Wayangisme
Suatu ketika saat menonton pagelaran wayang, belum lama lalu, teman yang berada disebelah saya duduk berujar begini, “Sebetulnya yang saya tunggu-tunggu pas menonton wayang itu, ya limbukannya (dagelan). Sebab saat itulah wayang memasuki masa asyiknya, masa guyonan, banyolan. Saya butuh hiburan, bukan pitutur!”.
Okelah, no problem! Saya sendiri terkadang begitu, menyaksikan pagelaran wayang cuma sebagai hiburan. Soal pitutur terkadang hanya ingat sebentar. Seperti masuk kuping kanan, tak berapa lama kemudian langsung bablas keluar kuping kiri.
Tapi, setelah lama saya pikir-pikir, wayang itu adalah gambaran alias simbolisasi. Apa yang digambarkan? Tidak lain kehidupan manusia itu sendiri. Meskipun dalam lakon wayang kita sering disuguhi dewa, resi atau katakanlah dalam cerita wayang semalam suntuk itu kalau disimak hanya berkutat pada trah darah biru, kaum bangsawan, dan sedikit sekali yang melakonkan nasib rakyat jelata. Bagaimana dengan ponokawan? “Pono” itu artinya jernih, visinya jelas, jadi teman yang dapat menasehati secara jernih, juga mampu mendudukkan persoalan. Tentu sesi ini menjadi menarik. Semar dengan tiga inti ajarannya: ojo dumeh, eling, waspodo, pun kerap hilir mudik dalam perbincangan sehari-hari kita.
Wayang memang tokoh sentralnya adalah kaum trah ningrat (Pandawa-Kurawa/Rama-Dasamuka) tetapi tujuan cerita yang disodorkan kepada pemirsa bukanlah asal-usul, klangenan dengan trahnya, tetapi lebih pada nilai terdalamnya. Wayang hanyalah media pembelajaran, penggambaran, lelaku kehidupan yang disamarkan dalam cerita-ceritanya. Bahkan kita akan merasa heran, jika kita berpegang pada hitam-putihnya kehidupan secara linier, lha kok dewa suka berbuat onar, tidak bisa menahan nafsu melihat dewi yang ayu kinyis-kinyis mandi di sungai; lho kok sikap guru tidak bisa menjadi panutan; dan seterus-seterusnya.
Sekali lagi, wayang bukanlah kumpulan kitab suci, cerita novel religius yang bertebaran kata-kata agama. Wayang bukan sekedar hitam-putihnya kehidupan, tetapi ragam warna yang terjadi dalam kehidupannya manusia di alam mayapada. Kejelian penontonlah yang mampu menangkap makna yang dituturkan sang dalang. Wayang, sebagaimana pengakuan Ben Anderson, merupakan compelling religious mythology, yakni menyatukan masyarakat Jawa secara menyeluruh, baik secara horizontal maupun vertikal. Maka dalam pementasan wayang teramu berbagai cipta dan rasa, bukan sekedar seni pertunjukan semata. Wayang hanyalah pepeling (pengingat).
Gendhing atau lagu dalam gamelan, juga menunjukkan waktu perjalanan manusia. Ada tiga pathet yang mengiringi pementasan wayang: pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura. Setiap pathet menunjukan masa tersendiri. Pathet nem (nem, nem, nom yang artinya masa muda) dipakai untuk mengiringi wayang kulit pada sore hari atau permulaan. Pathet sanga menunjuk usia pertengahan. Sedangkan pathet manyura (berasal dari kata burung merak, berarti merek, parek; marak) artinya sudah dekat untuk menghadap Tuhan atau dekat dengan kematiaannya.
Lebih mendalam lagi, yang menjadi inti dan dinanti-nanti saat pentas wayangan, adalah kisah cerita serta amanatnya. Berbagai cerita wayang memang memuat amanat kebudayaan, keagamaan, bahkan olah cinta. Seperti cerita Bratayudha Jayabinangun merupakan cerita pewayangan yang cukup terkenal. Cerita ini menggambarkan perang antara Pandhawa dengan Kurawa. Yang tidak lain adalah perang saudara, perang merebutkan kerajaan Ngastina. Tetapi ini bukan sekedar cerita perang memperebutkan tahta, melainkan perang yang menggambar antar perseteruan baik dan buruk, haq dan batil, munkar dan ma’ruf. Siapa yang diperebutkan? Tidak lain tiap personal manusia. Sebab sifat Pendawa dan Kurawa itu sejatinya mengalir dalam pada setiap manusia.
