Tuhan; Mutakallimin dan Filsuf

slider
24 Mei 2022
|
3050

Ungkapan populer “barang siapa yang mengenal dirinya sendiri, akan mengenal Tuhannya”, secara tersurat menginformasikan kepada kita tentang sebuah cara yang ajeg untuk mengenal Tuhan. Tapi secara tersirat, tampaknya ungkapan itu justru dapat dibaca kebalikannya; sebagai ekspresi yang memperlihatkan betapa sulitnya mengenal Tuhan. Semacam retorika yang memberi efek dramatis, ketimbang instruksi praktis.

Dalam tradisi sufi, mengenal Tuhan adalah domain intuisi gaib yang disebut dengan ma’rifah. Filsuf sekaligus teolog berkebangsaan Jerman, Rudolf Otto, dalam The Idea of The Holy menyebut intuisi gaib sejenis itu dengan numinous: sesuatu yang tidak bisa diajarkan, melainkan dibangkitkan. Dan numinous adalah dasar dari setiap ajaran agama.

Karenanya, sangat bisa diterima, jika dalam buku Sejarah Tuhan, Karen Armstrong menyebut “Semua perbincangan tentang Tuhan adalah perbincangan yang sulit”. Apalagi yang diperbincangkan adalah Tuhan yang berkata-kata, yang memerintah dan melarang, terkadang juga mengancam, sebagaimana Tuhan dalam tradisi agama Abrahamik: Yahudi, Kristen, dan Islam.

Kendati demikian, bukan berarti tidak ada potret tentang figur Tuhan di luar intuisi gaib. Nalar diskursif ikut memainkan peran penting dalam menopang persepsi manusia mengenai Kekuatan Adi Kodrati itu. Dalam khazanah intelektual Islam, domain yang terakhir ini menjadi porsi ilmu kalam dan falsafah. Di sini isu mengenai Tuhan yang personal dan impersonal mengemuka. Duel klasik Al-Ghazali dengan Ibnu Rusyd menjadi ikonnya.   

Ilmu Kalam dan falsafah sama-sama membahas tentang eksistensi Tuhan. Bedanya, ilmu falsafah bersandar pada premis-premis filosofis yang spekulatif, serta sangat dipengaruhi oleh gagasan filsafat Yunani Kuno. Tapi dapat dikatakan, semangat ilmu falsafah adalah ingin mendamaikan konsep Tuhan dalam Al-Qur’an, dengan konsep Tuhan dalam filsafat Yunani Kuno. Dalam ilmu falsafah juga muncul istilah-istilah yang khas sebagai sebutan lain untuk Tuhan. Misalnya, Al-Kindi menyebut Tuhan dengan “Al-Wahid Al-Haq” (Yang Satu Sejati), dan Ibnu Sina dengan “Al-Wajib Al-Wujud” (Yang Wajib Ada).

Sebaliknya, spekulasi filosofis dalam ilmu kalam sepenuhnya bersandar pada teks Al-Quran dan tidak mengekor pada filsafat Yunani Kuno. Ilmu kalam menjadikan doktrin tentang Tuhan yang tercantum dalam ayat-ayat Al-Qur’an sebagai premis mutlak yang tidak dapat diganggu-gugat. Sebagai contoh, ilmu kalam berusaha membela konsep kemahakuasaan Tuhan yang termuat dalam banyak ayat Al-Quran, dengan memunculkan spekulasi filosofis mengenai teori atom (jawhar).

Sampai di sini, sebenarnya cukup berdasar jika kita menyebut ilmu kalam dan falsafah sama-sama merupakan penyelidikan filsafat. Menurut Oliver Leaman dalam An Introduction to Classical Islamic Philosophy, argumen-argumen filosofis dalam khazanah intelektual Islam lahir lewat perkembangan penalaran hukum Islam, jauh sebelum filsafat Yunani Kuno masuk ke dunia Islam.

Hal ini ditegaskan oleh Hamid Fahmy Zarkasyi dalam disertasinya yang dipublikasikan dengan judul “Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan?”. Ia menganggap ilmu falsafah sekadar sebuah tren dalam khazanah filsafat Islam, bukan representasi dari keseluruhan filsafat Islam.

Dari kaca mata ini, perseteruan antara ilmu kalam dengan falsafah, ataupun perang pena antara Al-Ghazali dengan Ibnu Rusyd, dapat kita lihat sebagai derbi filsafat Islam. Itu sebabnya, dalam tulisan ini dibedakan antara istilah falsafah dengan filsafat Islam.

