saja yang bisa membersikannya (dan bukan api di barzakh). Lagi pula Allah tak pernah membebankan kepada hamba-Nya sesuatu yang tak sanggup dipikulnya. Bahwa jika seseorang sanggup memikul beban 50 kilo, maka Allah tak akan mendzalimi dengan melebihkan barang satu gram pun, sebagaimana tertuang dalam Al-Quran:
ÔÇ£Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): ÔÇÿYa Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.ÔÇÖÔÇØ (QS Al-Baqarah [2]: 286)
Jadi, tak ada alasan sama sekali bagi siapa pun untuk berkeluh kesah atas apa pun yang terjadi dalam hidupnya. Bahkan, Rasulullah saw pernah mengajari dalam salah satu hadis bahwa sebaik-baik doa adalah alhamdulillah, yang diucapkan untuk mensyukuri apa pun yang hadir dalam kehidupan kita, entah susah maupun senang. Sama saja. Kewajiban kita adalah mensyukurinya. Begitu juga dengan semua yang dialami oleh kakak saya, saat menjelang ajalnya, adalah seperti ditegaskan dalam salah satu hadis: ÔÇ£Tidaklah seseorang muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, kegundah-gulanaan hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahannya.ÔÇØ (HR Bukhari) Adapun, jika penyakit kakak saya itu membawanya kepada kematian, maka saat dia tak lagi bisa berbicara dan hanya bisa menangis saat menatap saya, saya berharap bahwa dia meninggal dalam keadaan sebagaimana yang pernah Rasulullah sabdakan, yaitu ÔÇ£Jangan sekali-kali salah seorang di antara kamu meninggal kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah.ÔÇØ (HR Muslim) Lalu, kepada Gendis, yang wajahnya mirip sekali dengan mendiang Bundanya, saya berharap bahwa peristiwa ini akan mengubahnya menjadi besi yang bisa dibakar oleh api lalu ditempa dengan godam hingga menjadi pedang yang bisa menolong agama-Nya. Semoga dia tumbuh jadi perempuan yang kuat. Toh hal yang serupa pun bisa terjadi kapan pun pada Alick (juga Sandra yang sudah jadi ABG), terlebih kondisi Bapaknya pun sudah banyak merosot dibanding saat muda dulu. Saya teringat bahwa mendiang kakak saya pernah berkata: ÔÇ£Dari semua anak Mama dan Papa, kamu ya yang nggak pernah sakit sampai harus dirawat di rumah sakit?ÔÇØ Namun takdir memperlihatkan bahwa tahun 2014 saya justru dirawat di rumah sakit karena masalah di otak, lalu tahun 2015 dioperasi kepalanya, dan tahun 2016 masuk rumah sakit lagi karena masalah di jantung. Nothing last forever. Terakhir, saya akan menutup tulisan ini dengan puisi dari Maulana Jalaluddin Rumi untuk menjawab sebagian orang yang mungkin susah menerima. ÔÇ£Jika Tuhan memang Maha Pengasih dan Penyayang, maka kenapa harus ada penderitaan dalam kehidupan manusia?ÔÇØ Demikian. Semoga ada gunanya. Salam. *Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, Edisi 18, Jumat 26 Januari 2018/09 Jumadil Ula 1439 H

Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Alfathri Adlin