Timothy Morton: Mengungkap Sisi Gelap Alam

slider
28 Desember 2024
|
803

Timothy Morton dikenal sebagai seorang filsuf yang fokus di bidang ekologi dan bisa dikatakan juga sebagai musisi. Morton berasal dari Inggris (kelahiran 1968) banyak memberikan kontribusi dalam ilmu pengetahuan, khususnya tentang ekologi atau istilah yang ia sebut dark ecology.

Morton dapat dikatakan bagian dari aliran pemikiran filsafat yang disebut realisme spekulatif (speculative realism). Aliran ini mengkritik terhadap pandangan sebagian besar filsuf Barat bahkan sampai era postmodern yang menganggap bahwa dunia hanya sebatas persepsi manusia. Temasuk kritikan terhadap antroposentrisme yang memandang bahwa keberadaan realitas hanya melalui perspektif manusia atau berdasarkan keterbatasan persepsinya.

Aliran realisme spekulatif meyakini bahwa alam semesta ada yang dapat dipahami manusia, tetapi ada banyak juga yang tidak dapat dipahami manusia. Bagi aliran realisme spekulatif, alam sangat dalam dan luas sekali, sedangkan manusia adalah makhluk yang memiliki keterbatasan.

Tulisan akan mencoba mengungkapkan bagaimana hubungan manusia dengan alam serta menyadari sisi gelap alam menurut Timothy Morton.

Dekonstruksi Konsep Alam

Istilah “dekonstruksi” mengambil dari filsuf Derrida yang secara sederhana berarti “membongkar kembali”. Sesuatu yang dulunya pernah didefinisikan, maka sekarang dicoba untuk dibongkar kembali sehingga ada kemungkinan definisi tersebut bisa berubah. Begitu juga dalam mendifinisikan tentang alam, bagi Morton perlu melakukan dekonstruksi.

Menurut Morton, konsep atau gagasan tentang alam justru sering menjadi penghalang dalam memahami alam yang sebenarnya. Padahal, terdapat sisi lain alam yang mengerikan sehingga manusia sering dibuat susah olehnya. Inilah yang ingin disampaikan oleh Morton agar melihat lebih luas lagi tentang alam.

Morton mengajak kita agar memahami kembali atau mendekonstruksi konsep alam. Hal ini dilakukan bukan berarti manusia salah dalam memahami alam, melainkan terdapat reduksi sehingga menjadi tidak luas dalam memahami alam.

Morton juga menyinggung bahwa manusia seharusnya jangan terlalu sibuk memperjuangkan konsep tentang alam, seperti mondar-mandir menjadi pembicara seminar dan lainnya. Hal ini justru memenjarakan sebuah konsep alam, karena yang diharapkan bukanlah menginginkan banyak konsep tentang alam.

Sebaliknya, manusia seharusnya berjuang secara langsung terjun ke alam. Merawat dan melestarikan alam secara langsung justru dapat menyadarkan bahwa pemahaman tentang alam sangat luas sekali. Kesadaran mengenai luasnya tentang alam inilah yang membuat kita mendekonstruksi alam sehingga dapat menciptakan ekologi yang lebih realistis.

Dekonstruksi Konsep Kemajuan

Morton mengajak untuk memahami kembali konsep kemajuan sebagaimana ungkapannya, “the concept of ‘progress’ needs to be redefined in ecological terms, focusing on sustainability and resilience.” Pernyataan ini menegaskan bahwa agar definisi kemajuan seharusnya lebih ke arah ekologi dan fokus pada keberlanjutan serta ketahanannya.

Manusia sering kali tidak sadar dalam setiap perkembangan teknologi yang dimanfaatkannya dianggap sebagai bentuk kemajuan. Mereka merasa bangga seolah-olah tidak merusak hubungannya dengan alam. Padahal dampak yang dilakukan justru memberi efek negatif bagi semua makhluk di bumi, khususnya manusia yang berperan sebagai tersangka sekaligus korban.

Apa yang dinginkan Morton agar mendekontruksi konsep kemajuan yang selama ini salah dipahami oleh manusia. Konsep kemajuan tidak boleh mengesampingkan alam, melainkan menjaga keberlanjutan serta ketahanannya.

