Paul Virilio: Era Kecepatan Informasi
Mengapa kita serba ingin cepat mengejar informasi sehingga kita melalaikan hidup sendiri? Setiap saat, kita bela-belain untuk mencari informasi tentang artis ini, artis itu, hanya karena ingin update segala hal informasinya. Apakah arah hidup kita hanya untuk hal itu semata? Apa manfaat informasi tersebut sehingga kita berani dan rela menghabiskan materi dan waktu? Apakah semua yang kita kejar, kita baca, kita tonton itu mempunyai relevansi dengan kehidupan kita? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan bagian dari kegalauan yang direnungi oleh Paul Virilio.
Dalam konteks saat ini, kegundahan Virilio masih bisa kita temui gejala-gejalanya. Apalagi momen dan situasinya, terutama saat pandemi Covid-19, sangat mendukung. Teknologi informasi seakan-akan sedang mendeklarasikan kemenangannya. Kita bisa saksikan bahwa hampir segala aktivitas beralih dari realitas aktual ke realitas virtual. Dominasi realitas virtual dengan prinsip kecepatan ini berimplikasi buruk terhadap manusia jika tidak diantisipasi dengan baik.
Dromologi dan Implikasinya
Prinsip kecepatan merupakan anak zaman dari penggerak modernitas, yakni post-modern. Berbeda dengan awal modern yang digerakkan oleh produksi dan konsumsi, post-modern justru digerakkan oleh prinsip kecepatan. Prinsip tersebut oleh Paul Virilio disebut sebagai dromologi.
Dromologi berasal dari bahasa Yunani, dromos yang artinya balapan atau perlombaan adu cepat, dan logos yang artinya semesta pengetahuan. Secara sederhana, Dromologi berarti semesta berpikir yang didasarkan pada prinsip kecepatan.
Aada empat asumsi dasar dromologi menurut Paul Virilio. Pertama, dromologi menuntut untuk menjadi yang tercepat, pertama, dan terdepan. Logika tercepat tersebut memaksa seseorang untuk mencari informasi secara terus-menerus. Efeknya, manusia sering kali merasa takut ketinggalan informasi jika tidak memantau setiap pembaharuan informasi. Kedua, siapa cepat dia menang, dan siapa menang dia berkuasa. Prinsip kecepatan mengubah cara pandang seseorang dari cepat memperoleh informasi menjadi berkuasa.
Ketiga, dalam asumsi dasar dromologi, manusia tidak boleh diam. Sebab diam berarti mati, tergilas oleh percepatan. Hal ini tentu sedikit banyak kita saksikan di kehidupan sehari-hari. Kita acapkali berpapakan dengan orang yang tidak bisa lepas dan jauh dari gawainya. Tentu ini merupakan efek dari logika diam mencari informasi berarti mati. Asumsi yang keempat, kecepatan sebagai dasar berpikir dan pengambilan keputusan. Prinsip kecepatan menjadi pijakan berpikir dan penentuan keputusan dalam masyarakat. Jika ada hal yang nampaknya lambat, bisa jadi ini tidak dianggap sebagai dasar berpikir dan keputusan.
Keempat logika dromologi Paul Virilio tersebut tidak bisa dianggap sepele. Sebab, keasyikan yang terlalu larut dalam arus informasi akan menghilangkan jati diri. Sebab, hal tersebut membuat kesejatian diri kita adalah hasil asupan dan pilihan orang lain semata tanpa mempertimbangkan relevansi dan maknanya bagi kehidupan kita sendiri. Akhirnya, masyarakat teknologi saat ini menghadapi satu masalah krusial sebab kehilangan jeda untuk berefleksi dan mengerem dalam arus informasi.
Bukti paling dekat ihwal kurangnya krida mengerem ada di hadapan kita. Apa yang ada di depan kita antara lain gawai. Keberadaan gawai atau ponsel pintar yang dilengkapi penjelajah internet memuat ragam informasi tersedia dengan cepat. Di tengah kepungan arus informasi yang menjajal dengan gesit, kita acapkali lenyap di tengah gempuran kabar. Kita hanya melesak gambaran-gambaran dari media tanpa memamah terlebih dahulu apa yang kita dapatkan dari dunia virtual.
