Puasa, Keinginan, dan Kehadiran-Nya

slider
25 April 2020
|
2173

Di tengah kehebohan wabah virus corona; di tengah gempuran iklan dan ‘show’ tentang puasa yang menyerbu media massa dan media sosial; di sela hamburan permintaan maaf lahir-batin memasuki bulan puasa; aku justru teringat bagaimana dulu ‘puasa’ menjadi mode tirakat favorit yang sering digunakan oleh mereka yang sedang memiliki kepentingan atau keinginan besar.

Saat aku masih sekolah dulu, bapak-ibu dan juga guru-guruku sering menasihatkan untuk berpuasa saat ada keinginan dan ada target besar yang dituju. Masih teringat suatu ketika aku harus mengikuti lomba tingkat kecamatan, tiga hari sebelumnya salah seorang guruku menyarankan untuk puasa.

Masih teringat pula salah seorang temanku yang puasa tujuh hari sebelum upacara pernikahannya dilangsungkan. Masih pula kuingat tetanggaku yang puasa 40 hari saat menghadapi urusan besar yang berhubungan dengan polisi dan pengadilan.

Di desaku dulu, santri yang ingin menguasai ilmu tertentu, pelajar yang ingin lulus ujian, pemuda yang ‘cinta-mati’ kepada seorang gadis untuk dijadikan istri, petani yang ingin panennya berhasil, pedagang yang ingin membuka toko baru, tentara yang akan bertugas ke daerah konflik, orang tua yang anaknya akan merantau untuk sekolah atau bekerja; saat mereka ini mengadu dan meminta tolong ke orang-orang tua, kiai atau para sesepuh desa, seringkali saran untuk mereka adalah, “Coba dipasani disik” (Coba dipuasai dulu).

Logika yang digunakan dalam hal ini sebenarnya tidak rumit: puasa adalah media yang mendekatkan seseorang kepada Allah. Kondisi berpuasa adalah salah satu kondisi di mana Allah melipatkan sayang dan cinta-Nya kepada manusia. Memperbanyak puasa berarti membangun situasi kita sebagai insan yang selalu dekat dan senantiasa disayang oleh Allah.

Kondisi berpuasa adalah waktu yang paling tepat bagi kita untuk mendekat, mengadu, dan memohon. Maka ketika kiai dan sesepuh tadi menyarankan seseorang berpuasa, terasa olehku bahwa maksud dari saran tersebut berbunyi, “Lebih mendekatlah kepada-Nya dan sampaikan keinginanmu”.

Sebenarnya, apabila direnungi kembali, kearifan untuk memperbanyak puasa ini memiliki rahasia rasional-spiritual yang dalam.

Secara rasional, puasa akan melatih seseorang ‘menahan diri’. Kemampuan menahan diri ini setara dengan kebutuhan manusia untuk mengenali kelemahannya dan pentingnya manusia untuk menyadari batas-batas kekuatan dan keinginannya. Tiga hal ini: menahan diri, tahu kelemahan diri, dan sadar batas kekuatan, bukankah merupakan salah satu dasar kesuksesan dalam mewujudkan keinginan?

Secara spiritual, puasa yang sungguh-gungguh juga akan membawa jiwa seseorang akrab dan senantiasa tersambung dengan ranah ketuhanan. Koneksi dengan ranah ketuhanan yang kontinu akan membawa manfaat eksistensial yang sangat penting.

Pertama, penyucian dari dari kotoran duniawi. Kedua, ‘pengisian’ dan ‘pewarnaan’ jiwa dengan nuansa ketuhanan. Ketiga, terfokusnya orientasi jiwa kepada Yang Ilahiah, sehingga lambat laun cahaya-Nya pasti akan menerangi hidupnya.

Jika rahasia rasional-spiritual ini tercapai, tentu saja segala keinginan yang ‘tidak semestinya’ pasti akan tereliminasi dengan sendirinya, serta akan jernih terlihat mana yang baik, mana yang benar, dan mana yang indah. Tampaknya, disinilah rahasia mengapa orang tua kita dulu justru menyarankan puasa saat kita memiliki keinginan yang kuat akan sesuatu.

