Tahun Baru Islam: Kisah Hijrah, Makna Perjuangan, dan Lembaran Baru Penuh Harapan
Setiap kali kalender berganti, ada semangat baru yang menyelinap ke dalam sanubari. Harapan dirangkai, resolusi dibuat, dan lembaran baru kehidupan siap untuk ditulis. Di antara berbagai perayaan tahun baru di seluruh dunia, ada satu yang menyimpan makna jauh lebih dalam dari sekadar pesta kembang api atau hitung mundur tengah malam. Itulah Tahun Baru Islam, atau yang lebih kita kenal sebagai Tahun Baru Hijriah.
Peringatan 1 Muharram, hari pertama dalam kalender Islam, bukanlah perayaan yang ditandai dengan kemeriahan duniawi. Sebaliknya, ia adalah momen kontemplasi, refleksi, dan penghormatan terhadap sebuah peristiwa monumental yang mengubah arah sejarah dunia: Hijrah Nabi Muhammad Saw dari Mekkah ke Madinah.
Untuk memahami esensi Tahun Baru Islam, kita harus menyelami kisahnya. Hijrah Nabi Saw bukan hanya cerita tentang perpindahan fisik, melainkan sebuah epik tentang pengorbanan, keyakinan, strategi brilian, dan kemenangan iman atas penindasan.
Akar Perjuangan: Kondisi di Mekkah
Bayangkan sebuah kota di mana sebuah pesan kebenaran baru saja bergema. Pesan tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw—bahwa tiada tuhan selain Allah—mengguncang tatanan sosial, ekonomi, dan kepercayaan kaum Quraisy di Mekkah yang dengan kepercayaannya telah mapan selama berabad-abad. Awalnya dicemooh, ajaran Islam perlahan mulai diterima oleh beberapa kalangan, terutama mereka yang tertindas dan mencari keadilan.
Namun, seperti sebuah peribahasa, semakin tinggi pohon yang tumbuh, semakin kecang pula angin yang menghembusnya. Semakin banyak pengikut Nabi Muhammad Saw, semakin keras pula perlawanan dari para pemuka Quraisy. Mulai ari intimidasi, siksaan fisik, boikot ekonomi, hingga pengucilan sosial menjadi santapan sehari-hari bagi para umat Islam awal.
Bilal bin Rabah dijemur di bawah terik matahari dengan batu besar di dadanya, keluarga Yasir disiksa hingga syahid, dan bahkan Sang Nabi Saw sendiri pun tak luput dari berbagai ancaman dan pelecehan. Puncak dari penindasan ini adalah rencana jahat para pemimpin Quraisy untuk membunuh Nabi Muhammad Saw secara beramai-ramai untuk menghentikan dakwahnya secara permanen.
Di tengah situasi yang genting inilah, perintah dari Allah SWT datang. Bukan untuk menyerah, bukan pula untuk membalas dengan kekerasan, melainkan untuk melakukan hijrah. Sebuah perjalanan strategis untuk menyelamatkan akidah dan membangun sebuah fondasi baru bagi peradaban Islam.
Strategi dan Keajaiban: Epik Perjalanan Hijrah
Hijrah bukanlah sekadar pelarian yang gegabah. Ia adalah sebuah operasi yang direncanakan dengan sangat matang dan penuh ketawakalan. Ada tiga langkah yang ditempuh Nabi Muhammad Saw dan sahabat serta para pengikutnya untuk hijrah.
Langkah pertama, Nabi Muhammad Saw memerintahkan para sahabatnya untuk berhijrah terlebih dahulu secara diam-diam dalam kelompok-kelompok kecil menuju Yatsrib (nama Madinah saat itu), sebuah kota yang warganya telah berbaiat dan siap menyambut beliau.
Langkah kedua, tepat pada malam pengepungan rumah oleh para pemuda Quraisy, Nabi Muhammad Saw, dengan izin Allah, berhasil keluar tanpa terlihat. Untuk mengelabui para pengepung, sepupunya yang pemberani, Ali bin Abi Thalib, rela mempertaruhkan nyawa dengan tidur di tempat tidurnya Rasulullah.
Langkah ketiga, perjalanan tidak langsung menuju utara ke Madinah. Sebuah manuver cerdas dilakukan. Nabi Muhammad Saw bersama sahabat setianya, Abu Bakar Ash-Shiddiq, justru bergerak ke arah selatan dan bersembunyi di Gua Tsur selama tiga hari. Di sinilah keajaiban Ilahi turut berperan. Saat para pengejar tiba di mulut gua, mereka melihat sarang laba-laba yang utuh dan dua ekor merpati yang sedang mengerami telurnya. Mereka pun berpikir, mustahil ada orang yang masuk ke gua ini tanpa merusak sarang tersebut. Mereka pergi, dan Rasulullah beserta Abu Bakar pun selamat.
