Tafsir Sehelai Rambut Terbelah Tujuh

slider
17 November 2020
|
4791

Penerangan perihal Shirat al-Mustaqim secara tekstual jamak dimaknai jalan yang lurus. Seperti apakah jalan yang lurus itu? Seperti lurusnya garis peta suatu jalankah? Tentu saja tidak.

Untuk memahaminya kemudian dibuatlah sebuah perumpamaan yang kini telah populer di masyarakat luas. Bahwa jalan yang lurus itu diibaratkan seperti berjalan di atas jembatan yang lebarnya setipis sehelai rambut yang terbelah jadi tujuh. Bila orang mampu melewatinya maka ia masuk surga.Tetapi jika ia tak bisa melewatinya, jatuh, jatahnya di neraka dulu. 

Perumpamaan gambaran jalan yang lurus ini, dalam suatu kesempatan pernah dipertanyakan kesahihannya oleh mufassir M. Quraish Shihab. Menurut pendapatnya, perumpamaan sehelai rambut terbelah tujuh itu tak sesuai dengan makna dari akar kata “shirat”. Arti kata “shirat” yang termuat dalam buku beliau yang berjudul Kosakata Keagamaan (2020), berarti jalan yang luas, yang semua orang bisa melewatinya tanpa berdesak-desakan. 

Pengibaratan sehelai rambut terkait jalan yang lurus, bila logika diberi porsi untuk mencernanya secara tekstual, tentu tak akan mampu menembus makna hakikatnya. 

Betapa tidak, mana mungkin orang bisa berjalan di atas jalan yang tipisnya seukuran sehelai rambut yang telah terbelah jadi tujuh? Mungkin kutu rambut saja terpleset-pleset karena saking tipis dan licinnya.

Tetapi jika logika diminta untuk menerkanya secara meta simbolis mungkin bisa menemukan suatu makna. Bisa saja nalar akan menjelaskan maksud sehelai rambut yang terbelah tujuh itu menyimbolkan betapa sulitnya untuk sampai ke surga. Artinya, untuk bisa sampai ke surga harus melalui banyak penebusan atas segala dosa-dosa dulu. 

Bisa juga lembutnya rambut yang telah terbelah jadi tujuh mengisyaratkan bahwa keselamatan di dunia dan di akhirat terletak pada kelembutan hati, tutur kata, dan perilaku insan agama. 

Untuk mengasah kelembutan hati, orang akan melaluinya dengan berbagai macam ujian. Allah Swt melalui firmannya dalam surah Al-'Ankabut ayat 2  yang artinya, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?

Kalau referensi yang dirujuk adalah Al-Quran terjemahan versi Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran Kementerian Agama Republik Indonesia, maka ditemukan penjelasan bahwa yang dimaksud jalan yang lurus yaitu jalan hidup yang benar, yang dapat membuat bahagia di dunia dan di akhirat.

Pertanyaannya adalah seperti apa jalan hidup yang benar dan bisa membuat orang bahagia dan selamat di dunia dan di akhirat? Untuk menjawabnya kiranya tidak sesederhana dengan berucap berpegang pada Al-Qur’an dan hadis. 

Jawaban itu tidak ada yang salah, tetapi jika melihat kenyataan, nyaris semua kelompok yang ada mengklaim bahwa ajaran kelompoknya sejalan dengan Al-Qur’an dan hadis.

Menjamurnya pemahaman agama yang mewujud dalam berbagai wajah dan nama, mengingatkan perihal sabda Rasulullah Saw bahwa kelak di akhir zaman umatnya terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Dan golongan-golongan tersebut celaka semua kecuali satu golongan yang selamat.

Kemudian sahabat bertanya, “Siapakah satu golongan yang selamat itu ya Rasulullah?”. Selanjutnya Rasulullah menjawab, “Mereka adalah ahlus sunah wal jamaah”.

“Lantas siapakah yang dimaksud ahlus sunah wal jamaah itu ya Rasulullah”, tanya sahabat.

“Apa yang aku berada di atasnya, hari ini, dan beserta para sahabarku”, jawab Rasulullah.  

Seperti apakah sunah-sunah beliau itu? Kalau merujuk teks formal apa arti sunah kiranya semua orang bersepakat bahwa yang dinamakan sunah itu perkataan, perbuatan, dan kebiasaan Rasulullah Saw. 

Namun jika ditilik dari sisi ekspresi insan beragama, variasinya ada banyak. Mungkin sebanyak cara dan beda-bedanya hasil pemahaman sunah-sunah Nabi, Al-Qur’an dan hadis. Shalat misalnya, ada yang bacaan basmalahnya dipelankan, ada juga dikeraskan, ada pula yang tak baca basmalah sama sekali, ada yang baca kunut Subuh, ada pula yang tak pakai kunut. Bacaan tahiyat ada yang pakai sayyidina, ada juga yang tidak. Semua punya landasan masing-masing. 

Kita yang hidup dalam generasi yang jauh dari zaman Rasulullah Saw tentu tahunya dari riwayat-riwayat yang diturunkan secara estafet, yaitu dari sahabat Nabi, tabi'in, tabi' tabi'in, para ulama warasatul ambiya, yang secara mazhab fikih yang terpopuler ada empat. Belum lagi mazhab teologi dan tasawuf. Tentu kesemuanya memiliki dasar masing-masing. 

Meski begitu, kiranya akan banyak yang bersepakat bahwa untuk mencapai ke jalan yang lurus tidaklah semudah membalik telapak tangan. Bahkan dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa surga itu dipagari oleh duri dan air mata.

Dalam riwayat lain juga dituturkan bahwa mengamalkan ajaran Islam secara istikamah yang sesuai rida Allah Swt dan Rasul-Nya bagaikan menggenggam bara api. 

Wallahua'lam


Category : keislaman

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Arif Rahman Hakim

Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hobi membaca buku keislaman bercorak tasawuf