Berikutnya, ajaran yang banyak menjadi pepeling bagi para calon pemimpin, baik skalanya hanya diri sendiri maupun negara adalah ceritanya Rama dengan Wibhisana saat mewedar ilmu Hastha Brata. Ilmu Hastha Brata yang diwejangkan Prabu Rama kepada Wibhisana yaitu peneladanan terhadap delapan anasir alam berikut gambaran ‘dewa’nya agar menjadi pemimpin atau raja yang kokoh dan kuat dalam menjalankan roda pemerintahan. Wejangan tadi diilustrasikan dalam bait Tembang Pangkur.
Delapan anasir tersebut harus diteladani oleh Raden Wibhisana yang notabenenya calon pemimpin atau raja. Jika ada salah satu dari delapan anasir tersebut tidak diteladani maka kepemimpinannya akan pincang. Makna dan tafsirnya atas delapan anasir tersebut sebagai berikut.
Pertama, Bathara Indra (seperti tanah). Makna peneladanannya dengan sifat rela, legawa, narima dan anoraga (rendah hati).
Kedua, Bathara Surya (seperti matahari). Maknanya angan-angan, sehingga diharapkan terus membuka wewenganing nglemu dengan istiqomah seperti ‘perjalanan’ matahari.
Ketiga, Bathara Bayu (seperti angin). Maknanya adalah napas, sehingga harus dijadikan sebagai tetalining ngaurip termasuk meneliti secara cermat dalam kehidupan sehari-hari terhadapa informasi yang datang.
Keempat, Bathara Kuwera (seperti mendung). Maknanya adalah merupakan pasemon terhadap rasa pangrasa manusia, sehingga mengarah pada ketentraman dan kebahagian abadi.
Kelima, Bathara Baruna (seperti air; banyu). Maknanya adalah bicara (wicara) yang hendaknya dipakai bicara yang membuat keselamatan, tidak menyinggung perasaan orang lain, dan memberikan kemanfaatan mendengarkan.
Keenam, Bathara Yama (seperti bintang; lintang). Maknanya kehendak (karsa). Yakni diharapkan agar tercapainya cita-cita yang tinggi dengan tirakat dan wirangi (wara’) atau berhati-ati terhadap segala sesuatu yang akan dimakan.
Ketujuh, Bathara Candra (seperti rembulan). Maknanya adalah hati yang bersih atau suci, sehingga dekat dengan Tuhan.
Kedelapan, Bathara Brama (perlambang api). Maknanya bagaikan nafsu manusia: anasir yang mengajak keburukan atau kejahatan hendaknya dibunuh, sedangkan yang mengajak kebaikan dimuliakan.
Selain ilmu Hasta Brata, ada ilmu lagi yang sering disampaikan dalam cerita pewayangan, yakni ilmu Sastra Jendra Hayuningrat. Konon ilmu ini merupakan ilmu yang tidak boleh diwejang kepada sembarangan orang. Semacam ilmu makrifat tingkat tinggi, sehingga orang yang diwejang harus sudah menjalani beberapa riyadhah kesucian. Ilmu Satra Jendra Hayuningrat merupakan ilmu yang menguraikan tentang pengetahuan gaib tentang rahasia seluruh alam semesta beserta perkembangannya.
Menurut pujangga petutup Ronggowarsito, untuk melatih ke arah tercapainya sastra tersebut ada tujuh tahapan, yaitu tapaning jasad, tapaning budi, tapaning hawa nafsu, tapaning cipta, tapaning sukma, tapaning cahya, dan tapaning gesang.
Demikianlah makna yang terkandung dalam beberapa lakon wayang yang sering kali kita nikmati semalam suntuk itu. Kembali kepada para penonton apakah waktu yang tersedia, dengan lakon, sesi yang beraneka pula, dapat dipetik hikmah? Apakah penonton hanya menikmati limbukannya? Dalang tidak menganjurkan kepada penonton menyimak jalan ceritanya, tetapi dia hanya melakonkan apa harus dilakonkan. Penonton yang ulul albab-lah yang mampu membawa pulang pelajaran bersama akhir gending manyura dan merekahnya fajar di ufuk timur. Waallahua'lam.
Category : kebudayaan
SHARE THIS POST