Persoalan Utama Filsafat: Pengetahuan yang Pasti
Judul : Persoalan-persoalan Filsafat | Penulis : Bertrand Russell | Penerjemah: |Mirza Syauqi Futaqi Penerbit : IRCiSod | Cetakan : I, April 2021 | Tebal : 278 halaman | ISBN : 978-623-6699-57-7
Setiap karya penting adalah respons terhadap polemik dan persoalan yang bergejolak pada masanya. Persoalan-persoalan Filsafat (Problems of Philosophy, 1912), adalah salah satu karya penting filsafat Bertrand Russell (w. 1970) yang masih relevan sebagai pengantar ilmu logika dan epistemologi hingga saat ini. Bahkan dalam epistemologi tasawuf, filsuf Iran seperti Mehdi Ha’iri Yazdi banyak terpengaruh oleh filsuf Inggris ini. Melalui karya ini, Russell hendak mengajukan satu sistem teori pengetahuan yang merombak teori-teori dan filsafat pengetahuan yang telah mengakar sebelumnya. Kritik utamanya dialamatkan pada idealisme—pandangan empirisme sejak awal sudah dipatahkan Russell dalam buku ini.
Bermula sebagai matematikawan, hajatnya adalah untuk mengejar pengetahuan atau prinsip terpasti dan swabukti yang tak dapat diragukan lagi sebagai fondasi pengetahuan. Dalam matematika, tentu hal ini wajib dilakukan. Namun, dalam filsafat, upaya ini tampak reduktif karena hendak mendudukkan filsafat pada aktivitas matematis dan logika semata. Walaupun begitu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kita harus singgah ke buku ini sebelum memulai masuk dalam rimba filsafat barat modern abad ke-20, terutama tentang logika dan epistemologi.
***
Bagaimana kita mengetahui kalau dua ditambah dua sama dengan empat? Apakah melalui pengalaman kita akan dua benda ditambah dua benda lainnya, misalnya motor, untuk mengetahui ada empat benda berupa motor? Atau, sudah dengan sendirinya kita tahu tanpa ada preseden pengalaman apa pun bahwa dua ditambah dua secara logis sama dengan empat? Tidak sulit menjawab pertanyaan ini. Pada umumnya, yang kedua adalah jawaban yang lebih diterima. Pengetahuan ini biasanya disebut pengetahuan apriori (pengetahuan yang mendahului pengalaman atau pengamatan). Sama seperti kasus segi tiga. Pengetahuan bahwa segi tiga memiliki tiga sudut adalah hal yang pasti tanpa perlu melakukan penyelidikan lanjut seperti mengumpulkan benda-benda berbentuk segi tiga untuk memastikan bahwa segi tiga hanya memiliki tiga sisi saja. Pengetahuan apriori menjadi salah satu pengetahuan universal menurut Bertrand Russell sebagai preseden dalam tindak “mengetahui”.
Ada kasus lagi. Bagaimana kita mengetahui kalau semua manusia akan mati? Induksi “Sokrates adalah manusia, maka Sokrates akan mati” adalah contoh paling familier tentang jenis pengetahuan ini. Pengetahuan ini juga pasti, tetapi pengetahuan kita tentang setiap manusia akan mati atau fana tidak sama dengan pengetahuan kita tentang dua ditambah dua sama dengan empat. Pengetahuan bahwa setiap manusia akan mengalami kematian kita dapatkan dari fakta-fakta empiris bahwa siapa saja yang disebut manusia akan mati bukan dari penalaran konseptual. Oleh karena itu, sifatnya bukan apriori. Jenis pengetahuan ini adalah salah satu pengetahuan universal, di samping apriori yang Russell sebut sebagai generalisasi empiris.
Walaupun begitu, kita tidak perlu menyurvei setiap orang yang pernah hidup dan kemudian mati untuk sampai pada kesimpulan tersebut. Seperti sebutannya, yang kita lakukan adalah melakukan generalisasi dari berbagai kasus dan menemukan fakta universal yang tak terelakkan yang menghubungkan masing-masing kasus tersebut. Kita tidak perlu dan tidak bisa menyimpulkan sebaliknya karena pengalaman tidak membuka kemungkinan hal tersebut; kesimpulan “ada manusia yang abadi atau tidak fana” adalah absurd. Temuan biologi tentang manusia yang dapat hidup abadi tidak dapat dipegang untuk berkesimpulan seperti itu. Karena untuk membuktikannya, dunia perlu selesai terlebih dahulu dan manusia abadi masih tetap hidup.
