Sedekahnya Orang Jawa [2]

slider
02 November 2018
|
2191

Pada kasus-kasus tertentu (tulisan bagian pertama), penitik-beratan sedekah pada derajat dunia tengah atau pembelaan secara berlebih pada dunia sosial ini seolah menempati tingkat yang lebih penting daripada sedekah untuk dunia atas. Bahasa kasarnya, terkadang di Jawa ada banyak orang yang baik lahir-batin kepada sesama dan tetangga tapi amat jarang terlihat “di masjid”. Berbaik sangka merupakan kata kunci di sini.

Dunia bawah

Dunia bawah adalah baitul muqaddas/maqdis. Wilayah ini diampu oleh Sunan Giri (versi sebelumnya saya pernah menyebutkan diampu oleh Sunan Kudus). Dunia bawah merupakan dunia makhluk-makhluk gaib dan para saudara sesama makhluk Allah dari bangsa binatang. Secara jasadiah, ia disimbolkan dengan kelamin manusia.

Mengurusi perkara dunia bawah ini, bersamaan dengan dunia atas dan dunia tengah, juga merupakan bagian yang sangat penting bagi orang Jawa. Orang Jawa harus akrab dengan dunia gaib, dunia mistik. Soalnya itu juga bagian dari kelengkapan kemanusiaan orang Jawa. Jin dan bangsa-bangsa binatang bukan musuh. Bila mereka berada di rumah seseorang yang akan ditempati, terlebih dahulu mereka akan diajak untuk bermusyawarah: silahkan tinggal di sini tapi jangan mengganggu, saling menghormati. Sebagaimana halnya manusia, bangsa jin dan hewan juga tidak suka kekerasan “doa”.

Bagi orang jawa, setelah bersedekah dan mengenakkan hati sesama manusia, maka sedekah juga diniatkan untuk para saudara sesama makhluk Allah dari bangsa gaib dan bangsa binatang. Untuk mereka, materi sedekahnya tidak seperti materi sedekah kepada manusia. Melainkan sedekah berbentuk tulang-belulang, sisa-sisa makanan/minuman yang tidak termakan ketika acara sedekah dilangsungkan. Terkadang juga dalam bentuk pembakaran kemenyan/dupa dan bunga-bunga yang sudah didoakan.

Bagaimanapun, makanan-minuman atau materi sedekah yang sudah didoakan akan membawa berkat tersendiri. Seperti halnya berkat bagi manusia, makhluk-makhluk Allah di dunia bawah juga berhak mendapatkan berkat serupa.

Apakah sedekah untuk mereka itu dilakukan supaya bangsa jin dan hewan-hewan itu itu melindungi manusia? Dengan kata lain, apakah sedekah untuk mereka itu dikeluarkan dengan niat meminta perlindungan kepada mereka? Tidak. Tentu saja tidak. Anggapan demikian yang ditudingkan oleh banyak kalangan jelas keliru di sini.

Bersedekah untuk bangsa dari dunia bawah diamalkan semata-mata karena mereka juga dianggap sebagai sesama makhluk Allah yang harus merasakan nikmat dan berkahnya menyantap hidangan yang terlebih dahulu telah didoakan dengan zikir, salawat, dan pepuji pada Ilahi. Mereka juga senang mengaji, mendengarkan ayat-ayat Allah, mencari kebenaran. Sebagaimana telah dikabarkan dalam surat al-Jinn.

Menjadi wajar bila sampai hari ini, kita masih berjumpa dengan para sesepuh yang sebelum membangun rumah, mereka terlebih dahulu menanam tulang kepala kerbau di bagian tengah rumah. Lalu tulang-tulang belulang lainnya ditanam di setiap sudutnya. Dengan terlebih dahulu dagingnya dimasak dan dibagikan kepada para tetangga. Jika tidak kerbau, biasanya kambing, ayam, atau bahkan ikan. Terserah apa materinya.

