Puisi-puisi Mohammad Cholis
Sumahya
Di ruang hatimu
Kutemukan hujan lihai mencipta kata-kata untuk kita
Untuk puisi, untuk matahari yang gagal meminang pagi
Dan kita adalah bocah-bocah kecil yang senang menanam gigil
Dan waktu akan memetik kita sebagai kemuning daun pohon mati
(Yogyakarta, 2020)
Di Sebuah Cafe
Di sebuah cafe
Sebuah buku rindu sedang mengaji rindu dalam rindu
Suaranya terdengar bising menjerit asing
Satu persatu abjad-abjad liar gugur sebelum tugur
Ingkari janji suci seorang penyair:
Anak kata harus hidup sebagai pengutuk mata
Selebihnya, mereka kutemukan melompat-lompat
Hendak melarikan diri dari sekatan sunyi
Karena berdiam adalah cara lain dari bunuh diri
Wajah kian pucat memikul gelisah
Ditebar cahaya karena lelah
(Yogyakarta, 2020)
Celurit yang Tergantung
Entah dari mana mereka datang
Barangkali setelah jembatan itu terbentang
Mereka diam-diam merangkak dengan girang
Ke sebuah sendang mata nenekku
yang tak kunjung usai meneteki ladang
Pertama engkau datang dengan paruh kemeja bersulam uang
Di baliknya tersimpan taring pedang amat tajam
Tertuju pada pelepah jantung
Tempat biasa kita bernaung
Sungguh mahir engkau bicara
Sampai kita lupa pada segenggam nasib yang tergantung asri
Di setiap lambaian kemuning padi
Atau pada nasib sapi-sapi yang merunduk nyaris mati
celurit sudah tak ada taring lagi
Ah, kita mau makan apa?
(Yogyakarta, 2020)
Aku Masih Ragu
Aku masih ragu
Apa engkau masih ada dalam kata rindu
Mataku menatap jauh
Pikiran beranjak pelan-pelan
Berjalan di tepian jalan paling tenang
Tempat biasa orang-orang berdamai dengan waktu
Dan di situ, aku menemukanmu
Sedang duduk dengan wajah tertunduk
Dan bibirmu yang basah mengucap:
Aku sedang merindukanmu
(Cafe Basa-Basi, 28 Agustus, 2020)
Malam Ini
Malam ini
Kenangan buram seribu abad
Kembali tandang membawa jejak
Reruntuhan kasih dan cinta kita
Luka sebagai tanda
Ujung jalan menggapai duka
Potongan-potongan cerita
Tersusun rapi
Lalu, lahirlah bunyi
Karena sunyi
Adalah ruang kerja puisi
Karena kata
Setia menjahit doa kita
(Yogyakarta, 2020)
Pengamen Perempuan
Wajahnya
Bulan telah sempurna menjadi purnama
Kunang-kunang memandang telanjang
Cahayanya berguguran di dasar gelap
dan aku telah menyelesaikan petualang rindu
pada tubuhnya yang redup
Yogyakarta, 2020
Kepada Nelayan
Bila datang nyanyian angin selatan
Gong ditabuh permulaan pesta para nelayan
Musim telentang dalam nyawa jala
Bising cerita para petualang bianglala
Tatkala gemuruh ombak membusur mata keruh
Kami tancapkan tekad perahu sekeras batu
Merajut sejarah melempar sauh seasin tubuh
Demi sari kembang yang terpikul bahu
Silau cakrawala menasihati waktu renta
Saat kemarau melambai mesra bercengkrama
(Yogyakarta, 2020)
Category : cerpen
SHARE THIS POST