Ada kisah yang indah berhubungan dengan puasa, keinginan dan kehadiran Tuhan ini. Kisah ini tentang seorang sufi dan penyair dari Syiraz Persia, yang dikenal dengan nama Hafiz Asy-Syirazi.

Dikisahkan saat Hafiz berusia 21 tahun, ia bekerja sebagai pembantu pembuat roti. Pada suatu hari, Hafiz disuruh mengantar roti ke sebuah rumah besar. Di sana ia melihat seorang gadis sangat cantik yang tengah berdiri di teras rumah.

Hafiz pun jatuh cinta kepada sang gadis itu pada pandangan pertama, meskipun tentu saja sang gadis tidak mempedulikannya. Gadis itu putri bangsawan kaya raya yang sangat cantik, sementara ia sendiri hanya seorang pembantu pembuat roti yang miskin, pendek, dan jelek.

Beberapa bulan berlalu, Hafiz banyak menggubah beberapa puisi dan kidung-kidung cinta untuk merayakan kecantikan sang gadis pujaan. Puisi-puisi itu begitu menyentuh, sehingga ia menjadi terkenal di seantero Syiraz. Ia pun dikenal sebagai pujangga.

Begitu berhasrat ia memenangkan hati sang gadis, sampai suatu ketika, karena saran seseorang, ia berpuasa dan berkhalwat di makam seorang Waliyullah selama 40 hari 40 malam. Setiap siang ia bekerja di toko roti sambil berpuasa, dan ketika malam tiba ia berkhalwat dan berdzikir sepanjang malam demi cintanya kepada sang gadis.

Pada fajar di hari ke-40, tiba-tiba muncullah sesosok malaikat di hadapan Hafiz, ia meminta Hafiz untuk mengucapakan apa yang menjadi keinginannya. Hafiz demikian terpesona, ia belum pernah melihat sesosok wujud yang demikian indah seperti sang malaikat itu. Dalam keterpukauannya Hafiz berpikir, “Jika utusan-Nya saja begitu indah, pastilah Allah jauh lebih indah!”.

Sambil menatap cahaya malaikat yang berkilauan, lupalah Hafiz menyangkut segala hal tentang sang gadis itu, sirnalah segala keinginanya. Dan, dari lisannya hanya keluar kata-kata, “Aku menginginkan Allah!”

Sang malaikat kemudian mengarahkan Hafiz kepada seorang guru ruhani yang juga hidup di Syiraz, yaitu seorang sufi bernama Muhammad Aththar.

Allah sangat mengerti ‘kemanjaan’, ‘ke-ndableg-an’, ‘kengeyelan’, ‘keegoisan’ kita yang seringkali lupa dengan hakikat dan kesejatian diri, juga peta hidup kita yang lillahi wa ilaihi raji’un. Karena itu, ada beragam cara yang diberikan-Nya untuk mengingatkan dan menyadarkan kita.

Ada cara yang halus seperti menurunkan kitab suci dan menghadirkan para pemberi peringatan seperti para Nabi/Rasul.

Ada cara yang agak keras seperti sakit, kematian, wabah, bencana. Ada juga cara yang lain, seperti yang dialami sufi Hafiz di atas, yaitu mengimingi kita dengan pengabulan keinginan-keinginan duniawi kita, sehingga secara tidak sadar kita mendatangi-Nya demi keinginan itu.

Hari ini kita berada di bulan puasa, dan kebetulan sedang menghadapi peringatan dan ujian luar biasa dari Allah melalui makhluk-Nya yang berjenis virus bernama Covid-19. Segala daya-upaya, segenap akal-budi pastinya kita curahkan untuk menyelesaikan ujian ini. Bahkan mungkin jerih payah puasa dan ibadah kita di bulan ini akan kita orientasikan sebagai doa demi terselesaikannya bencana ini.

Namun, semoga kita tidak hilang mawas diri, siapa tahu Tuhan sengaja melempar batu kecil ke arah kita, sekadar agar kita menoleh ke arah-Nya, agar kita sadar bahwa selama ini kita sudah terlalu lama tidak peduli kehadiran-Nya.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Fahruddin Faiz

Pengampu Ngaji Filsafat Masjid Jendral Sudirman