Untuk apa itu semua? Intinya, bangsa dunia bawah juga dianggap harus merasakan nikmatnya makan-minum yang terlebih dahulu telah dioles dengan doa-doa dan zikir-zikir. Kanjeng nabi sudah bilang bahwa makanan bangsa jin adalah tulang-belulang, bunga-bunga, dan semacamnya. Selain disantap oleh bangsa jin, nanti seluruh sedekah itu akan disantap juga oleh makhluk Allah lainnya seperti semut, cacing, dan semacamnya.

Dalam Shahih Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, berkata, bahwasanya ia pernah membawakan pada Kanjeng Nabi saw sebuah wadah berisi air wudhu dan untuk membasuh buang hajat beliau. Ketika ia membawanya, Kanjeng Nabi saw bertanya, “Siapa ini?

Saya, Abu Hurairah”, jawabnya.

Kanjeng Nabi saw pun berkata, “Carilah beberapa buah batu untuk kugunakan bersuci. Dan jangan bawakan padaku tulang dan kotoran.”

Abu Hurairah berkata, “Kemudian aku mendatanginya dengan membawa beberapa buah batu dengan ujung bajuku. Hingga aku meletakkannya di samping beliau dan aku berlalu pergi. Ketika beliau selesai buang hajat, aku pun berjalan menghampiri beliau dan bertanya, ‘ada apa dengan tulang dan kotoran?’”.

Kanjeng Nabi saw menjawab, “Tulang dan kotoran merupakan makanan jin. Keduanya termasuk makanan jin. Aku pernah didatangi rombongan utusan jin dari Nashibin dan mereka adalah sebaik-baik jin. Mereka meminta bekal kepadaku. Lalu aku berdoa kepada Allah untuk mereka agar tidaklah mereka melewati tulang dan kotoran melainkan mereka mendapatkannya sebagai makanan.” (HR. Bukhari no. 3860)

Tentang dupa dan saudaranya

Hal-hal yang juga sering dikeliru-pahami dalam upacara terkait penghormatan terhadap dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah adalah dupa, kemenyan, dan bunga-bunga. Semuanya tidak hanya disajikan untuk para saudara-saudara sesama makhluk dari bangsa gaib. Ia juga mengandung makna simbolik yang khas. Jangan lupa, bahwa bagi orang Jawa, makna segala hal itu ada tujuh lapis. Mulai dari yang paling harfiah sampai yang paling lungid (makna tingkat langit). Upacara rasulan yang melibatkan pembuatan nasi tumpeng itu tidak hanya bermakna harfiah, namun juga makna tingkat langit yang terkait dengan hubungan rohani antara manusia dan pencipta. Bahasan ini di lain waktu akan dibabarkan.

Banyak orang salah memahami dupa dan kemenyan yang dibakar dalam upacara tertentu. Perlu dipahami dulu bahwa dupa itu merupakan benda simbolis yang dibuat atau dilibatkan dalam sebuah upacara tertentu sebagai ungkapan maksud-maksud mulia yang berdasar. Artinya, dupa dibakar bukan sebagai benda asal-asal bakar. Ia punya makna-makna yang bila dikaji akan tampak sangat rasional. Harap diperhatikan di sini, bahwa semua benda-benda tradisi, selalu merupakan simbol. Benda-benda itu, misalnya dupa, adalah sesuatu yang dipakai untuk mengatakan sesuatu yang lain. Dalam penelusuran saya, setidaknya ada beberapa makna dupa, kemenyan, dan bunga-bunga yang dibakar dalam berbagai upacara.

Pertama, dupa sebagai pernyataan bahwa upacara tersebut bersumber dari hati yang wangi. Kewangian hati itu diungkapkan dengan dupa, kemenyan, dan bunga-bunga yang memang juga wangi. Maksud "hati yang wangi" adalah hati yang tulus, ikhlas, bersih, tidak berharap apa-apa selain ridha Allah.