Kembali ke persoalan eksistensi Tuhan. Pada dasarnya, ahli kalam dan filsuf sepakat bahwa Tuhan tidak sama dengan semua hal apapun, Dia Esa dan Istimewa. Namun, mereka berselisih mengenai bagaimana alam semesta dengan makhluk hidup yang beraneka ragam bisa mewujud dari satu Wujud Yang Esa.

Ahli kalam percaya bahwa alam semesta ada karena Tuhan memang berkehendak menciptakannya. Bagi mereka, Tuhan adalah pelaku penciptaan yang terus menerus mengontrol alam semesta beserta kehidupannya. Tuhan mengirim nabi dan rasul, memberi azab dan hidayah, memilih para wali, hingga mengendalikan orbit planet dan galaksi.

Sementara itu, ahli falsafah menyatakan bahwa Tuhan tidak menciptakan alam semesta, melainkan alam semesta beremanasi atau memancar dari Zat Tuhan. Di sini, Tuhan dianggap sebagai sebab emanasi, bukan pelaku penciptaan. Jadi, alam semesta ada bukan karena Kehendak Tuhan, tapi karena keniscayaan Zat Tuhan, seperti keniscayaan cahaya memancar dari matahari. Secara singkat, Tuhan diidentifikasi sebagai penggerak yang tidak digerakkan “The Unmoved Mover”.

Ahli falsafah mempertanyakan, mengapa Tuhan berkehendak menciptakan alam semesta pada momen waktu tertentu? Bukankah semua momen waktu adalah sama, kecuali ada alasan yang membedakannya? Kata mereka, jika tidak ada alasan yang membedakan, tentu ada atau tidaknya alam semesta tidak bisa dipilih. Sementara, menetapkan Tuhan dapat membedakan antara dua hal yang sama adalah kontradiktif, karena sama berarti tidak ada perbedaan. Dengan kata lain, konsep Tuhan berkehendak menciptakan alam semesta adalah tidak logis.

Al-Ghazali dengan metode dialog imajiner yang menarik, mengangkat polemik ini dalam karyanya yang berjudul Tahafut Al-Falasifah. Ia menganggap pertanyaan ahli falsafah itu absurd. Menurut Al-Ghazali, fungsi dari kehendak sedianya memang untuk membedakan salah satu di antara hal-hal yang sama. Kehendak sejajar dengan tujuan, sehingga tidak perlu ada alasan ekstrinsik apapun agar subjek dapat berkehendak. Oleh karenanya, menanyakan mengapa Tuhan berkehendak menciptakan alam semesta pada momen waktu tertentu, sama absurdnya dengan bertanya mengapa penyesalan muncul di belakang.

Terlepas dari argumen mana yang paling kuat di antara dua argumen itu. Tampak jelas, Tuhan dalam pandangan para ahli falsafah sangat impersonal dan pasif. Konsep Tuhan yang demikian paralel dengan keyakinan orang Yunani Kuno, yang menganggap dinamika dan perubahan sebagai ciri realitas inferior. Sebaliknya, Realitas Superior berciri statis dan permanen. Kata Karen Armstrong, kelemahan konsep Tuhan seperti ini adalah memproyeksikan Tuhan sebagai sesuatu yang jauh, sehingga tidak dapat mengilhami pencarian spiritual. Dalam sejarah Islam, karir keilahian Tuhan para ahli falsafah tersebut kurang cemerlang.

Sementara Tuhan dalam pandangan ahli kalam lebih personal dan aktif. Tidak sejengkalpun tempat di alam semesta luput dari yurisdiksi-Nya, dan tidak satu peristiwapun terjadi di luar kehendak-Nya. Tuhan dianggap sangat dekat dengan makhluknya, yang sering diungkapkan dengan metafor “lebih dekat dari urat leher”. Konsep Tuhan yang demikian ini, menjadi konsep Tuhan yang dipegang oleh mayoritas umat Islam.

Namun, konsep Tuhan tersebut juga menimbulkan masalah yang pelik. Jika Tuhan mengatur semua hal, lantas bagaimana kedudukan makhluk Tuhan, khususnya manusia sebagai makhluk yang berpikir? Apakah seperti bidak catur yang digerakkan seenaknya oleh Tuhan, atau bebas menentukan kehendaknya sendiri, di luar yang Tuhan kehendaki? Jawaban ahli kalam atas pertanyaan tersebut sangat rumit dan jelimet. Syukurlah, Fazlur Rahman dalam Major Themes of The Qur’an meringkasnya dengan apik seperti ini: status makhluk Tuhan adalah otonom, tapi tidak otokratis.


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

R. Purnadi

Tinggal di Malang. Menyukai ilmu ekonomi dan filsafat.