Pendidikan Filsafat Anak Usia Dini Dari Perspektif Imam Al-Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i, seorang cendekiawan muslim, bukan hanya filosof tetapi juga teolog. Imam Al-Ghazali hidup pada zaman Kekhalifahan Abbasiyah di daerah yang sekarang kita kenal sebagai Iran.
Orang-orang memanggilnya dengan sebutan “Hujjat al-Islam” (Bukti Islam). Imam Al-Ghazali sangat dihormati sebagai salah satu intelektual paling hebat dalam sejarah Islam.
Waktu masih muda, Imam Al-Ghazali bersekolah di kota kelahirannya, Tus. Lalu pergi ke Nishapur untuk melanjutkan belajar di bawah bimbingan cendekiawan terkenal zaman itu. Imam Al-Ghazali mendapatkan ilmu yang sangat banyak dalam berbagai bidang, termasuk filsafat, teologi, dan hukum Islam.
Emang Penting Ya Belajar Filsafat Sejak Dini?
Imam Al-Ghazali, tokoh terkenal dalam tasawuf, sangat menyuarakan mengenai pentingnya pendidikan dalam mempengaruhi cara pikir dan gaya hidup masyarakat. Secara filosofis, Imam Al-Ghazali tetap konsisten dengan idealismenya dan yakin jika agama itu didasari oleh iman. Tetapi, dalam hal pendidikan, Imam Al-Ghazali lebih suka pendekatan yang berdasarkan pengalaman langsung.
Menurut Imam Al-Ghazali, tujuan utama pendidikan tidak berbeda jauh dengan tujuan umumnya, yaitu mencari kedekatan dengan Allah. Imam Al-Ghazali melihat ilmu pengetahuan sebagai alat untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Maka dari itu, pendidikan anak-anak tujuannya adalah untuk perkembangan aspek fisik dan spiritual mereka, sumber kebahagiaan di dunia ini, dan jalan menuju kebahagiaan abadi melewati taqarub ilallah.
Untuk mencapai tujuan pendidikan itu, Imam Al-Ghazali mengatakan ada dua faktor penting yang harus diperhatikan.
Pertama, pengetahuan yang harus disampaikan ke siswa, artinya kurikulum yang harus mereka lewati.
Kedua, pendekatan yang digunakan untuk memberikan pengetahuan atau materi kurikulum ke siswa, agar mereka aktif terlibat dan mendapatkan manfaat darinya.
Menurut Imam Al-Ghazali, tujuan pendidikan meliputi tiga aspek yang berbeda. Pertama, aspek kognitif yang melibatkan perkembangan kemampuan berpikir seperti kecerdasan, keterampilan, dan penalaran.
Kedua, aspek afektif yang membahas hati, termasuk perkembangan nilai-nilai, kepekaan emosional, dan pertumbuhan spiritual.
Terakhir, aspek psikomotorik yang fokusnya pada pengembangan fisik melalui menjaga kesehatan dan mendapatkan keterampilan.
Klasifikasi Ilmu
Kurikulum pendidikan di banyak negara mayoritas muslim agak kacau karena kurangnya sistem hierarki dalam pengetahuan seperti yang ada di pendidikan tradisional. Tapi dalam tradisi keilmuan Islam, ada hierarki dan hubungan antara berbagai disiplin ilmu, jadi semuanya terhubung dalam keragaman. Kiranya, penting sekali sekali membicarakan tentang klasifikasi ilmu dalam konteks memperbaiki pendidikan Islam di negara-negara mayoritas muslim.
Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali membahas empat kategori klasifikasi ilmu pengetahuan.
Pertama, ada klasifikasi antara ilmu syar'i (agama) dan ilmu 'aqli (rasional), yang termasuk ilmu tentang akhirat dan ilmu tentang dunia. Lalu ada juga ilmu yang tidak ada hubungannya dengan agama, yang dibagi menjadi ilmu yang bagus, yang diperbolehkan, dengan yang jelek.
Kedua, ada klasifikasi antara ilmu teoritis dan ilmu praktis.
Ketiga, ada klasifikasi antara pengetahuan yang didapat dari pengalaman langsung dan yang didapat dari pembelajaran.
Keempat, ada pembagian ilmu menjadi tanggung jawab individu muslim dan tanggung jawab komunitas muslim.
Imam Al-Ghazali menjelaskan dengan rinci tentang klasifikasi ilmu intelektual dan ilmu agama. Klasifikasi ini penting sekali untuk perkembangan pendidikan Islam pada waktu itu. Setiap klasifikasi didasarkan pada hubungan antara manusia dan pengetahuan. Keempat klasifikasi ini saling terhubung, jadi satu ilmu bisa masuk dalam lebih dari satu kategori.
