Pembaca Kho Phing Hoo dan Jejak Buku

slider
24 September 2020
|
1246

Telah lama saya bergelut dengan buku. Lama dan berliku. Mulai dari sebatas pengagum, karena kantong tak tebal, sampai menjadi bakul buku. Menjadi buruh di pameran buku juga pernah beberapa kali saya lakoni. Namanya buruh, kerjanya angkut-angkut buku berkardus-kardus. Tidur di lapak pameran dengan sekali dua kali tidak mandi menjadi hal yang lumrah.

Buku adalah fenomena. Bagi sebagian orang, buku merupakan ambisi. Pada lain orang, buku menjadi koleksi. Beberapa orang yang gila buku, buku diposisikan sebagai kebanggaan hidup dan mati.

Buku meringkus bahasa ke dalam batas ruang dan lembaran. Menyederhanakan makna menjadi kata. Walau buku tidak pernah bisa merampungkan bahasan, tetapi setidaknya kepingan pengetahuan bisa kita dapati di dalam buku. Melalui buku juga, manusia bisa membaca dirinya dan orang lain.

Sampai di sini, buku menjadi penanda dari gerak kehendak baca-membaca. Walaupun lazim pula dipahami, bahwa membaca tidak selalu berkonotasi pada buku semata. Semesta dan seisinya malah menjadi bentangan bacaan tanpa batas. Tetapi keabsahan buku sebagai manifetasi pengetahuan, tidak bisa ditampik begitu saja.

Semasa kecil, saya mengenal dunia membaca melalui kakak sepupu. Saudara sepupu saya ini tergolong pembaca garis keras. Khususnya novel cerita silat. Asmaraman Sukowati Kho Phing Hoo merupakan satu di antara penulis-penulis favorit sepupu saya itu. Dari namanya, Kho Phing Hoo memang Peranakan Tionghoa. Ia lahir di Sragen (1926), meninggal di Tawangmangu, Solo (1994).

Kho Phing Hoo terbilang penulis yang sangat produktif. Menurut penelusuran Irfan Teguh dalam Jalan Pedang Kho Phing Hoo (tirto.id, 22/07/2018), sepanjang karir kepenulisan Kho Phing Hoo telah memproduksi setidaknya 180 judul buku.

Satu judul buku karangan Ko Phing Ho semuanya berjilid-jilid: Bu Kek Siansu 24 jilid, Suling Emas 35 jilid, Cinta Bernoda Darah 33 jilid, Mutiara Hitam 31 jilid, Pendekar Super Sakti 42 jilid. Buku-buku yang lain tak jauh beda. Semuanya rata-rata 30-an jilid. Jika diakumulasikan sepanjang karir kepenulisannya, maka kita akan mendapati angka 5.400-an buah buku. Sebuah pencapaian yang langka bagi penulis mana pun.

Nah, yang menarik selain dari Kho Phing Hoo dengan cerita yang disuguhkan berjilid-jilid itu, juga dari kisah para pembacanya.

Kisaran 1998-an, untuk membaca novel Kho Phing Hoo, sepupu saya dan teman-temannya sampai iuran. Mereka berangkat naik bus menuju ke perpustakaan kota untuk meminjam buku. Iuran digunakan sebagai jaminan buku yang dipinjam. Saat itu, kartu pengenal tidak cukup sebagai jaminan meminjam buku. Harus ada tinggalan uang jika berniat meminjam buku untuk dibawa pulang dan dibaca di rumah. Harga jaminan per buku saat itu tiga ratus lima puluh (350) perak saja. Di masa itu, nominal 350 perak setara untuk satu porsi makan.

Kebiasaan berliterasi ini menular ke saya. Mulanya saya hanya ikut kumpul-kumpul saja. Mencari teman dan ikut merasakan keseruan obrolan mereka. Lama kelamaan saya mulai ikut membaca. Kami bergiliran, bergantian membaca dari satu serial ke serial selanjutnya sampai khatam.

Bisa dibayangkan berapa hari yang harus kami lalui untuk mengkhatamkan ratusan jilid tersebut. Beberapa orang mungkin belum tentu memiliki pengalaman ketagihan membaca sampai lupa makan dan kurang tidur. Persis seperti itu cara kami membacanya. Baca, baca, dan baca sampai mata kami memerah.

Laku seperti ini biasanya kami jalani saat bulan puasa. Karena satu dan beberapa hal, waktu luang di bulan puasa porsinya cukup banyak. Selain saat puasa, hari liburan sekolah juga kami habiskan untuk membaca buku. Ya bisa jadi, laku ini ditunaikan dengan mudah karena keluyuran di tempat apik kemudian berswafoto untuk diunggah di media sosial belum membudaya.

Cara kami menikmati Kho Phing Hoo menjadi satu kisah, betapa sebuah buku mampu memberikan nuansa kebermaknaan dalam membaca. Momen ini membekas kuat dalam perkenalan saya dengan buku-buku selanjutnya. Minimal, kesan dari pola membaca yang mirip orang gila itu mempengaruhi daya tahan saya dalam membaca.

Ketika masuk di pesantren dan akses buku semakin terbuka, daya baca saya semakin kuat. Hampir semua bacaan, mulai dari komik, tabloid, koran, dan buku saya lahap semua tanpa ampun. Di pesantren itu juga saya mengenal serentetan penulis kondang seperti Mira W., Ahmad Tohari, Mustofa Bisri, Cak Nun, J.K. Rowling, Agatha Christie, sampai Eichiro Oda dan Masashi Kishimoto. Melalui koran, saya mengenal Sujiwo Tejo yang waktu itu aktif mengisi kolom cerita wayang di harian Jawa Pos. Dunia Shopie karya Jostein Gaarder juga saya khatamkan saat di pesantren.

Gongnya adalah di Yogyakarta. Di kota ini, minat baca saya semakin menjadi-jadi. Bagi saya, Yogyakarta bak rembulan yang bersinar rendah bagi si punguk literasi. Beragam buku tersedia dan mudah diakses. Beragam komunitas ada. Bagi para pembaca buku, lebih-lebih yang gila buku, tidak membaca adalah sebenar-benarnya dosa yang besar dan nyaris tak termaafkan. Begitu saja.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Akhmad Faozi Sundoyo

Penulis adalah peneliti pemikiran Ki Ageng Suryomentaram. S1 Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bakul buku online, momong anak lanang dan penikmat literasi. Domisili di Pundong, Bantul, Yogyakarta.