Raja Ampat dan Amanah Tauhid dalam Pandangan Seyyed Hossein Nasr

slider
21 Juni 2025
|
608

Derap kemajuan sains dan teknologi menghadapkan kita pada suatu ironi bahwa kemajuan ini kerap mengikis hubungan manusia dengan alam semesta, serta membuat kita lupa bahwa alam bukan sekadar sumber daya, melainkan ciptaan Tuhan yang sakral. Dalam prinsip tauhid, alam bukan entitas mati yang bisa dijajah, melainkan ayat-ayat Tuhan yang mengandung nilai moral, spiritual, dan kosmik. Sebagai khalifah fil ardh, manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga alam sebagai kesatuan ciptaan Ilahi.

Kerusakan ekosistem Raja Ampat menjadi contoh paling nyata dari gagalnya paradigma pragmatis modern tersebut. Meskipun pemerintah sempat menyebut dugaan kerusakan akibat tambang nikel sebagai hoaks, fakta di lapangan dan narasi publik justru menunjukkan realitas sebaliknya. Reuters melaporkan bahwa izin tambang empat perusahaan telah dicabut setelah protes besar masyarakat dan temuan Greenpeace soal hancurnya terumbu karang dan deforestasi seluas 500 hektar.[1] Ini bukan hanya persoalan politik izin tambang, melainkan masalah etik dan spiritual, sebab kerusakan tersebut tidak hanya melukai alam, tetapi juga melemahkan posisi manusia sebagai penjaga alam yang sejatinya.

Seyyed Hossein Nasr merupakan ilmuwan muslim kontemporer asal Iran, yang kerap muncul ketika diskusi mengenai keseimbangan alam digaungkan. Melalui tulisan ini, penulis menyoroti dua hal. Pertama, bagaimana kerangka tauhid menurut Nasr dalam memandu cara kita memandang dan merawat alam? Kedua, bagaimana realitas seperti di Raja Ampat menunjukkan bahwa dominasi modern atas alam tanpa kesadaran ruhani justru menjauhkan manusia dari tugas moralnya sebagai khalifah?

Dengan sedikit ulasan tentang situasi Raja Ampat, harapannya tulisan ini akan menambah pemahaman sejak awal bahwa menjaga alam bukan sekadar pilihan, tetapi kewajiban spiritual dan ilmiah yang tidak bisa ditawar.

Pola Pemikiran

Kian sains berkembang, kian ia terkelupas dari akar spiritual dan nilai-nilai moralnya. Dahulu, ilmu dianggap sebagai sarana untuk memahami kebenaran dan hakikat semesta, tetapi kini lebih banyak digunakan untuk kepentingan pragmatis, eksploitasi sumber daya, serta dominasi teknologi. Hal ini yang dinamai sekularisasi ilmu, yang telah mengubah cara seseorang memandang dunia. Ini sejalan dengan proyek modernitas yang mengusir nilai-nilai transenden dari ilmu pengetahuan.

Akibatnya, realitas dipandang netral dan bebas nilai. Meski modernitas membawa kemajuan teknologi, namun ketika nilai-nilai spiritual dipinggirkan, kemajuan itu justru menciptakan lubang hitam antara manusia dengan alam.

Sejak Zaman Pencerahan, ilmu dipisahkan dari nilai-nilai spiritual. Rasionalisme dan empirisme menjadi satu-satunya tolok ukur kebenaran. Francis Bacon menyerukan agar ilmu digunakan untuk menaklukkan alam. Rene Descartes dengan diktum Cogito ergo sum” (Aku berpikir, maka aku ada) menjadikan rasionalitas sebagai satu-satunya landasan kebenaran. Kampanye revolusi ini telah memunculkan skeptisisme dan ateisme. Sementara Auguste Comte menyingkirkan teologi dan metafisika dari ranah ilmu melalui positivismenya.[2]

Paradigma Zaman Pencerahan itulah yang menjadi dasar lahirnya sains modern yang memisahkan manusia dari alam; manusia bukan lagi sebagai penjaga, tetapi sebagai penguasa. Hingga kemudian, narasi yang oleh para pengkaji dalami mengalir menjadi suatu pola pikir yang cenderung pada eksploitasi alam dan egoisme kekuasaan yang melahirkan kerusakan atas eksploitasi alam.

Kondisi Raja Ampat

Kerusakan ekologi di Raja Ampat merupakan potret nyata dari kegagalan manusia modern dalam memandang alam sebagai entitas yang sakral. Kawasan yang dijuluki “surga terakhir di bumi” ini telah mengalami degradasi lingkungan akibat aktivitas tambang nikel berskala besar. Laporan investigatif dari Greenpeace dan berbagai media seperti Tempo dan CNBC Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari 500 hektare hutan tropis telah digunduli, sedimentasi dari area tambang mencemari laut, dan terumbu karang yang menjadi habitat utama ribuan spesies laut terancam musnah. Kolam-kolam penampungan limbah tambang yang rusak turut mempercepat kerusakan ekosistem pesisir dan merusak estetika alam yang selama ini menjadi daya tarik wisata berkelanjutan.[3]

Apa yang lebih mengkhawatirkan bukan hanya kerusakan ekologi, melainkan kerusakan dalam cara manusia memperlakukan alam. Pemerintah berdalih bahwa tambang tidak berada di zona geopark UNESCO, seolah-olah batas administratif bisa menjadi pembenaran eksploitasi. Narasi seperti ini mencerminkan cara berpikir yang menempatkan alam semata-mata sebagai komoditas, bukan sebagai ciptaan Tuhan yang harus dijaga keseimbangannya.

Di tambah narasi negara yang mereduksi kerusakan hanya pada wilayah “non-geopark” menandakan cara pandang kuantitatif semata. Seolah-olah kerusakan hanya berarti jika mengganggu sektor ekonomi atau status internasional. Padahal dalam logika tauhid, merusak alam dalam bentuk apa pun adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah ilahi.

Penjagaan Alam Melalui Konsep Tauhid Seyyed Hossein Nasr

Dalam perspektif Seyyed Hossein Nasr, krisis ekologi seperti yang terjadi di Raja Ampat bukan sekadar soal kebijakan ekonomi atau kelalaian regulasi, melainkan buah dari sekularisasi ilmu dan cara pandang modern yang menanggalkan nilai spiritual terhadap alam. Ketika alam tidak lagi dipandang sebagai bagian dari tatanan Ilahi, melainkan hanya sebagai objek eksploitasi ekonomi, manusia kehilangan rasa tanggung jawab moral sebagai khalifah fil ardh.

Tauhid, sebagai prinsip sentral dalam Islam, menempatkan seluruh ciptaan termasuk alam dalam satu kesatuan yang saling terhubung di bawah Ketuhanan Yang Maha Esa. Manusia bukan penguasa absolut atas alam, melainkan penjaga yang wajib merawat dan menyeimbangkannya secara adil dan bijaksana, bukan “raja di atas bumi”.

Menjadi selaras dengan alam, sebagaimana prinsip tauhid ajarkan, berarti mengikuti irama dan norma-norma alaminya, bukan menaklukkannya demi ambisi kemajuan material. Ketika manusia memperlakukan alam seperti Raja Ampat sekadar sebagai objek, maka kesakralan alamnya tercabut, dan tanggung jawab spiritual pun ikut lenyap.

Dulu, dalam banyak kebudayaan tradisional, alam diperlakukan layaknya seorang istri yang harus dijaga dan dipertanggungjawabkan; berbalik dari cara pandang orang modern ini yang cenderung melihat alam sebagai konsumsi semata, bahkan dalam istilah Nasr, layaknya seorang pelacur.[4]

In tradisioanl societies, nature was seen as one’s wife, but the modern West it into a prostitute” (Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man).

Jika manusia terus merusak alam, maka alam akan merespons dengan cara membangun kembali keseimbangannya, bisa berupa bencana alam atau perubahan lingkungan yang merugikan manusia. Akibatnya kemudian, kondisi ini tidak hanya menghancurkan ekosistem, tetapi juga mengurangi kemampuan manusia untuk hidup secara harmonis dengan lingkungannya. Maka, saat kita meninggalkan nilai-nilai spiritual dalam memperlakukan alam, yang kita tuai adalah kerusakan ekologis dan keterasingan dari tatanan kosmos yang selama ini menopang kehidupan.

Dalam konteks ini, langkah penting bukan hanya memperbaiki regulasi, melainkan merombak cara pandang kita terhadap alam. Nasr menekankan bahwa umat Islam harus membangun kembali pandangan dunianya (Islamic worldview) yang berakar pada spiritualitas, bukan hanya rasionalitas. Sebab jika krisis ini tidak ditanggapi dengan kesadaran teologis, maka solusi teknis pun hanya akan menjadi tambal sulam sementara.

Referensi:

A. Anjasyah. Skripsi. Tauhid dan Kritik Sekularisme: Studi Pemikiran Seyyed Hossein Nasr. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dan Sekularimse. Cetakan ke-3. RZS-CASIS. HAKIM, 2020.

Nasr, Sayyed Hossein. Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. London: George Allen & Unwin, 1968.

Indonesia revokes nickel ore mining permits in Raja Ampat after protest. (10 Juni 2025). https://www.reuters.com/sustainability/indonesia-revokes-nickel-ore-mining-permits-raja-ampat-after-protest-2025-06-10/. Diakses pada Juni 21, 2025.

https://www.tempo.co/

https://www.cnbcindonesia.com/

https://greennetwork.id/.

 

[1] Indonesia revokes nickel ore mining permits in Raja Ampat after protest. (10 Juni 2025). Diakses pada Juni 21, 2025 dari artikel: https://www.reuters.com/sustainability/indonesia-revokes-nickel-ore-mining-permits-raja-ampat-after-protest-2025-06-10/.

[2] A. Anjasyah. Skripsi. Tauhid dan Kritik Sekularisme: Studi Pemikiran Seyyed Hossein Nasr. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/71165. hlm. 134-135.

[4] Sayyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1968). Hal. 118.


Category : keilmuan

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

A. Anjasyah

Penghuni Kamar Timur Asrama MJS