Bagi Bertrand Russell, pengetahuan apriori dan generalisasi empiris adalah dasar bagi pengetahuan pasti. Pengetahuan yang tidak bersandar pada dua prinsip pasti ini tidak dapat disebut pengetahuan, melainkan opini atau keyakinan belaka. Pengetahuan tentang apa pun harus didasarkan dan diturunkan dari salah satu dari dua prinsip ini dengan logika yang valid dan tidak cacat. Ambisi Bertrand Russell adalah mencari satu-satunya dasar atau prinsip swabukti (terbukti dengan sendirinya) yang tak dapat diragukan lagi kebenarannya bagi pengetahuan, terutama dalam matematika. Hajatnya ini termanifestasi dalam tiga volume bukunya bersama A.N. Whitehead, Principia Mathematica. Problems of Philosophy terbit setelah Principia selesai dan menjadi pintu pembuka ke arah penyelidikan tentang prinsip atau pengetahuan pasti –tidak hanya bagi matematika, tetapi juga bagi seluruh pengetahuan yang mungkin.
Problem yang diangkat dalam Problems of Philosophy berbeda dari problem filsafat sebagai mana yang Russell bentangkan dalam buku tebal dan terkenalnya, History of Western Philosophy. Persoalan filsafat yang dinaikkan Russell adalah penyelidikan tentang pengetahuan yang pasti, tak terbantahkan, logis, swabukti, dan prinsipil.
Dengan semangat Cartesian, juga seraya mengkritik Descartes, Russell hendak menggaris bawahi bahwa keraguan memang menjadi pijakan awal investigasi filosofis, tetapi dengan berjangkar pada kesadaran subjek belaka dan menolak status ontologis independensi keberadaan objek di luar subjek; mengabaikan fakta eksternal subjek, pengetahuan faktual yang valid menjadi tidak mungkin. Selain itu, mengandalkan prinsip kategori semata, sebagaimana Kant, untuk mengetahui, juga membawa subjek pada kepasrahan dan ketakberdayaan mengetahui di hadapan “noumena” yang unknowable sebagai lawan dari “fenomena” yang knowable.
Kategori ruang-waktu misalnya, sebagai prasyarat pengetahuan tidak saja membatasi subjek mengenali hakikat objek, tetapi juga membawa subjek terjebak pada lingkaran tautologis pada pencarian apa yang menjadi prasyarat bagi prasyarat-prasyarat turunannya untuk “mengetahui”. Russell menolak sembari mempersoalkan bahwa pengetahuan kita tentang ruang dan waktu bergantung pada pengalaman meruang dan mewaktu kita. Sementara itu, kodrat (nature) dari waktu dan ruang itu sendiri tak akan pernah diketahui tanpa objek lain yang menghubungkannya. Demikian dalam kasus jarak. Kita tahu bahwa jarak antar ujung kota A dan B sekian kilometer, tetapi kita tidak akan pernah tahu kodrat jarak itu sendiri tanpa kehadiran kedua ujungnya.
Russell, dengan semangat mencari pengetahuan yang pasti dan swabukti, yang tak bisa diragukan lagi keberadaan dan kebenarannya untuk menjadi dasar bagi segala pengetahuan yang mungkin, mengkritik tesis beberapa pandangan filsuf sebelumnya, seperti Berkeley, Descartes, Hegel, dan Kant. Tak ayal, filsafatnya berusaha mendobrak sistem filsafat yang totalistis terutama filsafat Hegel (kritiknya disampaikan di hlm.178). Mengetahui, baik mengetahui keberadaan (things) maupun kebenaran (truth), harus diasalkan pada prinsip-prinsip tak terbantahkan dan diproses dengan logika yang sahih. Prinsip itu adalah apriori dan generalisasi empiris.
Kritik idealisme adalah tema pokok buku ini. Itu sebabnya ia tidak memakai terma “ide” untuk menyebut hal-hal yang universal karena kata tersebut mengabaikan aspek rill dari objek yang diketahui. Dengan mengajukan prinsip generalisasi empiris di samping apriori, Russell telah menyumbangkan teori pengetahuan dalam filsafat yang selama berabad-abad menjadi domain perdebatan idealisme dan empirisme. Persoalan filsafat tidak akan ke mana-mana jika persoalan pengetahuan yang pasti ini clear. Oleh karenanya, seperti judul buku ini, pengetahuan menjadi hal yang urgen untuk dipersoalkan dalam filsafat.
Namun akhirnya, pada pengantaran terjemahan bahasa Jerman tahun 1924, Russell menyadari kelemahan-kelemahan tesisnya dalam Problems of Philosophy. Ketidaksempurnaan ini, katanya, akan membuka lebih lebar penyelidikan lebih lanjut tentang masalah pengetahuan. Selain itu, hal yang tak kalah penting dari buku ini bahwa hasil terjemahan buku ini bagus.
Category : resensi
SHARE THIS POST