Dark Ecology dan Asumsinya

Istilah dark (gelap) mengacu bahwa ekologi pada kenyataannya juga melibatkan banyak aspek yang tidak menyenangkan, seperti kerusakan alam, kepunahan spesies, dan dampak-dampak negatif lainnya dari olah manusia.

Dark ecology adalah sebuah konsep yang menggambarkan bahwa hubungan manusia dengan lingkungan bersifat kompleks, ambigu, dan tidak selalu positif. Konsep ini juga mengkritik ideologi idealis yang memandang alam adalah sesuatu yang harmonis. Sedangkan manusia beranggapan bahwa ia bisa mengharmonisasikan alam dan kembali ke alam. Manusia terlalu percaya diri dengan idealisnya yang dapat memperbaiki segala kerusakan yang ada di bumi. Padahal hubungan manusia dengan alam bisa negatif atau positif dengan cara pandang yang berbeda.

Misal fenomena gunung meletus yang dianggap negatif, bisa saja positif bagi orang tertentu yang memanfaatkan pasir. Adanya tsunami yang bisa menyusahkan para korban, bisa jadi menggembirakan bagi kanal berita sebab mendapatkan berita heboh. Begitu juga gempa bumi yang dapat merobohkan banyak rumah dan sebagainya. Inilah yang disebut kompleks dan ambigunya hubungan antara manusia dan alam, sebab bisa jadi negatif dan bisa pula jadi positif dengan sudut pandang tertentu.

Morton ingin menyadarkan bahwa inilah sisi gelap alam yang selalu dilihat manusia dari sisi terangnya. Manusia perlu mangakui secara realitas bahwa ekologi tidak selalu sesuatu yang menyenangkan dan romantis. Sebaliknya, terkadang memberikan ancaman dan dampak negatif bagi makhluk hidup.

Morton mengasumsikan dark ecology menjadi tiga. Pertama, ketidakterpisahan antara manusia dan alam. Meski manusia sering terlibat dengan alam dan berujung memberi dampak negatif di lingkungan sekitar, perlu ada kesadaran bahwa dirinya dan alam bukanlah sesuatu yang terpisah. Manusia adalah alam bagi Timothy, sebagaimana ungkapannya, “nature is not a separate thing out there that we can go and save, we are it.”

Kedua, ambiguitas dan kompleksitas. Ekologi bukanlah sesuatu yang sederhana, melainkan penuh dengan hal-hal yang tidak jelas dan hubungan yang rumit. Permasalahan inilah yang sering diabaikan dalam sebuah diskusi umum mengenai lingkungan. Maka manusia sepantasnya mengakui ambiguitas dan kompleksitas alam sehingga benar-benar berusaha memahaminya.

Ketiga, ketidaknyamanan ekologis. Kesadaran manusia bahwa hubungannya dengan alam tidak selalu memberi kenyamanan, tetapi terkadang memberikan ketidaknyaman. Bahkan memberikan efek rasa bersalahnya terhadap alam yang tidak selalu dipahami secara ideal. Menurut Morton, kenyataan seperti ini perlu dihadapi dan disadari bahwa sebagai manusia menjalani kehidupan di alam yang sudah rusak dan menjadi dari bagian permasalahan tersebut.

Menghadapi dan Menyadari Hyperobject

Morton berpandangan bahwa hyperobject adalah objek atau entitas sangat besar yang melampaui pengalaman manusia. Ia adalah realitas yang tersebar luas dalam ruang dan waktu sehingga manusia sangat kesulitan atau mustahil untuk memahami sepenuhnya. Sekalipun mampu, pemahamannya pun hanya bersifat hipotesis.

Di alam semesta ini terdapat sangat banyak hyperobject, salah satu yang ada di bumi adalah perubahan iklim. Permasalahan besar secara global kini manusia kesulitan untuk beradaptasi dan tidak bisa menentukan kapan secara tepatnya terjadi perubahan musim. Morton juga mencontohkan plastik sebagai hyperobject. Permasalahan plastik yang terbuang menjadi sampah dan tersebar luas merupakan sebuah aset paling besar di bumi. Plastik dapat bertahan ratusan tahun dan dapat mengancam kehidupan manusia serta lainnya.

