Beberapa hari yang lalu saya berkunjung ke kampung halaman, setelah sekian bulan harus mendekam dan mengunci diri di perantauan karena kondisi yang tidak memungkinkan. Terhitung tidak lebih dari lima kali saya bisa menghirup udara kota yang panas, sesak, dan mendengar suara bising kendaraan sejak pembatasan diberlakukan.
Di perjalanan pulang, kendaraan yang berlalu-lalang tidak terlalu ramai. Pun ketika saya mampir di masjid, di daerah Wonogiri untuk menunaikan salat ashar. Di situ banyak tatapan mata yang menatap dengan pandangan curiga. Kendati saat saya sapa, tutur balasnya masih ramah seperti biasanya.
Sesampainya di rumah, saya uluk salam dan mencium dua tangan emak dan bapak. Bau keringat masih menempel dibarengi dengan raut lelah yang masih tersisa di wajahnya usai dari sawah.
Di malam harinya, kami berkumpul dengan sekian pertanyaan yang diajukan kepada saya. Kapan lulus? Bagaimana kuliahmu? Di sana aman atau tidak? dan seabrek pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Tentu saja saya tidak lantas berterus terang. Ada beberapa hal yang saya kemukakan dengan jelas, dan beberapanya lagi saya memilih tersenyum ramah pada keduanya sebagai jawaban.
Saat itu, emak dan bapak juga memberitahu bahwa ada beberapa tetangga yang dulu kerap bersua sekarang sudah tiada. Ada yang wafat karena sakit keras. Ada juga yang diduga terkena virus yang hari ini telah menjangkiti semua orang, tanpa pandang bulu.
Saya mengenal mereka yang telah wafat sejak usia belia. Mereka mungkin juga menjadi saksi atas kenakalan yang kerap saya lakukan. Pernah sekali waktu saya memanjat pohon mangga yang buahnya sudah ranum di siang hari.
Wajar saja kalau saya kepergok. Namun, alih-alih diteriaki maling, dikejar, dan digebuki, mereka hanya memarahi lantas mengantar saya pulang ke rumah. Itu pun emak saya diberi satu kantong kresek buah mangga.
Pernah juga di bulan Ramadhan, membangunkan orang sahur tidak dengan santun, melainkan dengan petasan. Saat salat tarawih, sejumlah cubitan di lengan dan jeweran di telinga mendarat di tubuh kami.
Namanya anak kecil yang nakal, kami mengulanginya lagi sampai datangnya hari raya Idulfitri. Kendati peroleh maaf dan disangoni, kami masih menjadi topik perbincangan para tetangga selama gelaran Idulfitri berlangsung.
Tetangga saya yang wafat itu kebanyakan memang sudah usia lanjut. Dulu, sewaktu saya kecil kerap diperdengarkan cerita berbau mistis berbalut perjuangan. Saya kecil hanya mendengarnya tanpa banyak bertanya.
Belakangan saya menjadi curiga, jangan-jangan mereka ingin menuturkan cerita itu sebagai wejangan agar saya dan siapa saja yang mendengarnya bisa mengail pelajarannya. Perkara ceritanya mengada-ada atau sesuai fakta, entahlah.
Selain ada yang wafat, ada juga yang telah peroleh pasangan hidup. Saya turut gembira mendengarnya. Mungkin di kampung, tinggal beberapa saja yang belum menikah terhitung dari usia saya. Malah banyak yang usia di bawah saya, yang dulu di sekolah dasar kerap dijahili, sekarang sudah jadi bapak atau ibu rumah tangga. Mereka mendapat momongan.
Dari cerita tersebut, bapak ternyata mengalamatkan pembicaraan pada pertanyaan kapan saya siap untuk menikah? Pertanyaan itu sulit saya jawab.
Bukan karena ihwal calon pasangan hidup dan kesiapan emosional, melainkan saya masih ingin bepergian dan membeli buku tanpa banyak pertimbangan.
Dari situ, saya mengingat kalimat terakhir di pengantar dari Linda Christanty di bukunya Hikayat Kebo (2019), “Dan untuk saya, tak pernah ada kata “pulang”. Saya selalu “pergi”.”