Jadi, intinya, ilmu bisa dibagi jadi ilmu agama dan ilmu rasional, ilmu teoritis dan ilmu praktis, pengetahuan dari pengalaman langsung sama pembelajaran, serta pembagian ilmu jadi tanggung jawab individu muslim sama tanggung jawab komunitas muslim.
Metode Pengajaran
Pengaruh sufisme bener-bener kental dalam pemikiran pendidikan Imam Al-Ghazali. Ia sering menyuarakan pentingnya membersihkan jiwa lewat ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Imam Al-Ghazali sadar jika hanya pendidikan agama yang bisa membimbing anak-anak supaya deket sama Allah dari kecil.
Maka dari itu, dalam metode mendidik anak, Imam Al-Ghazali lebih mengutamakan dasar-dasar pendidikan agama. Imam Al-Ghazali membandingkan metode pembelajaran seperti proses menaburkan biji di tanah, dimulai dari hafal, setelah itu bisa mengerti, percaya, dan menerima. Baru setelah itu, diberi bukti-bukti yang argumentatif untuk memperkuat ajaran yang diterima.
Imam Al-Ghazali juga menyarankan agar pendidik mempertimbangkan klasifikasi siswa waktu memilih materi pelajaran dan pengetahuan. Klasifikasi ini berdasarkan kemampuan berpikir siswa, tak harus menghiraukan usia.
Imam Al-Ghazali mementingkan sekali dalam memberi contoh yang bagus untuk siswa. Ia yakin sekali jika pendidik yang baik bakal memberikan kebaikan pada siswa, dan sebaliknya. Imam Al-Ghazali mengutip surah Al-Ahzab untuk membuktikan pentingnya memberi contoh yang baik untuk siswa.
Metode yang diberikan oleh Imam Al-Ghazali sangat relevan di dunia pendidikan Islam global, apalagi melihat kondisi moral yang turun dalam pendidikan modern. Di praktiknya, anak-anak lebih sering meniru pendidik mereka, dan ini diakui hampir semua ahli pendidikan.
Psikologinya, anak-anak senang bisa meniru, tidak hanya yang baik tapi juga yang buruk. Dan manusia itu butuh tokoh teladan dalam hidup mereka. Tokoh teladan itu bisa dari kalangan pendidik atau orang-orang di sekitar anak, bahkan bisa teladan dari kehidupan Nabi Muhammad sendiri.
Dampak Pembelajaran Filsafat Bagi Pemikiran Anak
Pembelajaran filsafat itu keren! Di situ kita diajarkan cara berpikir kritis dan analitis. Jadi, anak-anak diajarkan untuk bertanya dan menganalisis gagasan-gagasan dasar tentang dunia, kehidupan, dan nilai-nilai.
Hal ini sangat membantu mereka untuk menjadi orang yang bisa berpikir kritis, dapat mengevaluasi argumen dengan baik, menemukan premis yang tersembunyi, dan mikir logis.
Selain itu, kita juga diajari untuk memahami sudut pandang orang lain. Lewat filsafat, kita belajar tentang pendapat dan argumen yang berbeda-beda. Kita diajarkan untuk merespons dan mengerti perbedaan pendapat orang lain. Jadi, kita mempunyai kemampuan empati dan toleransi yang tinggi.
Di dunia filsafat, kita juga diajak untuk bertanya sedalam-dalamnya. Kita ditantang untuk memikirkan arti hidup, eksistensi, dan nilai-nilai. Nah, ini membantu kita untuk melihat dunia dengan lebih luas dan lebih dalam.
Filsafat juga membuat kita memikirkan persoalan nilai-nilai dan etika. Kita diajari untuk bertanya apa yang bener dan salah, apa yang adil, atau bagimana seharusnya kita bertindak. Walhasil, kita jadi mempunyai kesadaran moral dan berpikir konsekuensi dari tindakan yang kita lakukan.
Selain berpikir kritis, filsafat juga menumbuhkembangkan kreativitas dan imajinasi kita terasah. Kita didorong buat berpikir kreatif dan memakai imajinasi. Kita diajarkan untuk melihat masalah-masalah dengan cara yang baru dan membangun argumen-argumen yang solid.
Di filsafat kita juga belajar tentang konsep-konsep abstrak, seperti kebenaran, keadilan, kebebasan, dan kebahagiaan. Dengan pembelajaran ini, kita menjadi tahu konsep-konsep ini dan memikirkan maknanya. Hal ini tidak hanya membantu perkembangan otak, tapi juga membuat pemahaman kita tentang dunia menjadi lebih luas.
Category : keilmuan
SHARE THIS POST