Apa Kabar Islam Kita?
Judul: Apa kabar Islam Kita? Esai-Esai Kaweruh Jumatan Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta | Editor: M. Yaser Arafat | Tebal: xxvi + 221 halaman | Penerbit: MJS Press, 2014
Barangkali, ini pertama kalinya, ada sebuah masjid meluncurkan buku. Masjid itu namanya Masjid Jendral Sudirman (MJS). Buku yang diluncurkan merupakan hasil susunan dari bermacam-macam tulisan, berupa esai-esai. Sebelum berwujud buku, tulisan bentuk esai itu, mulanya sudah dulu terbit dalam bentuk buletin Jumat. Dari situlah, Januari 2014, terbit sebuah buku berjudul Apa kabar Islam Kita? Esai-Esai Kaweruh Jumatan Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, berisi 49 esai. Sampulnya bergambar seorang duduk bersila, berbusana Jawa lengkap dengan blangkon dan keris. Wah! Ini buku rasa buletin, buletin rasa buku.
Kalau boleh dikata, kebanyakan buletin khususnya buletin Jumat selalu tampil dengan tulisan yang menyampaikan banyak aya-ayat atau dengan istilah kampusan yang njelimet. Buletin MJS tidak selalu begitu. Ayat ada. Tapi porsinya tidak terlalu sering. Tulisan yang tampil dalam buletin MJS, lebih berupa “Tulisan yang bercerita, tulisan yang menceritakan kenyataan.” Tentu saja, kenyataan yang dimaksud oleh penulisnya dengan bermacam latar belakang: tulisan yang hadir lewat cerita tentang Islam dan sekitarnya. Baik itu Islam yang didengar, Islam yang dilihat, Islam yang dipelajar, Islam yang dipahami, Islam yang dihayati, Islam yang dijalankan, atau Islam yang didakwahkan. Semuanya tersaji di buku ini. Dari Islam yang di-di itu tadi, buku ini semacam kaweruh, semacam pengetahuan dalam kesederhanaan hidup dalam keseharian.
Pada 8 Maret 2014 kemarin, buku itu diluncurkan dan dikupas sekalian. Hadir sebagai pembicara Dr. Waryono Abdul Ghofur dan editor buku M. Yaser Arafat. Turut pula hadir para penulis buku dan jamaah lainnya. Acara pada malam minggu itu, diawali dengan tahlilan dan diakhiri dengan makan-makan. Cukup ramai dan meriah.
Dari berlangsungnya acara launching dan bedah buku itu ada ungkapan yang sering mungkin didengar, tapi belum banyak dilakukan. Bahwa “Kalau ingin abadi, maka menulislah! orang pasti mati, tapi kalau meninggalkan banyak tulisan, orang itu akan selalu dikenang”, begitu tutur Pak Waryono, Dekan Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga. Ia mencotohkan Aristoteles, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, Karl Marx dan banyak tokoh lainnya. Beliau juga menambahkan pesan begini, “Kalau selama ini dakwah itu, ya, modelnya ceramah, mbok ya juga dakwah itu, dakwah bil qolam atau dakwah dengan tulisan.” Itu kira-kira intinya.
Editor buku, Mas Yaser Arafat sendiri banyak menyampaikan proses seperti apa, bagaimana, sampai pada akhirnya buku itu terbit. “Bagi kami, hikmah dan kearifan hidup ada di dalam kenyataan sehari-hari, maka dari itu, tulisan berbasis cerita dan dituliskan dengan cara orang bercerita, itulah sasaran muat Buletin Jumat Jendral Sudirman. Entah cerita kisah pengalam pribadi, pengalaman orang lain maupun cerita tentang apa yang pernah dilihat, didengar dan dirasakan.” Begitu tulisnya dalam catatan pengantar penyunting buku. “Mengingat umumnya para pembaca buletin ini kebanyakan masyarakat awam, maka tlusan tersebut harus cukup membumi, tidak berlulurkan konsep-konsep berlapis, kata-kata bombastis dan melangit-langit” (hlm. xv). Begitu lanjutnya lagi. Sederhana bukan?
Tulisan dengan gaya cerita itu dapat disimak dalam tulisan berjudul Pak Bagaimana Akhlak Anak Saya? (hlm. 5). Penulisnya Muhammad Habibi, guru di Lampung. Tulisan ini berkisah tentang wali murid dari siswa tempat Habibi mengajar yang menanyakan tentang sholat dan bacaan al-Quran serta akhlak anaknya di sekolah. Padahal wali murid lainnya rata-rata cuma menanyakan nilai sekolah anaknya. Tidak lebih.
Dalam tulisan berjudul Tukang Tambal (hlm. 73), ada pesan mengenai kearifan hidup. Penulisnya, Zubairi, menyampaikan bahwa manusia itu banyak kelurangannya, banyak bolongnya. Untuk sempurna, jadilah tukang tambal diri sendiri. Jangan melulu minta ini-itu, tapi tanpa pengorbanan sama sekali. Kalau “Tahu kurang dan bolongnya, tambalan akan bekerja tepat pada tempatnya. Sehingga keutuhan benar-benar mencerminkan keutuhan.” Begitu kata penulis asal Probolinggo yang kini tinggal di Wonosobo itu.
Dari sudut lain, buku ini juga menyajikan semacam Kesaksian dari Sudut Masjid (hlm. 15). Penulisnya, A Sumaji D, mengisahkan bagaimana sekarang ini, kajian bertarif tinggi dengan tema: Fiqih Dakwah, Training Salat Khusyu’, Mengungkap Keajaiban Rizki, Tegar di Jalan Dakwah banyak berseliweran menghiasi masjid-masjid. Di sudut lain, soal seni budaya dan pencarian kearifan hidup semacam Ngaji Serat Jawa, Ngaji Filsafat, Ngaji Sastra, Pengajian Wayang, Pergelaran Selawat, dan Tari Spriritual Jawa, barangkali sudah dianggap usang, klenik, dangkal, kolot, nggak gaul dan kurang ngetrend.
Mungkin pembaca dapat menangkap bahwa kesederhanaan dan kearifan hidup yang dimaksud oleh takmir MJS terletak pada esai penutup di buku itu. Kesederhanaan dan kearifan terletak pada bagaimana cara kita menggauli hidup seperti yang dilakukan oleh orang-orang Jawa terdahulu. Begitulah isi esai berjudul Kembali ke Jawa, Kembali ke Diri (hlm. 213) yang ditulis oleh Pauzan Setiawan. Tulisan tersebut adalah rekaman pikiran pada helatan acara “Tahlilan Kitab Puisi” bertajuk bedah buku puisi Ziarah Tanah Jawa karya Iman Budhi Santosa yang digelar di MJS. Pesannya jelas: jangan sampai Wong Jowo, ilang Jowono. Kalau orang Jawa telah kehilangan Jawanya, tidak mungkin di buku ini ada tulisan berjudul Zikir Petani, Ketika Tembakau Bertasbih, Memahami Makna Salat, Saat Aku Memanggilmu Muhammad, Berbunyian Khas Rakyat Jelata, Ulama ‘Kuntul’: Sindiran Sunan Bonang, 9 Kubah: Puisi Spritual Evi Idawati, dan esai-esai lainnya.
Begitulah kiranya, lepas dari kekurangan yang ada, masih banyak lagi cerita yang tersaji di sana, di buku itu. Selamat kepada para penulis! Selamat kepada office boy MJS atas terbitnya buku. Semoga berkah.
Category : resensi
SHARE THIS POST