Philosophers Stone, Kimia Kebahagiaan, dan Daya Imajinasi Manusia

slider
07 April 2020
|
5677

Mengenai batu filsuf pertama kali muncul pada Emerald Tablet, sebuah lempengan zamrud hijau macam batu giok yang berisikan teks berusia ribuan tahun—dan dianggap sebagai peninggalan Nabi Idris (Hermes). Emerald Tablet telah dianggap sebagai dasar dan referensi filosofi dan praktik ilmu alkemis.

Dari zaman keemasan Islam dari ilmuwan Ar-Razi sampai ke zaman abad pertengahan, ilmuwan sekaligus teolog Albertus Magnus dan Thomas Aquinas, hingga ilmuwan modern Issac Newton, tak menemukan pembuktian bahwa batu bisa mengubah logam menjadi emas, menyembuhkan segala macam penyakit, membuat awet muda, dan umur panjang. Meskipun telah diteliti selama bertahun-tahun, menerjemahkan lempengan Emerald Tablet dan naskah kuno lainnya, sampai memurnikah logam dan menipulasi zat, tetap saja gagal. Paulo Coelho pernah mengatakan, “Tidak mudah mencari batu filsuf, sudah banyak ilmuwan meneliti ratusan tahun untuk memurnikan logam agar menjadi emas, tapi pada akhirnya gagal dan ia akhirnya memurnikan dirinya sendiri”.

Kita tarik ke belakang kepada seorang sufi Abu Hamid Imam Al-Ghazali yang ketika para ilmuwan dan filosof sibuk mencari-cari batu filsuf di alam materi, Al-Ghazali menemukannya ada dalam dirinya sendiri, kemudian ia tuliskan kedalam kitab Kimiya-yi Sa’adat (Kimia Kebahagiaan).

Kimiya-yi Sa’adat mengajarkan untuk mengubah jiwa yang kotor menjadi mulia, suci dan bersih, menangkal segala macam penyakit hati, memanipulasi zat-zat yang ada dalam tubuh manusia untuk bisa menyembuhkan penyakit-penyakit fisik, dan membuat awet muda karena hidup selalu dipenuhi dengan cinta dan rasa bahagia. Tapi semuanya kembali kepada kehendak Allah, lahaula walaquwwata illabillahil aliyil adzim. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi kecuali atas kehendak-Nya.

Jadi intinya segala sesuatu telah lengkap dalam diri, diri adalah harta karun yang tersembunyi yang lama tak terungkap. Jalaluddin Rumi berkata, “Jiwa manusia bagaikan lautan yang di dalamnya terdapat banyak kekayaan terumbu karang dan biota laut, namun menjadi tak terlihat karena air laut menjadi keruh tercemar dunia luar”.

Sedari kecil lautan dalam jiwa mula-mula bersih, sehingga anak-anak bisa mengembangkan imajinasi murni. Imajinasi murni adalah salah satu daya yang mampu digunakan untuk mengungkap hakikat dan hikmah-hikmah yang ada dalam alam semesta. Syech al-Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi menamainya dengan quwwah al-khayaliyah (kemampuan untuk berimajinasi)—sebagaimana Albert Einstein yang menemukan teori relativitas umum. Mula-mula semua penemuan itu hanyalah mimpi, lalu dikembangkan menggunakan imajinasi, berandai-andai untuk menemukan teori-teori. Imajinasi memperlebar limitasi pikiran manusia, membuat seseorang memiliki wawasan yang lebih luas.

Sewaktu kita kecil, kesadaran akan pentingnya imajinasi belum terbangun seutuhnya. Masa anak-anak lebih menyalurkan daya imajinasinya untuk melakukan hal-hal yang mereka inginkan, seperti memvisualisasikan sebuah batu menjadi mobil-mobilan. Ketika sedang bermain kuda-kudaan, ia akan membayangkan bahwa dirinya sedang berada di atas kuda sungguhan di sebuah tempat yang sangat menyenangkan. Hasil dari imajinasi anak-anak memunculkan fantasi-fantasi yang bersifat ceria, menyenangkan, menggembirakan. Nikola Tesla semasa kecilnya sering melihat cahaya terpancar ke kepalanya, ketika dewasa ia mengembangkannya untuk menemukan arus listrik bolak-balik (AC) yang kita gunakan hingga sekarang.

Imajinasi membatu seseorang untuk menemukan sesuatu yang belum ada sebelumnya. Tetapi sayangnya ketika kita mulai dewasa, daya kemampuan itu mulai menurun, tertutupi oleh banyak kepentingan dan urusan dunia yang membuat kita mungkin sama sekali tidak bisa menggunakannya. Lautan jiwa yang dikatakan oleh Rumi mulai tercemari banyak kotoran dari dunia luar sehingga airnya keruh dan membuat kita tak mampu melihat kekayaan yang ada di dalamnya.

Analogi yang dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali di atas mengibaratkannya itu seperti cermin, ketika kita berkaca dengan cermin yang jernih, segala sesuatu akan tampak jelas. Namun jika cermin tersebut kusam dipenuhi titik hitam, susah bagi seseorang untuk melihat kejelasan. Titik hitam di sini merupakan perumpamaan dari dosa. Jadi agar bisa tetap melihat hakikat dengan jelas, seseorang harus menyucikan jiwanya dari dosa-dosa, tanpa penyucian tak akan mungkin bisa berkaca pada jiwa.

Imajinasi bisa mendasari seseorang untuk menemukan batu filsuf tersebut yang sangat berharga dalam kehidupan, namun apabila mencari batu tersebut dari luar (materi), akan gagal. Tapi jika kamu mencarinya dari dalam, akan mendapatkannya dengan sejuta keajaiban. Seperti salah satu syair Rumi yang lain berbunyi, “Cinta mengubah batu hitam menjadi akik permata” itulah batu filsuf yang sebenarnya. Ia bernama cinta, yang memiliki banyak reaksi kimia dalam jiwa manusia.

Di tengah kondisi sekarang yang telah menimbukan kepanikan, ketakutan dan kecemasan masayarat, belum lagi resesi ekonomi yang nantinya akan terjadi akibat dari efek pandemi, kimia kebahagiaan sangat perlu dalam kehidupan kita, agar ketika dalam situasi seperti ini tetap tenang dan merasa aman. Kimia kebahagiaan yang dilandaskan pada cinta dan penekanan penyucian jiwa akan membawa kita berjalan menuju dunia pencerahan, dunia yang lebih baru. Seperti halnya apa yang dikatakan Yuval Noah Harari dalam The Finansial Times, “Setelah badai berlalu kemanusiaan akan tetap ada, beberapa dari kita akan tetap hidup. Tapi kita akan menghuni dunia yang berbeda”. Maka dunia yang dilandasan pada cinta dan kemanusianlah yang harusnya kita pilih untuk melanjutkan kehidupan berikutnya.

Semoga semua makhluk bahagia.


Category : keilmuan

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Rizki Eka Kurniawan

Lahir di Tegal. Seorang pembelajar psikologi dan filsafat Islam. Aktif dalam Forum Sinau Bareng Poci Maiyah Tegal.