Abu al-Qasim al-Qusyairi: Taubat

slider
27 Maret 2020
|
1993

Manusia merupakan makhluk sosial dan makluk yang diberikan oleh Allah potensi akal untuk berpikir. Namun, kadangkala ia lupa menggunakan akal sehatnya. Ia terlena dengan hawa nafsu yang lebih dominan daripada kebenaran akal yang datang. Ia melupakan segala kemungkinan baik dan menuruti hawa nafsu yang mampu mendatangkan kemudaratan. Manusia kadang kala tidak menggunakan akal sehatnya untuk memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Sampai ia lupa telah melakukan suatu perbuatan yang tercela. Perbuatan itu kadang kala dilakukan berulang kali tanpa adanya penyesalan dalam diri. Dalam kenyataannya seseorang setelah melakukan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran agama diharapkan untuk kembali pada jalan yang benar dan menjauhi segala perbuatan buruk itu. Tindakan pertama yang mesti dilakukan yaitu dengan bertaubat.

Taubat sebagaimana yang kita ketahui merupakan kembali kepada ajaran agama yang benar. Maksudnya kembali dari perbuatan tercela menuju perbuatan yang terpuji. Namun, terkadang kebanyakan dari kita telah menyesal dengan segala perbuatan yang dilakukan, tetapi di lain sisi mengulangi perbuatan yang sama dan begitu seterusnya. Perlu dilakukan suatu pentaubatan nasuha atau taubat yang sebenar-benar taubat, yakni bertaubat tanpa mengulangi lagi perbuatan tercela yang pernah dilakukan. Taubat nasuha tidaklah semudah yang dikatakan dan dipikirkan. Perlu adanya keseriusan dan keteguhan hati yang kuat untuk melakukan taubat ini. Jika dalam hati kita masih tertanam sifat-sifat yang tercela, maka upaya untuk melakukan taubat nasuha akan sia-sia, dalam artian tidak akan sampai pada taubat yang sesungguhnya.

Taubat itu sendiri merupakan salah satu maqam dalam tasawuf. Taubat awal dari usaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seseorang yang ingin dekat dengan Allah, maka haruslah melalui maqam ini terlebih dahulu. Karena mustahil akan sampai pada maqam selanjutnya apabila dalam hati seseorang masih tertanam sifat-sifat tercela. Salah satu tokoh yang menggagas konsep taubat yaitu seorang sufi yang berasal dari Ustawa, sebuah kota kecil di Iran, yakni Abu al-Qasim al-Qusyairi. Al-Qusyairi sendiri merupakan salah satu tokoh yang beraliran tasawuf akhlaki. Karyanya yang terkenal yaitu Risalah Qusyairiyah. Dalam risalahnya al-Qusyairi mengemukakan beberapa maqam yang harus dilewati oleh seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Seperti yang telah disebutkan di atas, salah satu maqam dalam tasawuf menurut al-Qusyairi adalah taubat. Menurutnya, taubat merupakan maqam pertama yang harus dilalui oleh seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Taubat sebagaimana dalam pandangan al-Qusyairi yaitu pendakian pertama untuk mendekatkan diri kepada Allah. Taubat diartikan kembali, yaitu kembali dari yang dicela oleh Allah kepada yang dipuji oleh Allah, kembali dari perilaku yang jauh dari ajaran agama pada ajaran agama. Taubat menurut pandangan al-Qusyairi bukanlah sesuatu yang mudah, namun diperlukan kesediaan untuk menyadari kesalahan dan menyesalinya, serta bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.

Sebagaimana yang kita ketahui, manusia tidak luput dari kesalahan. Manusia cenderung melakukan perbuatan tercela. Untuk itu, jika mereka terus-merusan melakukan perbuatan tercela akan berdampak kepada diri mereka sendiri. Tidak adanya ketenangan dalam diri dan jauh dari segala hal positif. Oleh karenanya, bila ingin memperoleh ketenangan diri, jalan satu-satunya adalah mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Manusia diharuskan untuk menyesali perbuatan yang telah ia lakukan. Seseorang mustahil menjadi penyesal yang sungguh-sungguh selama masih melakukan perbuatan yang sama. Oleh karena dalam pandangan al-Qusyairi penyesalan merupakan pokok utama dalam melakukan taubat. Selain itu, untuk melakukan taubat yang sesungguhnya manusia harus meninggalkan semua yang akan membawa kepada keburukan. Misalnya, sebelum melakukan taubat ia bergaul dengan lingkungan yang berdampak pada perbuatan tercela. Jadi untuk terlaksananya taubatan nasuha maka diharapkan untuk menjauhi lingkungan yang demikian. Mustahil akan melakukan taubat sedangkan diri masih bergelut dalam lingkungan yang buruk, bisa saja akan terjerumus lagi ke dalam lubang yang sama. Dengan demikian, pengaruh lingkungan yang buruk akan membawa pada perilaku yang sama.

Jika seseorang hendak melakukan shalat, tentu terdapat syarat-syarat sebelum mendirikannya. Begitu juga dengan bertaubat. Agar taubat seseorang diterima oleh Allah maka haruslah dilakukan dengan ikhlas karena Allah Swt, karena jika tidak ikhlas maka taubat itu akan percuma; menyadari akan kesalahan yang telah dilakukan; menyesali bahwa yang telah dilakukan selama ini merupakan perbuatan yang salah; bertekad dalam hati untuk tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Taubat yang dilakukan haruslah didasari oleh diri sendiri dan berasal dari hati Nurani, maka akan berusaha melakukan dengan sungguh-sungguh. Berbeda dengan suatu perbuatan yang didasari oleh keterpaksaan, maka akan berdampak pada ketidakrelaan.

Al-Qusyairi menegaskan, jika seseorang ingin melakukan taubat langkah pertamanya yaitu penyesalan akan perbuatan yang pernah dilakukan, meninggalkan secara langsung penyelewengan atau perbuatan tercela, serta dengan keyakinan yang mantap memutuskan untuk tidak kembali lagi pada kemaksiatan yang sama. Artinya bersungguh-sungguh dalam melakukan taubat kepada Allah. Jadi, jika kita melakukan suatu perbuatan yang tercela berusahalah untuk tidak mengulanginya lagi dan berupaya untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Hiasi kehidupan ini dengan selalu menanamkan akhlak terpuji dalam diri dan kuatkan keimanan walaupun sesuatu yang salah indah dimatamu.


Category : keislaman

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Atika Yulanda

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga