Sealur Syariat Seiring Hakikat

slider
13 September 2021
|
2280

Kita beragama sudah bertahun-tahun lamanya, tetapi pernahkah menafakuri apakah agama itu? Apakah Islam itu? Bagaimanakah meneladani kepribadian pembawa agama Islam? 

Seperti apa suri tauladan yang dilakukan oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw di masa itu? Dan bagaimana meneladaninya dalam konteks hari ini, yang tentu saja disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman?

Secara bahasa makna, agama adalah teratur, sedangkan Islam artinya selamat. Praktisnya, jika kita pandai mengatur diri, maka kita akan selamat.

Tentu saja untuk bisa selamat, orang butuh guru pembimbing. Siapa lagi guru pembimbing sejati kalau bukan Rasulullah Muhammad Saw yang di dalam dadanya bertajalli kalimah Allah SWT―Nurun ala Nur.

Jika kita mengaku umatnya, maka wajib hukumnya untuk mengenal sosok beliau. Sebab jika tidak mengenal beliau mana mungkin bisa mencintai. Jika tidak cinta, apa bisa meneladani sunah-sunah beliau.

Jika tak sanggup meneladani sunah beliau rasanya juga mustahil hidup kita bisa terselamatkan. Ibarat sebuah kunci, beliaulah kunci menuju tangga Ilahi; Al-Qur’an berjalan, dan sang juru syafaat.

Banyak yang mengambil dan mempelajari kehadiran Kanjeng Nabi Muhammad dari sisi syariat. Hal ini pada kenyataannya, akan bertemu pada jebakan di wilayah hitam dan putih, benar dan salah, halal dan haram sesuai syariat. Sedikit-sedikit haram, kafir, takhayul, bid’ah, khurufat. Saya hanya ingin mengatakan gaya beragama seperti ini rasanya kurang nyaman saja.

Beragama, idealnya, tidak hanya bersyariat, melainkan juga berhakikat dan berma’rifat. Kita tahu bahwa awal beragama adalah mengenal Allah SWT.

Jika tak mengenal Allah SWT yang nyata, sebaiknya mengenal kekasih-Nya. Berawal dari kenal akan muncul rasa cinta. Setelah mencintai selanjutnya menyayangi dengan merawat apa yang diajarkan-Nya secara lahir dan batin. 

Beragama memang harus bersyariat. Atas dasar syariat, tarekat bisa ditegakkan. Dengan begitu, ketika menyebut nama Allah tidak sekadar di mulut saja, melainkan merasuk dalam hati sanubari.

Kata ‘Allah’, orang beriman adalah ketika menyebut asma-Nya yang bergetar bukanlah otaknya, tetapi hatinya. Belajar syariat melulu adalah belajar memperkuat otak.

Mengail Pesan dari Cerita Nabi

Sejarah Nabi Musa dan Nabi Khidir merupakan simbol pelajaran syariat dan tasawuf. Nabi Musa dikenal pada zamannya sebagai ahli ilmu syariat, tetapi masih diperintah oleh Allah SWT untuk berguru kepada Nabi Khidir yang mengerti tentang ilmu hakikat.

Lazim kita ketahui cerita keduanya bersua dan berpetualang. Di situ, Nabi Musa melihat ada banyak kejadian yang bertentangan dengan pengetahuan yang selama ini ia pelajari. Sekian kejadian mulai dari melubangi perahu di tengah laut, membunuh seorang anak kecil, dan membantu memperbaiki rumah penduduk tanpa ada imbalan ia dapati ketika bersama Nabi Khidir.

Kejadian-kejadian itu membuat Nabi Musa gerah dan bertanya dengan sedikit protes. Nabi Khidir pun memberi terang setiap kejadian lantas pamit berpisah. Berangkat dari cerita itu, maka menjadi penting bagi setiap manusia untuk mendalami agama hingga ke lapisan yang paling intim yakni, tasawuf yang akan mengantarkan pada ilmu hakikat. 

Kalau ingin merasakan getaran energi saat berucap atau mendengar kalimah Allah SWT, berguru kepada seorang sufi yang segaris dengan Rasululllah mesti ditunaikan.

Sebab hanya para ahlinya yang sanggup menyambungkan getaran nurun ala nur ke dalam dada hati sanubari seorang murid. Di situ, seorang guru sufi juga dapat menjadi perantara untuk menuju kepada-Nya.

Jika jiwa dan ruh seorang murid berhubung dalam frekuensi nurun ala nur, maka hidupnya menjadi tertuntun dan terbimbing.

Jika sudah demikian, laku hidupnya akan memancarkan kedamaian dan keselamatan. Dan jika orang seperti itu jumlahnya banyak, maka kedamaian dan keselamatan akan bertebaran di mana-mana. 

Sejarah ketauhidan Nabi Muhammad adalah sejarah akhlak kepada Allah SWT. Proses Nabi Muhammad berakhlak kepada Allah SWT ditempuh dengan cara beruzlah (pembersihan) di Gua Hira, dibimbing Malaikat Jibril, lalu diisra-mi’rajkan menghadap kepada Allah SWT.

Setelah itu, Nabi turun kembali ke bumi membawa oleh-oleh berupa perintah salat lima waktu dan diikuti syariat lainnya. Inilah yang saya maksud bahwa Nabi Muhammad bertuhan melalui uzlah yang prosesnya melalui pembongkaran-pengosongan, pengisian asma-asma Allah SWT.

Namun, poin penting dari kisah isra mi’raj ini adalah bahwa Nabi Muhammad bertuhan melalui jalan tasawuf menuju syariat. Sedangkan umatnya bermula menjalankan syariat yang idealnya berlanjut menuju tataran yang lebih intim, yakni tasawuf.

Salat adalah mi’raj-nya kaum mukmin, yakni perjumpaan hamba dengan Allah SWT. Kalau perjumpaan dengan-Nya telah diraih, maka pelaksanaan salat tak hanya dipahami secara formalitas.

Artinya ketika bertebaran di muka bumi, Tuhan tidak dilupakan ketika di ruang politik, sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, juga di lingkup paling kecil, seperti di keluarga.

Sebab, hakikat Tuhan menciptakan manusia di bumi untuk menjadi hamba di jagat semesta dengan menyertakan asma-Nya dalam setiap kesempatan agar, perputaran roda kehidupan berangkai serta berkelanjutan dengan energi kasih sayang Allah SWT.

Pendek kata, keselamatan di dunia dan akhirat berpulang pada pengendalian diri kita masing-masing.

Kesungguhan men-tajalli-kan diri pada semua keteraturan yang dibawa oleh kekasih-Nya merupakan langkah awal kepada keridhaan-Nya. Ilaahi anta maqsudi waridhoka madlubi. Aamin. Wallahua'lam


Category : keislaman

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Arif Rahman Hakim

Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hobi membaca buku keislaman bercorak tasawuf