Da 5 Bloods: Solilokui yang Ambigu dan Mengambang

slider
15 November 2021
|
1412

Judul: Da 5 Bloods | Sutradara: Spike Lee | Produser: Jon Kilik, Spike Lee, Beatriz Levin, Lloyd Levin | Naskah: Danny Bilson, Paul De Meo, Kevin Willmott, Spike Lee | Pemain: Delroy Lindo, Jonathan Majors, Clarke Peters, Norm Lewis, Isiah Whitlock Jr., Mélanie Thierry, Paul Walter Hauser, Jasper Pääkkönen, Jean Reno, Chadwick Boseman, Johnny Trì Nguyên, Lê Y Lan | Rilis: 12 Juni 2020 | Durasi: 154 menit.

Spike Lee kembali menyita perhatian film terbarunya, Da 5 Bloods (2020). Film tersebut bercerita tentang persahabatan lima serdadu dalam perang Vietnam. Apa yang membuat Da 5 Bloods  menyita perhatian? Karena film ini memuat sudut pandang Spike Lee sebagai sutradara Amerika keturunan Afrika tentang perang Vietnam.

Sudut pandang ini diproyeksikan melalui pengalaman lima serdadu kulit hitam dalam perang Vietnam. Mereka adalah Stormin’ Norm (diperankan oleh Chadwick Boseman), Paul (Delroy Lindo), Melvin (Isiah Whitlock, Jr), Otis (Clarke Peters), dan Eddie (Norm Lewis).

Paul, Melvin, Otis, dan Eddie adalah penyintas dari perang Vietnam. Mereka hidup hingga hari ini, tetapi masa lalu menawan mereka. Salah satu hal yang membekas dalam diri mereka adalah kematian sahabat dan mentor mereka, Stormin’ Norm.

Suatu saat, mereka memutuskan untuk kembali ke Vietnam dengan tujuan mengambil sisa-sisa jasad Stormin’ Norm. Tetapi, tidak hanya itu yang menjadi tujuan mereka kembali ke Vietnam. Ada motif ekonomis dalam perjalanan tersebut: ada berbatang-batang emas yang mereka sembunyikan untuk masa depan mereka.

Di mana ada emas tidak bertuan, di sana tumbuh konflik. Kecurigaan, kecemburuan, dan pengkhianatan mewarnai petualangan empat sahabat ini. “Emas menimbulkan hal-hal ganjil dalam diri orang,” ucap Tiên (diperankan oleh Lê Y Lan) kepada Otis. “Bahkan kepada teman lama.” Tien sendiri adalah cinta Otis di masa lalu. Dengannya, Otis memiliki anak perempuan, Michon (Sandy Huöng Pham).

Meski berlatar petualangan empat sahabat dalam mencari emas, film ini tidak mirip dengan film petualangan ala Indiana Jones.  Film-film Indiana Jones biasanya diwarnai oleh aksi mendebarkan dengan berbagai jebakan yang tidak diduga.

Kejutan-kejutan dalam Da 5 Bloods tetap ada, tetapi kejutan tersebut kurang mendebarkan. Misal, ranjau darat warisan perang Vietnam yang tertanam di tempat-tempat tak terduga atau serangan seekor ular yang menggigit lengan Paul.

Kekuatan film ini bukan terletak pada aksi petualangan; kekuatannya berada pada konflik emosional yang berpusat pada karakter Paul. Perang menimbulkan trauma yang begitu dalam pada diri Paul sehingga ia menjadi individu labil, resah, dan paranoid.

Karenanya, Paul mudah curiga kepada orang lain, seperti kepada Tiên, atau Desroche (Jean Reno)—calon kurir untuk emas mereka—atau sahabat-sahabatnya sendiri, termasuk anaknya, David (Jonathan Majors) yang ikut serta dalam petualangan.

Lee banyak menggunakan alur flashback (kilas balik) dalam memintal kisah dalam film ini. Alur tersebut berfungsi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul dalam benak pemirsa, termasuk mengapa Paul menjadi individu yang labil. Alur kilas balik juga memiliki fungsi sebagai masa lalu yang membayangi dan menghantui empat sahabat ini.