Meskipun hyperobject sangat sulit dipahami, setidaknya ia memberikan beberapa efek kesadaran bagi manusia. Di antaranya adalah manusia yang berhadapan dengan hyperobject menjadi sadar bahwa dirinya ternyata memiliki keterbatasan. Manusia juga sadar bahwa betapa sangat mendalamnya keterhubungan seluruh entitas di planet ini. Oleh karenanya, manusia terdorong dan terpaksa untuk menghadapi realitas yang jauh lebih besar dibandingkan dirinya.

Menurut Morton, setiap objek selalu mempunyai dimensi yang tidak dapat sepenuhnya dipahami oleh manusia. Ia memiliki kedalaman yang mustahil dimengerti secara keseluruhan. Bahkan interaksi manusia dengan objek selalu dibatasi oleh keterbatasannya sendiri. Maka dengan demkian, obyek tersebut bisa tersenyum kepada manusia yang berusaha memahaminya.

Secara gamblang, misalnya ketika manusia berinteraksi dengan pohon sebagai objek yang ditelitinya. Manusia mengira bahwa dirinya mampu memahami objek secara keseluruhan, tetapi secara fakta banyak aspek yang tidak terlihat dan terduga oleh manusia. Inilah yang membuat objek tersenyum kepada manusia yang merasa sangat percaya diri. Padahal manusia hanya sedikit memahaminya dan masih banyak elemen-elemen lain yang belum diketahui.

Menghadapi Ketidakpastian dan Ketidaknyaman Alam

Krisis ekologi yang rumit dan saling memiliki keterhubungan mendalam, membuat manusia tidak dapat memahaminya secara tepat. Dibandingkan mencari sebuah solusi, menurut Morton ketidakpastian alam seharusnya diterima dan dihadapi oleh manusia. Setidaknya perlu sebuah etika dalam berinteraksi dengan alam, yaitu bersikap rendah hati, kolaborasi, dan keterlibatan yang berkesinambungan.

Sikap rendah hati adalah menganggap bahwa dirinya sebagai manusia jangan merasa sebagai makhluk yang paling penting dan hebat berhadapan dengan alam. Kolaborasi adalah kesadaran bersama dalam menjaga ritme alam demi kenyamanan bersama. Sedangkan keterlibatan berkesinambungan adalah sadar bahwa kita sebagai manusia bukanlah di luar alam, melainkan berada di dalamnya dengan hidup bersama-sama.

Sikap mental demikian akan menyadarkan manusia bahwa ekologi tidak hanya berbicara dan menampilkan keindahannya semata, namun terdapat sisi gelap ekologi yang mengharuskan kita untuk siap menerimanya. Maka, manusia harus mampu melampaui sikap antroposentrisme agar sadar bahwa semua makhluk hidup maupun mati juga mempunyai kepentingan dan keinginan. Hal inilah yang menyadarkan manusia agar tidak berfantasi dalam mengendalikan alam sesuai hasrat, sebagaimana ungkapan Morton, “losing a fantasy is much harder than losing a reality.”

Dalam menghadapi ketidaknyamanan alam, Morton memberikan tawaran dalam karyanya The Ecological Thought. Di antaranya adalah manusia harus menerima bahwa dirinya dengan alam tidak terpisah, sehingga kerusakan yang terjadi di alam juga turut berperan olehnya. Manusia juga harus menerima segala ambiguitas dan kompleksitas alam yang tidak mudah diberi solusi. Terakhir, manusia juga harus bersikap terbuka atas ketidaknyaman alam dan ketidakpastiannya di masa depan.

Referensi:

Ngaji Filsafat 446: Timothy Morton—Dark Ecology edisi Kembali ke Alam, bersama Dr. Fahruddin Faiz, M. Ag di Masjid Jendral Sudirman, pada Rabu, 16 Oktober 2024.


Category : catatan santri

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

M. Rijal

Asal Kab. Banjar Kota Banjarmasin-Banjarmasin Timur, Kalimantan Selatan