Tawaran Epistemologis Mohammad Abed Al-Jabiri
Tradisi tekstualis merupakan warisan dari para leluhur (ulama Islam dahulu). Hal ini berdampak pada cara pandang dan pola pikir umat muslim dalam melakukan sesuatu, khususnya dalam mengkaji perkara keislaman. Segala perkara diukur dengan teks-teks agama yang menjadi alat kebenarannya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pengagungan atas karya ulama yang telah dikodifikasikan. Sehingga, rasionalitas begitu disampingkan seperti tidak memiliki ruang untuk ikut andil dalam mengeksekusi sebuah perkara.
Namun, setelah renaissance yang terjadi di Eropa, eksistensi nalar begitu berpengaruh terhadap perkembangan masa. Hal ini terbukti dari banyaknya penemuan teknologi canggih oleh ilmuwan Eropa. Kemenangan rasionalitas begitu terlihat saat itu, sehingga pandangan hidup dan fokus tujuan hidup para ilmuwan Eropa sekaligus kaum agamawan juga berubah. Dari pandangan yang fokus pada aspek ketuhanan saja, kemudian menjadi fokus pada visi kemanusiaan setelah terjadinya renaissance.
Terjadinya kemenangan rasionalitas yang berdampak pada banyaknya penemuan yang memajukan Eropa, berita ini menyebar sampai ke dunia Arab Islam. Hal ini diakui oleh kalangan muslim bahwa Eropa telah maju dengan memaksimalkan nalarnya. Namun, sebagian muslim yang lain beranggapan bahwa Eropa maju karena meninggalkan agama dan mengejar dunia. Sehingga, muncul pandangan dari masyarakat muslim bahwa Eropa maju dengan memaksimalkan nalarnya, sedangkan Islam tertinggal dengan tradisi tekstualisnya. Pandangan lain mengatakan bahwa Eropa maju karena meninggalkan agamanya.
Ketertinggalan umat Islam saat itu merupakan hasil dari kekakuan Islam dengan menjunjung cara berpikir yang tekstualitas dan tidak melihat perkambangan masa yang terus berubah dengan disertai permasalahn yang baru. Hal ini berdampak pada pola berpikir muslim dalam mengkaji sebuah perkara. Sehingga, banyak polemik yang terjadi ketika cara berpikir tekstualis dijadikan parameter untuk menimbang perkara yang baru dalam perkembangan zaman yang terus bergerak maju dan canggih.
Meminjam istilah epistemologi Mohammad Abed al-Jabiri, bahwa masyarakat Islam tertinggal karena cara pandangnya masih berkutat di ruang bayani, yakni ruang yang menjadikan tekstualitas sebagai alat ukuran sebuah perkara.
Sedangkan perkembangan zaman dengan perkara-perkara baru terus berubah dan tekstualitas tidak bisa menjadi alat ukur perkara yang baru karena sudah tidak relevan dengan masa. Dari sini dapat dipahami, bahwa Islam memiliki karakter yang dinamis, artinya tidak kaku, sehingga berperan aktif dalam menjawab setiap perkara dengan menyelaraskan zamannya.
Islam yang kaku dengan cara pandangnya yang tekstualis berdampak buruk pada perkembangan keilmuan dewasa ini. Terbukti dari banyaknya klaim kebenaran atas pemahaman kelompok sembari dengan menyalahkan kelompok lain yang tidak sepaham. Bahkan banyak terjadi permasalahan yang muncul dari paham ini yakni penyesatan atas kelompok lain, pengkafiran, ujaran kebencian, dan menghalalkan darah siapa pun yang tidak sepaham dengan kelompoknya. Hal tersebut merupakan konsep ajaran yang sudah menjadi ciri khas paham yang tekstualis.
Penyebaran paham ini dilakukan dengan menggunakan ajaran doktrin yang dikuatkan dengan teks-teks agama semata tanpa melakukan proses berpikir yang logis. Akibatnya berdampak pada minimnya rasionalitas pada kader yang menjadi sasarannya. Akhirnya terbentuk generasi muslim yang membudayakan pembelajaran dengan taklid buta dan mengesampingkan penalaran yang logis bersasar penemuannya dalam berpikir.
Eksistensi paham ini dengan ajarannya yang ekstrim menampilkan wajah Islam yang keras dan kaku. Ekslusivitas yang terjadi berdampak buruk pada cara pandang muslim dan berpengaruh pada kelambatan kemajuan peradaban Islam. Keberadaan paham ini merupakan suatu bentuk ketidakpahaman seorang muslim akan makna Islam secara subtansi, makna Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, dan makna Islam yang moderat.
Abed al-Jabiri memberikan kontribusinya atas polemik yang terjadi di dunia Arab Islam dengan menawarkan tiga konsep epistemologi, yakni bayani, irfani, dan burhani. Ketiga epistemologi ini ditawarkan oleh al-Jabiri sebagai wujud keprihatinan atas masyarakat Islam yang cenderung menafikan rasionalitas yang bisa dijadikan pertimbangan atas perkara yang dihadapi. Hal ini dilakukan al-Jabiri sebagai jawaban dari banyaknya kajian epistemologis, namun menyangkut hasilnya: nihil, dan tetap saja sebagian besar masyarakat Islam sulit menerima pembaharuan seiring masuknya modernitas ke wilayah Islam yang masih tradisional (tekstualis).
Dampak dari sulitnya mengetengahkan cara pandang atas tradisi maupun agama secara kritis menyebabkan kebangkitan umat Islam lambat, hingga dikatakan tertinggal. Ketertinggalan ini disebabkan oleh sikap eksklusivisme yang dimiliki umat Islam terhadap agamanya ataupun tradisi yang dimilikinya. Untuk mengubah pola pemikiran dalam berpandangan terkait tradisi dan keagamaan, al-Jabiri sebagai salah satu pemikir muslim di Arab, mencoba memberikan tawaran epistemologis sebagai rujukan.
Pemikiran yang ditawarkan oleh al-Jabiri bertujuan supaya umat Islam mau bersikap terbuka dan objektif dalam menyikapi tradisi pemikiran baru, agar tidak tertinggal jauh dengan bangsa Barat yang jelas-jelas dapat maju berkat mengadopsi literatur-literatur Islam dan mengembangkannya sesuai dengan kepentingan mereka.
Category : keilmuan
SHARE THIS POST