Berubah Meniti ke Jalan-Nya

slider
04 Februari 2022
|
1534

“Buka gerbang!” Teriak seorang prajurit sambil berjalan cepat ke arah gerbang benteng istana. Suara derap prajurit lain sontak terdengar, sigap hendak membuka gerbang berjeruji yang terlihat amat kokoh. Sang Raja bergerak anggun di atas untanya, menerima hormat yang bergiliran dilakukan oleh prajurit dan penduduk kota yang masih terbangun.

“Paduka, mohon tunggu sebentar. Prajurit yang hendak mengawal belum datang juga. Mohon maafkan hamba, mereka akan segera menuai hukumannya,” kata seorang prajurit paruh baya sembari berlutut di kanan unta gagah berwarna kemerahan yang ditunggangi Sang Raja.

Angin berdesir pelan membuat para ibu tak perlu sulit untuk menidurkan anak mereka. Sekelompok anak muda yang tengah berjalan keluar dari tukang kopi sontak menghentikan tawanya. Betapa terkejutnya mereka melihat Sang Raja tepat di depan gerbang kota. Sang Raja yang masih juga belum menjawab, sibuk menikmati belaian angin yang menggiurkan syahwat malam hari.

Hanya berselang sekian ketukan setelahnya, Sang Raja turun dari kudanya dan menghampiri prajurit yang masih berlutut menunggunya dengan raut penyesalan.

“Jangan. Memang tak kuperintahkan mereka untuk mengawalku malam ini. Aku hanya ingin berburu di hutan,” kata Sang Raja terputus, hendak mengeraskan suaranya agar terdengar oleh selusin prajurit yang berjaga di sekitar gerbang. “Kalian jaga keamanan hingga pergantian prajurit pagi nanti. Tidak perlu mencariku.”

Para prajurit tak dapat membantah, walau membiarkan pemimpin agung mereka sendirian di belantara hutan malam hari tentu tak selaras dengan naluri prajurit mereka. Sang Raja berbalik ke belakang sejenak memandangi istana megahnya di malam hari, lengkap dengan lampu-lampu indah yang menyinari dari menara di setiap sudutnya.

Istana yang tak terlalu megah, tetapi terlihat kokoh dan hangat. Istana itu tepat berada di tengah kota yang dipimpinnya. Bentuknya melebar dan dari posisi saat ini, istana itu terlihat bak diselimuti oleh rumah-rumah warga dan bangunan-bangunan penting di sekitarnya. “Balkh-ku” ucapnya tipis tak terdengar oleh siapa pun kecuali untanya. Sebuah suara terdengar olehnya, entah dari mana. Suara yang menggentayanginya beberapa malam belakangan. Wajahnya berubah cemas seketika, tetapi hanya sebentar sebelum kembali memancarkan kewibawaan.

Sang Raja kembali ke atas untanya dan mulai bergerak keluar dari gerbang kota.

Para prajurit terus memperhatikan junjungannya, masih dalam posisi hormat yang selama ini menjadi kebanggaan Sang Raja. Negeri itu memang tak besar, tetapi kemakmuran rakyatnya, kemajuan peradabannya, dan kesetiaan serta kekuatan prajuritnya membuat Sang Raja dan negerinya cukup disegani oleh negeri-negeri di sekelilingnya.

“Tutup gerbangnya!” komando prajurit paruh baya tadi. Gerbang besar nan megah kembali tertutup perlahan-lahan.

Sang Raja tak menduga, sesuatu yang besar sedang berada di hadapan nasibnya.

Ia mulai memacu untanya menggebu-gebu. Melintasi gelap malam dan merdunya keheningan belantara. Hutan yang terlihat menyeramkan pada malam hari, selalu menjadi kebanggaan setiap ksatria. Hanya mereka yang dengan gagah berani mau menembus belukar dan pepohonan yang rapat dan dihuni oleh berbagai binatang beracun serta berbagai makhluk menyeramkan lainnya.

Pedang, pisau, dan panah sudah siap mengiringi perjalanan malamnya. Ibrahim Sang Raja, tak pernah tahu bahwa nasibnya tak dapat diserang balik dengan senjata-senjatanya yang berbahan baja dan berlapis permata.

Di dalam hutan, laju untanya mulai melambat. Mata tajam Ibrahim memicing perlahan, bulu kuduknya segera beralih ke posisi siap, auranya berubah dari sosok yang anggun dan kharismatik menjadi seorang pemburu yang tak kenal takut.

Mulai terdengar olehnya suara semak belukar yang bergesek. Matanya beralih ke sumber suara, berharap buruan lezat yang dapat dibawanya ke ruang makan istana esok harinya.

Terlihat olehnya bayangan rubah. Bukan makanan. Namun larinya yang kencang cukup menarik Ibrahim untuk mendekatinya. Ia berganti harap dapat menangkapnya dengan luka sekecil mungkin agar dapat dirawatnya di taman belakang istana. Ia mulai mengejar dengan penuh kegembiraan.