Memang saat di kampung halaman, waktu saya untuk di rumah hanya terlelap dan sarapan pagi. Selebihnya saya memilih untuk keluar berziarah ke makam dan candi, berkunjung ke teman, kerabat, atau kalau belakangan ini berkunjung ke kediaman tokoh-tokoh yang saya anggap menyediakan pemikiran alternatif dengan basis kearifan lokal.
Namun, emak saya memiliki prasangka lain bahwa anaknya harus memiliki bekal pengetahuan yang cukup dulu. Emak memberi prototipe pada banyak anak-anak tetangga yang memilih tidak sekolah, padahal modal yang dimiliki memadai. Mereka memilih menikah dan kerja di usia yang belum seharusnya berada di tataran itu. Akibatnya banyak yang keluarganya terlunta-lunta, bertengkar, sampai pecah tidak karu-karuan.
Emak saya memberi pembelaan itu bukan karena telah khatam membaca sekian buku pemberdayaan manusia atau kritik sosial. Ia hanya berkaca dari pengalaman di sekitarnya lantas dijadikan sandaran prinsipnya.
Dan prinsip itu berulang kali dibenamkan pada saya melalui penuturannya, “Kamu pokoknya sekolah dulu yang tinggi. Perkara nasib, jodoh, dan harta itu nanti sudah ada yang mengatur. Yang terpenting kamu memiliki bekal dan pengetahuan.”
Topik terakhir yang tidak kalah gayeng pada obrolan keluarga di malam itu berkaitan dengan pekerjaan. Sekian teman saya memang banyak yang telah bekerja, ketimbang melanjutkan pendidikan.
Ada yang membuka toko, menjadi petani, buruh pabrik, membuka warung kopi, dan menjadi tenaga kerja di luar negeri. Dan saya kerap dianggap gila oleh mereka ketika bersua muka dan bersila duduk bersama, sebab dinilai keranjingan dengan dunia pendidikan.
“Asal telaten, ya mesti panen,” tutur bapak menanggapi teman-teman saya yang telah bekerja. Saya rasa kalimat itu juga berkaca pada kehidupannya sebagai petani sejak usia belia.
Tangan bapak kasar, tubuhnya menghitam karena sengatan sinar matahari, dan kadang lelah berlebihan saat musim penghujan. Hanya saja ia tidak menghendaki anak-anaknya, saya dan kakak saya untuk mengikuti jejaknya.
Layaknya generasi yang lahir di era Orde Baru, bapak dan mungkin sekian orang tua di negeri ini menghendaki anaknya bekerja di pemerintahan. Anggapan yang lazim ialah jika bekerja di pemerintahan, maka ketahanan perekonomian akan terjamin. Selain itu, status di masyarakat juga bisa naik.
Kendati di beberapa hal saya tidak menyepakati penuturan bapak, saya tidak lantas membantah dan protes keras. Bahwa sekian polemik politik praktis di masa kini dapat memuluskan dan menjegal cita-cita orang untuk mengabdi di negeri ini, tidak saya kemukakan.
Pun tentang sekian teori dan hasil penelitian yang menunjukkan terkait bagaimana dan seperti apa pekerjaan yang tengah dan akan diperlukan di masa depan, juga tidak saya kemukakan.
Saya meresponsnya dengan senyum dan manyadari alam sadar bapak saya sudah terbentuk seperti itu. Toh kepulangan saya juga untuk mendengar kembali penuturannya guna bertahan di masa-masa sulit.
Memungkasi cerita keluarga ini, saya ingin mengutip paragraf Cicila Maharani di esainya “Keluarga Tora yang Sudiro”. Esai itu terbukukan di Keluarga: Hoa Kiau dan Aidit Bersinar Seksi dengan Tora Sudiro (2005). “Rasanya keluarga seburuk apa pun terlalu indah untuk dijadikan ‘tempat sampah’. Karena di balik ‘kotoran’ itu, ada nyala redup cinta yang perlu diselamatkan, yaitu berupa manusia-manusia legit sekaligus pahit yang terlalu sayang untuk dihilangkan dari dalam diri.” Ya, keluarga memang memiliki keterkaitan mendalam dengan kita, entah sebagai anak kandung dan tiri, bapak, emak, atau sanak.