Paul, Melvin, Otis, dan Eddie memang hidup di masa kini, tetapi mereka tidak pernah bisa melepaskan diri mereka dari jerat masa lalu. Batas antara masa kini dan masa lalu menjadi tidak begitu tegas, meski tidak bisa dikatakan melebur atau menyatu.

Pendekatan visual Lee untuk adegan-adegan kilas baliknya tergolong unik: sang sutradara menggunakan aktor-aktor yang sama untuk memerankan karakter-karakter mereka di masa lalu. Secara umum, film-film yang mempunyai alur masa lampau biasanya menggunakan aktor-aktor yang lebih muda untuk membedakan masa lalu dan hari ini.

Perhatian khusus patut diberikan kepada Delroy Lindo. Di film ini, Lindo berperan prima sebagai Paul. Gesturnya mampu memantulkan keresahan batin karakter Paul melalui tatapan nanar dan murung.

Highlight film ini adalah monolog yang dilakukan Lindo. Ia berbicara, mengomel, memaki, dan kita sebagai pemirsa merasa ia sedang berdialog dengan kita.

Sebenarnya, solilokui monolog tersebut—atau tepatnya disebut solilokui—bukan solilokui pertama yang muncul dalam film Spike Lee. Edward Norton dalam film 25th Hour (2002) melakukan solilokui seperti dalam Da 5 Bloods.

Ada perbedaan antara keduanya; Montgomery “Monty” Brogan—diperankan oleh Norton—menyumpahi bapaknya, kekasihnya, sahabatnya, fundamentalisme Islam, agama Katolik, dan lainnya, di depan cermin kamar mandi di pub milik ayah Monty. Tetapi pada akhir monolog, Monty sadar, kesalahan ada pada dirinya. Karena itu, cermin itu bisa dikatakan sebagai lambang refleksi diri Monty. Karenanya, ada batas antara baik dan buruk.

Sebaliknya, monolog dalam Da 5 Bloods Paul bersifat total; ia tidak menyisakan apa pun dan siapa pun untuk dipersalahkan. Paul merasa dirinya adalah orang paling benar sekaligus paling bernasib malang. Paul tidak sedang berefleksi seperti Monty, ia sedang membela dirinya.

Jika harus memilih, solilokui Monty masih yang terbaik. Edward Norton mampu menampilkan karakter yang begitu sarkastik dan sinis dengan meyakinkan, lalu kembali menjadi pasrah dengan nasibnya yang sedang menghitung jam untuk pergi ke penjara. Sebaliknya, solilokui Lindo mengambang dan ambigu.  

Jika ada kekurangan dalam film ini, kekurangan tersebut terdapat pada penyuntingannya. Ada satu adegan saat Paul meminta David dan sahabat-sahabatnya untuk mengikat tangan Hedy (Mélanie Thierry) dan tim penjinak ranjaunya, Simon (Paul Walter Houser) dan Seppo (Jasper pääkkönen).

Pada adegan selanjutnya di jalan setapak yang menanjak, tangan mereka tidak dalam keadaan terikat. Tiba-tiba pada adegan berikut, tangan ketiga orang tersebut kembali terikat. Masalahnya adalah mengapa adegan mereka membuka dan mengikat kembali tangan mereka tidak ada atau tidak ditampilkan?

Tetapi, kekurangan tersebut tidak terlalu mengganggu. Secara esensial, Da 5 Bloods menawarkan sudut pandang warga kulit hitam tentang perang Vietnam, yang sebenarnya bukan perang mereka, tetapi juga kemalangan nasib mereka pasca perang tersebut. Saya rasa pesan ini lebih relevan ketimbang kekurangan kecil di atas.[]


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Deda Ibrahim

Penulis dan peresensi film, pernah memenangkan lomba ulas film Pusbangfilm Kemdikbud dua kali. Beberapa resensinya pernah dimuat di beberapa media online.