Kegembiraan yang mengerikan.

Ibrahim turun dari tunggangannya. Ia mengambil sebuah anak panah dan berharap hewan berbulu oranye itu berlari ke tempat yang lebih mudah dilihat. Ibrahim hendak melukai kakinya saja agar ia masih hidup dan dapat dipelihara, meski tampaknya tak menarik juga memelihara hewan yang cacat.

Sontak wajah Ibrahim kembali memucat. Keringat sebesar jagung mulai mengalir dari dahinya. Tangannya gemetaran. Ibrahim memejamkan matanya. “Mengapa suara ini selalu saja menggelayuti perburuanku, Oh Sang Benar,” ucapnya dalam hati.

Hilang sudah getaran perburuan yang mengasyikkan. Berganti dengan suara yang berkali-kali mengganggu malam-malamnya belakangan. Rubah cantik berbulu oranye yang telah tertangkap dalam angannya mendadak dilepaskan dengan wajah tak rela.

Begitulah manusia yang bahkan tak rela melepaskan angannya.

“Bukan untuk ini kau Kuciptakan, Hai Ibrahim”. Suara itu terus menghantui pendengaran batinnya.

Panahnya lalu terlempar dari genggamannya. Lutut Ibrahim melemas, sebelum ia terjatuh di pangkuan pohon besar di sebelahnya. Ibrahim tertegun. Matanya bak menyaksikan sebuah lakon yang mengerikan. Wajahnya menunjukkan penyesalan. Mungkinkan lakon tersebut ialah kehidupannya sendiri.

“Bukan... bukan begini... ada yang salah. Semuanya salah. Semua yang kulakukan ini salah.” Teriak Ibrahim dengan napas bagai diburu serigala yang kelaparan dalam heningnya malam.

Ibrahim memandangi senjata dan pakaiannya dengan tatapan penuh jijik. Diperetelinya satu persatu senjata mewah yang hinggap di tubuhnya. Tak terkecuali pakaian berburunya yang mewah, yang kini dihempaskannya seakan penuh kutu.

“Bukan untuk ini kau Kuciptakan, Hai Ibrahim.”

Ibrahim berteriak lalu menangis sejadi-jadinya. Tangisan insaf penuh derita. Derai getir seorang hamba yang telanjang bulat. Tangis yang deras hingga tanpa sadar telah memandikan sekujur tubuhnya.

Segala yang ia banggakan, dirawat, dipamerkan, dan ia kasihi kini telah hilang dari kepalanya. Seorang raja agung nan terhormat telah berganti menjadi seonggok daging yang hendak mencari tuannya dan berharap dimangsa seketika itu juga.

Sebelum ia melepaskan unta yang ditungganginya, Ibrahim menciumnya. Unta itu berlari sekencang-kencangnya. Lari yang mengingatkan Ibrahim bahwa tak peduli seberapa besar kasihnya kepada unta tersebut, unta tetaplah menghendaki kebebasannya.

Kebebasan kini mulai dilihat oleh Ibrahim dari ujung matanya. Dilepaskannya seluruh kekang duniawi yang selama ini melilitnya. Diambilnya sorban lebar yang terjatuh dari untanya tadi. Dilepasnya segala manik-manik gemerlap yang menghiasi tubuhnya, sebelum mengenakan sorban lebar untuk menghalau dinginnya malam yang menusuk tulang.

“Kini hidupku adalah Engkau. Jalanku adalah Engkau. Napasku, langkahku, dan kedip mataku, semuanya ialah Engkau. Hanya Engkau,” tegas Ibrahim.

Sisa malam itu dihabisi oleh penyesalan dan tekad yang kuat. Manusia agung yang terikat oleh kemewahan, berubah menjadi seorang lusuh yang merdeka dari segala keterikatan.

Malam mulai berjalan pergi. Segala pakaian dan senjata berlapis intan permata telah terkubur bagai kotoran di tengah hutan. Semuanya telah hilang, bersama bulan yang tak sabar menunggu pagi.

Ibrahim masuk ke belantara yang tak tersentuh manusia. Telah hilang darinya langkah tegap seorang ksatria. Berganti langkah goyah seorang darwis. Ia seakan debu yang beterbangan seraya bertanya, “maka untuk apa aku Kau ciptakan?”

Matanya semakin tajam dan telinga Ibrahim semakin peka. Ia mencari rubah yang semalam dikejarnya. Ia hendak dimintainya maaf yang entah akan dijawab apa.

Sultan Agung Ibrahim bin Adham berganti menjadi seorang hamba tanpa nama. Dari seorang manusia yang terkenal di istana menjadi bukan siapa-siapa. Ia sadar perjalanan panjang tengah membuka diri di hadapannya. Perjalanan yang menghabiskan waktunya sepanjang masa.


Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Kartik Salokatama

Penulis adalah bagian dari masyarakat yang mukim di Ujung Menteng, Cakung, Jakarta Timur.