Ahimsa dan Jalan Hidup Damai Bersama dalam Kemajemukan

slider
13 September 2023
|
1766

In a gentle way, you can shake the world (Dalam jalan kelembutan (tanpa kekerasan), kamu bisa mengguncang dunia), demikian kata Mahatma Gandhi, seorang filosof India yang dalam laku hidupnya kukuh pada kebenaran, cinta, puasa (menahan diri), anti kekerasan, dan keteguhan. Gandhi mengajarkan untuk menapaki jalan perdamaian, dan satu lorong damai itu adalah hidup yang tanpa kekerasan.

Ajaran tanpa kekerasan Gandhi inilah yang Fahruddin Faiz dedahkan dalam Ngaji Filsafat ke-400 edisi Filsafat Perdamaian: Mahatma Gandhi-Ahimsa, pada 30 Agustus 2023.

Makna Ahimsa

Ahimsa menjadi ajaran ikonisnya Mahatma Gandhi. Ahimsa sendiri berasal dari bahasa Sanskerta: a yang berarti tidak dan himsa yang berarti membunuh atau menyakiti. Secara sederhana, ahimsa berarti tidak menyakiti. Sejalan dengan pengertian secara bahasa itu, ajaran ahimsa mengidealkan manusia untuk menapaki jalan tanpa kekerasan. Sebab, dalam hidup yang tidak saling menyakiti satu sama lain, manusia akan mencapai perdamaian yang sebenar-benarnya.

Bicara soal ajaran ahimsa Gandhi, penulis teringat dengan konsep kekerasan dalam pandangan Johan Galtung. Menurut Galtung, kekerasan tidak sekadar bentuk penyerangan fisik, namun juga berkaitan dengan keterhambatan daya kreativitas manusia. Oleh karena itu, selain tindakan fisik, adalah termasuk kekerasan berbagai tindakan emosional, verbal, dan non-fisik lainnya yang melemahkan atau menghancurkan daya kreativitas (kedirian) manusia.

Maka, dalam konteks ajaran ahimsa, anti kekerasan yang dimaksud seharusnya tidak sebatas pada laku penyerangan fisik. Melainkan juga berhubungan dengan upaya menghilangkan kebencian, kata-kata kasar, kebohongan, dan perbuatan non-fisik lainnya yang termasuk menifestasi kekerasan.

Pandangan tersebut sejalan dengan Gandhi yang memandang ahimsa sebagai perwujudan cinta terhadap seluruh umat manusia. Cinta kemanusiaan yang membawa kita pada kepantangan kekerasan fisik, kenihilan kebencian (kekerasan non-fisik), dan akhirnya kehadiran kepedulian pada sesama manusia.

Ahimsa dalam Kemajemukan

Di tengah peradaban Indonesia yang amat plural, banyak perbedaan, manifestasi ajaran ahimsa amat penting. Kenapa penting? Setidaknya jika kita benar-benar memimpikan kehidupan damai bersama dalam perbedaan.

Dalam realitas perbedaan, kita selalu diperhadapkan pada kerentanan konflik antarsesama anak bangsa. Dan, ini bukan kewas-wasan tanpa dasar, juga bukan dongeng, sudah banyak contohnya yang pernah terjadi. Konflik antarumat beragama, ketidakhormatan terhadap simbol keagamaan umat yang lain, dan laku-laku intoleran lainnya masih kerap mencemari kehidupan damai bersama. Maka, dalam kerentanan konflik seperti ini, amat penting bagi kita untuk mengedepankan laku ahimsa.

Laku ahimsa menghendaki untuk kita hidup tanpa kekerasan baik fisik maupun non-fisik. Sebab, berbagai tindakan kekerasan, apa pun tujuannya; bela agama, bela kelompok, atau apa pun saja, ujung-ujungnya hanya destruktif dan menjebak kita pada siklus kekerasan yang terus berputar. Suatu keadaan hidup yang amat jauh dari manifestasi setiap ajaran agama yang mengidealkan kehidupan damai bersama.

Ahimsa dapat menjadi laku kehidupan yang penting bagi kita dalam menjalani kehidupan di Indonesia yang majemuk. Bila kita ingin mengedepankan laku ahimsa untuk kehidupan damai bersama, maka sebagaimana menurut Gandhi, syaratnya adalah kebenaran dan jiwa yang bersih dalam menjalin relasi antarsatu dan lainnya. Tanpa dua hal ini, kebenaran dan jiwa yang bersih, maka tidak mungkin ahimsa yang sebenarnya dapat mewujud dalam kehidupan bersama yang penuh perbedaan.

Gandhi memandang ahimsa dan kebenaran sebagai dua saudara kembar yang tak terpisahkan. Ahimsa merupakan sarana mencapai kebenaran dan kebenaran itu sendiri menjadi tujuan ahimsa. Dalam konteks beragama, kita dapat memahami ajaran Gandhi ini, bahwa kasih (tanpa kekerasan) adalah bentuk kebenaran yang diajarkan setiap agama.