Perjalanan melintasi gurun pasir yang ganas selama berhari-hari adalah ujian fisik dan mental. Namun, dengan bekal keimanan yang kokoh dan pertolongan Allah, mereka akhirnya tiba di Quba, pinggiran kota Yatsrib. Sambutan yang mereka terima begitu luar biasa. Gema takbir dan puji-pujian membahana, air mata kebahagiaan membasahi pipi penduduk Yatsrib yang telah lama merindukan kedatangan sang pembawa risalah. Sejak saat itu, kota Yatsrib berganti nama menjadi Madinah Al-Munawwarah, kota yang bercahaya.
Titik Balik Peradaban: Lahirnya Kalender Hijriyah
Peristiwa hijrah ini begitu fundamental sehingga pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, sekitar 17 tahun setelah peristiwa itu terjadi, para sahabat bermusyawarah untuk menetapkan sistem penanggalan resmi bagi umat Islam. Berbagai usulan muncul: ada yang mengusulkan tahun kelahiran Nabi, ada juga yang mengusulkan tahun ketika beliau diangkat menjadi Rasul.
Namun, Khalifah Umar, dengan persetujuan para sahabat, memilih momen hijrah sebagai titik nol kalender Islam.
Mengapa? Karena hijrah adalah titik balik (turning point). Ia adalah momen transisi dari fase dakwah yang penuh penindasan (fase Mekkah) ke fase pembangunan masyarakat dan negara yang berdaulat, adil, dan beradab (fase Madinah). Hijrah melambangkan kemenangan, optimisme, dan dimulainya sebuah era baru.
Maka, lahirlah kalender Hijriah, yang diambil dari kata “hijrah”. Bulan pertamanya ditetapkan sebagai Muharram, sebuah bulan yang memang telah dimuliakan bahkan sebelum datangnya Islam.
Hijrah di Era Modern: Lembaran Baru Yang Penuh Harapan
Lalu, apa makna semua ini bagi kita yang hidup berabad-abad kemudian? Tentu kita tidak lagi dituntut untuk berhijrah secara fisik dari satu kota ke kota lain. Namun, semangat hijrah tetap relevan dan abadi.
Tahun Baru Islam mengajak kita untuk melakukan “hijrah” dalam lingkup pribadi. Ia adalah momentum untuk kita semua, seperti:
- Hijrah dari keburukan menuju kebaikan: meninggalkan kebiasaan buruk, sifat-sifat tercela seperti iri, dengki, dan sombong, lalu menggantinya dengan akhlak yang mulia.
- Hijrah dari kemalasan menuju produktivitas: meninggalkan sikap menunda-nunda dan pasrah pada keadaan, lalu bergerak menjadi pribadi yang proaktif, kreatif, dan bermanfaat bagi sesama.
- Hijrah dari ketidaktahuan menuju ilmu: terus belajar, baik belajar ilmu agama maupun belajar ilmu dunia, untuk meningkatkan kualitas diri kita agar kita dapat memberikan kontribusi yang lebih besar bagi sesama.
- Hijrah dari ketergantungan menuju kemandirian: seperti Nabi Saw yang membangun kekuatan umat di Madinah, kita harus bisa menjadi pribadi dan komunitas yang mandiri dan lebih berdaya.
Tahun Baru Islam 1 Muharram adalah pengingat agung bahwa setiap perubahan besar dimulai dari sebuah langkah kecil yang berani, didasari oleh keyakinan yang kuat, dan diiringi dengan perencanaan yang matang. Ia mengajarkan kita bahwa setelah kesulitan, pasti akan ada kemudahan.
Maka, saat kita menyambut Tahun Baru Hijriyah, mari kita sejenak merenung. Bukan hanya untuk mengingat tanggalnya, tetapi juga meresapi kembali kisah perjuangan, pengorbanan, dan harapan yang terkandung di dalamnya.
Mari kita jadikan momen ini sebagai titik tolak untuk memulai hijrah personal kita, menulis lembaran baru dalam buku kehidupan yang lebih baik, lebih bermakna, dan tentunya, lebih dekat kepada Sang Pencipta.
Selamat Tahun Baru Islam!
Category : keislaman
SHARE THIS POST