Perangai seperti itu oleh Paul Virilio dinilai riskan. Sebab, menurut Virilio “gambar mencemari kita seperti virus.” Gagasan dan informasi yang kita dapatkan mencemari akal budi kita laksana virus dan mengotori pandangan kita. Hal itu terjadi karena penggunaan internet mendorong masyarakat untuk berlomba untuk mendapatkan informasi guna dapat terlibat dalam diskursus dengan sesamanya tanpa dilandasi keingintahuan akan informasi itu sendiri.
Demi ikut nimbrung di dalam diskursus informasi tersebut, kita rela mengorbankan tenaga, waktu hingga pikiran untuk terus berada di pusaran arus informasi tersebut. Kita bahkan sampai mabuk karena larut di dalam arus informasi yang berseliweran. Hal semacam itulah yang disebut oleh Paul Virilio disebut sebagai piknolepsi.
Piknolepsi, bagi Virilio merupakan kondisi ekstase atau kemabukan yang terjadi karena manusia larut dalam kecepatan dan percepatan perubahan. Hal tersebut kemudian membuat penumpukan dan tingginya frekuensi kemunculan citra dan kombinasi ketakterdugaan dan kejutan-kejutan terhadap sebuah informasi. Kondisi ekstase ini membebaskan dari berbagai hambatan dan sekaligus memenjarakan yang memerangkap manusia dalam ketergantungan. Ia bisa menjadi keniscayaan atau malah menjadi candu.
Kondisi tersebut juga melahirkan kepanikan. Kepanikan yang ditandai dengan kondisi mental penuh ketakutan tanpa alasan. Kondisi tersebut menyebabkan manusia berlari atau melakukan tindakan cepat yang sering kali tanpa arah. Manusia panik jika tidak mengecek informasi yang berada dalam lingkarannya. Manusia takut jika berhenti sejam saja untuk tidak update informasi.
Menciptakan Budaya Teknologi Positif
Mencari dan berburu informasi memang tidak ada yang salah. Kita butuh informasi. Kita juga tidak bisa melepaskan diri sama sekali dari informasi. Namun, pencarian informasi akan menjadi hal yang sia-sia belaka jika tidak ada korelasi dan relevansi dengan makna kehidupan kita. Apalagi, kita sampai kehilangan arah hidup bahkan sampai mabuk akibat limpahan informasi yang tidak bisa dikendalikan. Oleh karena itu, kita harus mengenal kebutuhan informasi sekaligus mengendalikan diri agar tidak larut dalam pusaran kecepatan informasi. Kita harus menciptakan budaya teknologi yang sehat.
Kaitan dengan hal tersebut, Paul Virilio mengarih lima gagasan guna menghasilkan budaya teknologi yang sehat dan positif. Pertama, prinsip kehati-hatian. Dalam konteks prinsip kecepatan, hati-hati itu tidak menelan begitu saja informasi yang ada. Informasi tersebut harus dianalisis dan dipahami dari ragam sudut. Sehingga, informasi tersebut tepat sasaran manfaatnya untuk kita.
Kedua, menjaga jarak. Menjaga jarak antara diri kita dan arus informasi memang penting. Jika terlalu terlibat, kita susah melawan arus. Selain itu, kita juga sulit memperoleh pemahaman yang objektif. Ketiga, skeptis. Dalam konteks ini, skeptis merupakan sikap yang tidak gampang percaya ihwal informasi yang ada. Siapa yang tahu bahwa informasi tersebut tidak benar. Informasi tersebut bisa jadi palsu. Oleh karena itu, sikap skeptis ini perlu untuk mempertanyakan kembali kebenaran, sumber bahkan relevansinya.
Keempat, verifikasi. Yakni memastikan sumber informasi yang didapat adalah informasi yang terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan. Dan yang terakhir, yang kelima, check and recheck, yakni selalu memeriksa kembali informasi yang dapat agar terhindar dari informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Kelima langkah tersebut saling melengkapi satu sama lain. Paling tidak kelima hal tersebut bisa menjadi pengontrol arah dan keterlibatan kita dalam arus kecepatan dan percepatan teknologi informasi. Hal tersebut akan melahirkan budaya berteknologi yang sehat dan positif. Satu sisi kita memperoleh informasi yang kita butuhkan dan di sisi lain kita juga berteknologi yang sehat dan positif.
Category : catatan santri
SHARE THIS POST