Kedua, sebagai pernyataan bahwa para hadirin yang datang pada upacara tersebut merupakan orang-orang baik, yang hatinya wangi, persis wanginya dupa, kemenyan, dan bunga-bunga.

Ketiga, upacara tersebut merupakan rangkaian doa. Doa pasti wangi. Kecuali doa yang dipanjatkan untuk keburukan. Kewangian doa itu diungkapkan atau disimbolkan dengan dupa, kemenyan, dan bunga-bunga. Jadi, kalau di sana ada dupa dan kemenyan dibakar serta bunga-bunga disajikan, itu artinya ada doa yang akan atau sedang dipanjatkan itu semata-mata untuk memohon kebaikan.

Keempat, dupa sebagai penegasan permintaan agar doa dikabulkan. Yang disasar pada bagian ini adalah kebul-nya si dupa atau asapnya itu. Kebul dimaksudkan di sini merupakan simbol dari harapan agar doa dikabulkan. Soalnya kebul atau asap itu naik ke langit. Kalau sudah naik ke langit, ke arah mana lagi ia ditujukan kalau bukan kepada Tuhan? Begitulah doa. Ia terus melangit bersama rapalan doa yang dipermantra. Untuk maksud ini, di zaman ini terkadang dupa sebagai harapan keterkabulan doa diganti dalam bentuk rokok. Intinya tetap sama, yaitu ada asap yang dikebulkan di sana. Bunga juga tetap dipakai.

Tentu saja ada makna-makna mulia lainnya di balik semua ini. Termasuk upacara sedekah laut dan sedekah bumi dan semisalnya. Semua makna upacara itu harus dibaca dalam tujuh tingkat makna atau saptanama. Bahwa semua maksud di balik upacara  itu ada hal-ihwal yang tidak sesepele tuduhan kemusyrikan. Jadi, jangan sembarangan mikir atau nuduh yang bukan-bukan dulu. Lebih baik dikaji, dipelajari, dan ditabayyunkan.

Sunnah nabi

Upacara keagamaan-kebudayaan yang dilakukan oleh orang Jawa hari ini boleh saja dituduh sebagai warisan peradaban pra-Islam. Ada pula yang menudingnya sebagai warisan kebudayaan jahiliyah. Meski tuduhan itu bermasalah, akan tetapi harus diingat, bahwa pada masa wali songo, semua upacara warisan zaman sebelumnya itu telah mengalami islamisasi.

Seperti halnya tradisi memotong kambing orang Arab pra Islam untuk menyambut kelahiran bayi. Bahkan mereka tidak hanya memotong hewan. Nantinya darah hewan tesebut dialirkan ke kepala bayi yang baru dilahirkan. Lalu dagingnya dipersembahkan untuk berhala-berhala. Tradisi lain di Arab pra Islam adalah kebiasaan kumpul-kumpul pada hari Jumat.

Ketika Islam datang, Kanjeng Nabi mengislamisasi kebudayaan tersebut. Upacaranya tetap dilangsungkan. Hewan kurban untuk kelahiran anak tetap dipotong. Akan tetapi, darahnya tidak dialirkan ke kepala bayi, melainkan dialirkan ke tanah. Lalu rambut bayi dicukur, dan daging hewannya dibagikan untuk dimakan bersama. Tradisi kumpul-kumpul hari Jumat juga tetap dijalankan, namun, diganti dengan ibadah salat Jumat di masjid.

Bila daftar perangkulan Islam terhadap kebudayaan lokal ini diperpanjang, satu-dua halaman buku tidak cukup untuk membabar dan menerangkannya. Dari sini, tampak bahwa merangkul kebudayaan lokal merupakan sunnah nabi. Tentu dengan penyesuaian-penyesuaian kreatif yang tiada henti berdasarkan kosmologi agama dan kosmologi masyarakat setempat.

Untuk Kanjeng Nabi saw dan ahli baitnya serta para wali di tanah nusantara, Al-Fatihah. Wallahu a’lam.


Category : kebudayaan

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ertaja Ahmad Jawiyanta