Sudut Pandang, Menulis, dan Tangga Scientia-Sacra
Saya sering berbeda pendapat dengan teman dekat, bahkan tidak jarang saling bertentangan. Hal ini maklum terjadi, karena memang setiap orang diciptakan berbeda dan mengalami kehidupan yang berbeda pula. Kalau ditelisik lebih dalam ketika berbincang dengan siapa saja, saya selalu mencari benang merah. Memang kita berasal dari sejarah dan pengalaman yang berbeda, namun ada satu titik yang menjadi tujuan kita bersama.
Perbedaan sudut pandang ini menjadi semakin tertanam dalam benak saya ketika Ahad (14/7) yang sudah lewat kemarin diajak teman-teman literasi masjid Masjid Jendral Sudirman (MJS) sowan ke kediaman Pak Hairus Salim. Beliau adalah penulis dan sebagai kepala di Yayasam LKiS dan Gading Publishing. Kediaman beliau berada di daerah Baturetno, Banguntapan, Bantul. Rumah dengan konsep arsitektur ugahari, berdinding kayu tua, pencahayaan alami dengan jendela besar. Rumah yang sejuk lagi menyejukkan, tanpa perlu AC ataupun pencahayaan pada siang hari.
Di rumah beliau—dari jam 14.00 WIB sampai menjelang Magrib—kami tidak hanya berbincang mengenai dunia tulis-menulis secara teknis. Tetapi kami juga mendapat asupan terkait proses kreatif dalam menulis, seperti mencari bahan inspirasi, mengembangkan ide dan gagasan, sampai meniupkan nilai yang akan diangkat melalui sudut pandang penulis dalam menulis. Nilai-nilai ini dapat berupa unsur spiritualitas, kemanusiaan dan politik yang dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Dunia menulis bagi saya adalah aktivitas yang baru, walaupun dari masa SMP saya sudah mengikuti pelatihan kepenulisan. Akhir-akhir ini baru muncul niat sungguh untuk bisa menulis. Sebelum niatan itu muncul, lebih dari setahun kira-kira, saya membaca buku yang berujung pada ketagihan bacaan. Memulai dari bacaan yang dekat dengan hobi dan potensi diri, kemudian berlanjut pada buku yang membahas tema permasalahan kehidupan yang dekat dengan diri sendiri.
Pak Salim menyampaikan, bahwa ketika kita mau bersungguh-sungguh menulis, kita harus memiliki bahan. Bahan-bahan inilah yang perlu kita tabung sebanyak mungkin—selagi bisa, banyak waktu dan masih muda—seperti menonton film, jalan-jalan, membaca buku, berbincang-bincang dengan banyak orang, dan bolehlah sesekali sambal menikmati makanan (kuliner). Hal ini saya amini, sebab saya sering merasa bingung setelah membaca buku. Setelah khatam membaca buku, kemudian apa?
Pada awalnya, saya hanya mencari sudut pandang dan wawasan baru kemudian mengaitkan dengan buku bacaan yang saya baca. Itu saja. Semakin hari wacana-wacana dari beragam bacaan tersebut semakin menumpuk di kepala, bahkan lebih sering menggelisahkan (kalau tidak mengganggu). Untuk itulah saya sedikit demi sedikit mencoba untuk belajar menulis, dengan tujuan awal menyeimbangkan pikiran di kepala. Ada yang masuk, maka harus ada yang dikeluarkan.
Menulis merupakan salah satu bentuk komunikasi. Pada tahap awal, tulisan yang baik adalah tulisan yang bisa dipahami oleh pembaca. Ketika menulis, Pak Salim menekankan bahwa pengalaman pribadi amatlah penting. Tulisan yang menarik adalah tulisan yang berbeda dari tulisan-tulisan yang sudah ada. Pengalaman pribadi merupakan salah satu pendukung yang menjadikan sebuah tulisan semakin menarik. Bukankah pengalaman pribadi setiap orang itu berbeda? Untuk itu, ketika kita menulis, perenungan-perenungan pribadi yang bersifat subjektif memungkinkan menjadi sudut pandang yang khas.
Pengalaman pribadi yang subjektif dan diekspresikan dalam bentuk tulisan, bagi saya memiliki kesamaan dalam dunia kreatif apa pun. Kita bisa menulis dengan kata-kata yang bermakna sama, dengan cara dan jenis tulisan yang sama, namun pengalaman dan sudut pandang yang akan membedakan dan menjadi sesuatu yang baru. Sama halnya ketika kita melukis dengan cat air dengan warna yang sama dan metode yang sama, namun yang akan menjadi berbeda adalah nilai dan sudut pandang yang diekspresikan si pelukis. Itulah mengapa ada istilah penulis dan tukang ketik, seniman rupa dan tukang gambar atau tukang pahat.
Bagi saya, pengalaman pribadi menjadi penting dalam menulis karena ada nilai yang coba untuk diungkapkan.
Jika kita buka lagi gelaran Ngaji Filsafat yang membahas tentang scientia-sacra, maka pemahaman manusia tentang gagasan dari Seyyet Hossein Nasr ini menjadikan sudut pandang seseorang menjadi bermakna. Scientia-sacra mudahnya adalah nilai-nilai universal yang diamini dan diyakini kebenarannya oleh siapapun, menembus batas suku, ras, agama, gender dan negara. Saya merasa dunia menulis menjadi tangga untuk memasuki rumah scientia-sacra. Tangga menuju scientia-sacra itu sendiri yaitu earthly body, vital motion, sense perception, reason, soul, knowledge, wisdom, dan purified soul.
Saya pun sedang belajar untuk menapaki tangga menulis agar dapat memasuki rumah scientia-sacra. Saya tercenung dan memiliki pertanyaan, dengan jalan menulis mampukah kita memasuki rumah scientia-sacra? Secara, scientia-sacra berbicara tentang persoalan pengetahuan tentang realitas (ma’rifah), sekaligus pembimbing manusia pada Yang Sakral melalui realisasi kebenaran (tahaqquq), proses penyatuan penahu dengan yang diketahui (ittihad ‘aqil bi al-ma’qul) yang membuat gerak substansial (harakat jauhariyah). Sehingga, “mengetahui” bermakna “mengada” (knowing as being).
Melalui perbedaan sudut pandang, saya mencoba untuk meredam ego diri. Berempati dengan memahami sudut pandang orang lain. Melihat nilai yang menjadi benang merah sebagai landasan dalam berpijak, dan menuliskan dalam bentuk catatan-catatan kecil. Catatan-catatan inilah yang menjadi tangga guna mencapai keutuhan nilai yang lebih luas dan mendalam maknanya. Scientia-sacra, nilai yang bersifat universal ini—semoga—mampu membuat diri tergerak untuk membawa pada kebaikan-kebaikan. Tentu saja kebaikan-kebaikan inilah yang menjadi wasilah untuk mencapai satu titik yang menjadi tujuan kita bersama: Allah Swt, dan ridha-Nya.
Category : catatan santri
SHARE THIS POST