Puisi-puisi Aris Setiyanto #2
Wirid
aku titipkan zikir
pada sebagian ruas jari
tahlil, pada tiap geleng kepala ini
air terjun mengalir
dari hatiku
membasuh, pikir yang keruh
(Temanggung, 2020)
Konon
daun surga
yang bertulis sebuah nama
: namamu, kerontang
telah menguning
melambai tangan
pada sang ranting
di ketika itu
nyaring bernyanyi
butakan rungu
engkau jatuh di peluk aku
lelap dalam tidur
namun, tak pernah lagi terjaga
(Temanggung, 2020)
Kenduri
apa yang kau berikan
hari ini,
apa yang akan
Ia lipatgandakan
esok, mentari terik
dan namamu
rapi terbingkai
terus bersinar
hingga surga
mengangkangi hidup
(Temanggung, 2020)
Takwa
aku yang terpelihara,
—yang berjalan di jalan-Mu
aku yang terpelihara,
—yang memutar jalan
rikala mendung langit larangan-Mu
terbit senjakala
(Temanggung, 2020)
Subuh
umpama segelas surga
sejukkan dada
kularungkan air wudhu ini
untuk sebagian badan
sebelum bersua Engkau, Ilahi
di selapis tipis sekat penanda
begitu dekat—begitu erat
aku dalam dekap-Mu
tanpa seizin netra, air melintasi pipi
(Temanggung, 2020)
Musim Haji
pagi itu musim haji
namun, bapakmu telah pergi
berhaji
maka kutangkis tidur atas mimpimu
turun ke jalanan
yang lengang
seremang malam tak berbulan
bergandeng tangan,
sepasang kekasih?
kulihat seorang ibu
di bibir aspal
melambai, menarik hati
tetapi telah jauh pergi
kau-aku dari pandangnya
dan kecewa menepuk
relung sadarnya
berpisah,
sekat-sekat itu memagari
sekaligus, jurang turun
bahkan rikala bersua
tak kaukenal aku?
tak kaukenal aku!
(Temanggung, 2020)
Selamat Ulang Tahun
pendar lilin memangkas usia
kotak-kotak berselimut doa
ini dari peluh yang tak mengenal istirah
ini dari kata yang tak pernah aku selipkan,
di setiap sujud
(Temanggung, 2020)
Selamat yang Tinggal
kutemukan fragmen kenang
pada tiap larik tangis
menyelami lautan sesal
bibir pantai kehidupan itu
aku rindu
bilamana kutahu kini kau ditelungkup
tanah yang basah
selamat yang tinggal dalam hati
hari-hari bagai mendung
menjatuhkan butir kesedihan
(Temanggung, 2020)
Category : cerpen
SHARE THIS POST