Rasanya tidak ada agama yang mengajarkan umatnya untuk berlaku kurang ajar, bukan? Semua agama mengajarkan kebaikan menebar kasih kepada sesama manusia. Maka, ajaran kasih merupakan kebenaran beragama yang ingin kita tuju dan sarana untuk mencapai tujuan kasih itu perlu melalui lorong ahimsa.

Bila kita sudah berkesadaran menebar kasih (kebenaran), maka selanjutnya yang perlu kita upayakan adalah membersihkan hati (jiwa). Sebagaimana kata Gandhi, “Jika seseorang memiliki kesombongan dan egoisme, ia tidak anti kekerasan. Non-kekerasan tidak mungkin terjadi tanpa kerendahan hati. Tanpa penyucian diri, anti kekerasan hanya sekadar mimpi belaka. Tuhan tidak akan pernah dapat disadari oleh seseorang yang tidak suci hatinya.”

Jadi kita perlu membersihkan hati dari segala kekotoran. Melunturkan ego mayoritanisme, melarutkan kesombongan, dan menghanyutkan kedengkian serta kebencian terhadap mereka yang berbeda. Sebab, berbagai kekotoran itu dapat menghijabi diri dari manifestasi ahimsa. Kalaupun ada wujud ahimsa dalam laku padalah hati kotor, tak ubahnya hanya sekadar ilusi.

Kita hanya saling menahan diri untuk tidak berkonflik satu sama lain, namun dalam hati yang kotor yang dikuasai ego mayoritanisme, kesombongan kebenaran, dan kebencian terhadap mereka yang kita anggap salah, ingin sekali rasanya menyakiti.

Maka dari itu, kita butuh hati yang bersih dan komitmen pada kebenaran menebar kasih, untuk mewujudkan kerukunan yang sebenar-benarnya dalam masyarakat yang majemuk.

Menapaki Jalan Perdamaian

Mahatma Gandhi berkata, “A coward is incapable of exhibiting love; It is the prerogative of the brave(Seorang pengecut tidak mampu menampakkan cinta; Itu adalah hak istimewa orang yang berani). Sebagaimana Gandhi yang memandang ahimsa sebagai perwujudan cinta, maka dalam hal ini ia pun memandang jalan ahimsa hanya mungkin dilalui oleh para pemberani. Mereka yang pengecut, dalam ukuran Gandhi, tidak mau memilih jalan cinta (ahimsa), mereka lebih mengedepankan jalan kekerasan.

Manusia memang, kadang-kadang sampai keseringan, suka tidak berani mengakui adanya realitas perbedaan. Tidak mampu menerima orang-orang yang memilih jalan kebenaran lain dari jalannya. Dan, untuk menutupi ketidakberanian itu, tidak jarang manusia mengemasnya dalam berbagai kemasan kebencian. Merendahkan kepercayaan orang lain, hanya untuk memuaskan hasrat kebencian yang lahir dari ketidakmampuan menerima perbedaan.

Padahal sebagaimana Gandhi, “Di mana ada cinta di situ ada kehidupan, sedangkan kebencian hanya membawa kepada kemusnahan.” Pertanyaannya, seberapa jauh kita dapat mencintai mereka yang berbeda; beda agama, beda golongan, beda etnis, beda pilihan, dan beda-beda yang lain? Mengakui yang beda tidak mudah, kan? Akan lebih mudah jika pertanyaannya dibalik, seberapa jauh kita dapat membenci mereka yang berbeda? Membenci yang berbeda agaknya mudah, tapi dalam jalan yang mudah ini ada akhir kemusnahan (ketidakdamaian hidup bersama) yang menanti.

Apa yang menarik dari Gandhi dalam hal ini, ia adalah sosok yang mampu menampakkan laku ahimsa dalam kehidupan yang penuh realitas perbedaan (bahkan kekerasan). Gandhi sampai pada titik menolak dikotomi kawan dan lawan, sebab baginya tidak ada manusia yang perlu menjadi musuh, semua adalah saudaranya.

Dalam realitas Indonesia yang majemuk, dapatkah kita meneladani Gandhi yang memandang semua orang adalah kawan? Memandang orang yang agamanya beda, golongannya beda, etnisnya beda, pilihannya beda, dan beda-beda lainnya sebagai saudara sekemanusiaan.

Agaknya semua kita ingin memberi jawaban: “ya, dapat. Dalam hidup yang terus berputar kita perlu optimis, sebagaimana Gandhi sendiri yang amat percaya bahwa ahimsa adalah harapan bagi dunia yang tengah menderita. Kita pun perlu yakin akan wujudnya dan terjaganya wajah Indonesia yang damai dalam kemajemukan, sambil memilih jalan yang membawa tapak kaki pada kehidupan damai bersama.


Category : catatan santri

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Moh. Rivaldi Abdul

Mahasiswa Doktoral S3 Studi Islam, Konsentrasi Sejarah Kebudayaan Islam, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta