Stoikisme: Kebahagian dan Ketenangan Bagi Orang Bijaksana

slider
23 September 2022
|
3695

Saya ingin berhenti sejenak sebelum menulis catatan tentang Stoikisme. Saya akan mulai dengan sebuah anekdot kecil yang terjadi pada 2500 tahun yang lalu, Zeno dari Citium yang merupakan seorang pedagang kaya, kehilangan kekayaannya dalam sekejap di kapal karam. Jika tragedi itu terjadi padamu, apa yang akan kamu lakukan?

Mungkin kata-kata yang bernada sumpah-serapah dan cenderung mengutuk akan keluar dari mulut kita. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi Zeno. Ia justru menyadari bahwa harta yang dimilikinya bisa lenyap kapan saja. Melalui anekdot tersebut, lantas membawa saya pada satu pertanyaan mendesak dalam hidup: apa makna dari menjalani hidup dengan baik?

Stoikisme atau dalam bahasa Inggris disebut stoicism merupakan aliran filsafat besar pasca-Aristoteles di Yunani. Aliran ini didirikan oleh Zeno dari Citium sekitar tahun 300 SM. Selain dikenal sebagai nama aliran dalam filsafat, stoikisme juga dikenal dengan sebagai sebuah kelompok dengan sebuatan kaum Stoa. Nama Stoa diambil dari tempat para filosof berkumpul (stoa poikile: balai bertiang berwarna-warni).

Sama dengan seluruh tradisi filsafat Yunani, etika Stoa dapat dipahami sebagai seni menjalani hidup yang menunjukkan jalan pada kebahagiaan dan ketenangan. Meskipun demikian, kebahagiaan dalam pandangan Stoa sangat berbeda dengan pandangan saingannya, yakni filsafat Epikureanisme.

Jika Epikureanisme mencari perasaan yang nikmat dan tenang, maka bagi kaum Stoa mengharapkan kebahagiaan dari keberhasilan hidup manusia. Artinya, bagi kaum Stoa kebahagiaan atau ketidakbahagiaan itu sepenuhnya berada dalam kontrol diri manusia. Stoa memiliki paham lain tentang keberhasilan hidup. Menurut Stoa, kehidupan manusia berhasil apabila ia dapat mempertahankan diri (Franz Magnis-Suseno, 2018: 57).

Adapun konsep mempertahankan diri dalam Stoikisme, ialah berkaitan dengan apa yang disebutnya sebagai “in accrordance with with nature” (hidup selaras dengan alam). Maksud “hidup selaras dengan alam” di sini tidak hanya dipahami sebagai tindakan tidak membuang sampah sembarangan, atau mencintai dan melindungi satwa langka (meskipun tentu hal-hal seperti itu juga baik dilakukan). Di dalam Stoikisme, “alam” di sini dimaknai lebih besar dari “lingkungan hidup”, serta mencakup keseluruhan alam semesta dan seluruh penghuninya.

Dalam konteks nature, Stoikisme menekankan bahwa satu-satunya hal yang dimiliki “manusia” dan membedakannya dengan dari “binatang” ialah nalar, akal sehat, rasio, dan kemampuan menggunakannya untuk hidup berkebajikan (life of virtues). Oleh karena itu, manusia yang hidup selaras dengan alam adalah manusia yang hidup adalah manusia yang hidup sesuai dengan desainnya, yaitu makhluk bernalar (Henri Manampiring, 2019: 36).

Menurut Marcus Aurelius sebagaimana yang dijelaskan oleh Fahruddin Faiz, “He who lives in harmony with himself live in harmony with the universe” (Dia yang hidup harmonis dengan dirinya sendiri akan hidup harmonis dengan alam semesta). Kalau dengan diri sendiri tidak harmonis maka ia tidak akan harmonis dengan alam (Fahruddin Faiz, 2017). Karena itu, manusia melalui pikirannya berpatisipasi dalam logos alam semesta, dalam hukum Ilahi dan rasional yang mengatur serta menentukan segala-galanya yang terjadi.

Hal yang menarik, nalar atau rasionalitas yang menjadi fokus utama bagi kaum Stoa adalah salah satu konsep yang dapat diterima oleh siapa pun tanpa memperdebatkan asal-usulnya. Mereka yang religius akan memandang nalar atau rasio sebagai sebuah karunia dari Sang Ilahi dan mungkin bersifat abstrak, dalam arti tidak berwujud fisik. Sebaliknya, bagi mereka yang skeptis dan sangat berpegangan pada sains mungkin melihat nalar murni sebagai nalar fungsi biologis manusia.

Demikianlah identitas manusia yang sebenarnya menurut kaum Stoa. Bagi kaum Stoa, perbuatan yang baik adalah menyesuaikan diri dengan hukum alam, sedangkan perbuatan yang buruk adalah tidak mau menyesuaikan diri. Di situlah orang bijak menunjukkan diri. Dengan sadar ia menerima apa yang memang tidak dapat dihindari karena, seperti ditulis Seneca, “Ducunt volentem fata, nolentem trahunt” (Apabila engkau setuju, takdir membimbingmu; apabila tidak, takdir memaksa) (Franz Magnis-Suseno, 2018: 57).

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa mau bagaimanapun juga, kita tidak bisa lepas dari fatum, takdir semesta. Di sisi lain, kita juga dapat melihat pandangan utama kaum Stoa perihal “kebebasan manusia”. Kebebasan tidak berarti bahwa manusia bebas dari takdir. Justru manusia akan mencapai kebebasan apabila ia dengan sadar dan rela menyesuaikan diri dalam hukum alam yang tak terelakkan itu. Untuk itu, manusia yang telah menjadi bijaksana menerima takdirnya sama seperti ia menerima bahwa ia tumbuh dan menjadi dewasa.

Menurut Franz Magnis-Suseno, cita-cita kaum Stoa sebetulnya mirip dengan hasrat dasar etika Jawa: Manusia yang bijaksana, yang telah mengolah rasa-nya, tidak lagi memberontak terhadap apa yang sudah semestinya terjadi, melainkan, dengan mengembangkan sikap narima, ia menempatkan diri ke dalam keselarasan kosmis yang sudah ada untuk dapat menyatu dengan dasar Ilahi dari segala yang ada” (Franz Magnis-Suseno, 2018: 58).

Keutamaan atau kebijaksanaan bagi Stoa terdiri dalam kesadaran akan kewajiban; ia menuntut agar manusia melepaskan diri dari segala bentuk ketergantungan kepada benda-benda duniawi. Untuk itu, manusia harus menaklukkan hawa nafsu dan kecondongan-kecondongan rendah. Inilah yang ingin dicapai oleh Stoikisme yakni hidup bebas dari emosi negatif (sedih, curiga, baper, dan lain-lain), dan hidup mengasah kebajikan (virtues) seperti kebijaksanaan moral, keadilan, keberanian, dan kemanusiaan (Henri Manampiring, 2019: 27).

Bagi kaum Stoa, mengalahkan hawa nafsu dan dorongan irasional merupakan bagian dari cita-cita ho sophos, si bijaksana. Ia tidak menderita karena ia telah mematikan hawa nafsu dan mencapai ketenangan jiwa. Sehingga apa pun yang sedang atau akan terjadi tidak dapat membuatnya gusar lagi. Demikianlah sikap kaum Stoa yang masuk ke dalam bahasa-bahasa dunia hari ini dan tetap dikagumi.

Kendati demikian, kita akan keliru andaikata menarik kesimpulan bahwa si bijaksana “stoikal” itu hanya mencari ketenangan dan kepasifan. Ketenangan batin justru mendorongnya untuk mengambil bagian aktif dalam kehidupan masyarakat terbuka. Jadi, istilah ataraxia atau ketakterbingungkan itu tidak berarti bersikap tidak peduli terhadap apa yang terjadi disekelilingnya. Sebaliknya, terhadap sesama manusia, si bijaksana bersikap baik hati.

Dalam  kajian etika, stoikisme adalah etika filosofis pertama di dunia yang  secara konsekuen mengakui dan  meminati  kesamaan  derajat semua orang. Untuk  itulah, stoa mengajarkan  bahwa terhadap  siapa pun kita  hendaknya  bersikap baik hati.  Copleston  sebagaimana yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno, merumuskan cita-cita persaudaraan  universal Stoa sebagai berikut:

“Cita-cita etika tercapai apabila kita mencintai semua orang sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri, atau apabila cinta diri kita merangkul apa saja yang berkaitan dengan diri kita, termasuk umat manusia seluruhnya, dengan kehangatan yang sama” (Franz Magnis-Suseno, 2018: 60).

Bagi saya sebagai pembaca, Stoa adalah etika bagi orang yang luas wawasannya (akademisi), yang membebaskan diri dari daya tarik benda luar dunia dan godaan hawa nafsu, yang dapat merelatifkan diri, melihat keseluruhan yang skeptis terhadap usaha-usaha berlebihan dan fanatisme. Meskipun demikian, saya melihat bahwa etika Stoa merupakan pilihan alternatif kedua (the second best choice). Tentu kritik ini tidak membatalkan keindahan etika Stoa itu sendiri.

Bahan bacaan:

Faiz, Fahruddin, “Yunani Kuno-Stoikisme” dalam Ngaji Filsafat 147 Edisi Pikiran-Pikiran Dasar Filsafat/Yunani Kuno di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta pada Rabu, 15 Maret 2017.

Manampiring, Henri, 2019, Filosofi Teras: Filosofi Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini, Jakarta: Kompas.

Suseno, Franz Magnis, 2018, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius.


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Asep Saepullah

Mahasiswa Pascasarjana Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta