Pastor Laurence, Kala Agama Membela Cinta
Tokoh yang paling menarik dalam drama Romeo & Juliet adalah Pastor Laurence. Bukan hanya menarik, dalam plot tragedi yang digubah ulang oleh Shakespeare (1564-1616 M) itu, Pastor Laurence memegang peran kunci.
Tanpa kehadiran dan aksinya, Romeo—yang relatif pembimbang—barangkali tak akan mantap menikahi Juliet. Bunuh diri legendaris sepasang kekasih itu pun tak akan terjadi.
Siapakah Pastor Laurence? Kita hanya tahu sedikit tentang masa lalunya. Sebelum menyerahkan ramuan mati suri kepada Juliet, Pastor Laurence mengisahkan jalan hidup yang dilaluinya sebelum menjadi pastor.
Sewaktu muda, Laurence suka mengembara. Ia berjalan dari kota ke kota, dari desa ke desa, dari negeri ke negeri, bahkan keluar masuk hutan. Di sanalah ia mempelajari khasiat berbagai tumbuhan.
Berkat ilmu ini, Laurence menemukan ramuan mati suri yang merupakan racikan dan eksperimentasinya sendiri. Ia juga menemukan “alkemi” lain yang membuat penduduk Verona, kota di mana akhirnya Laurence mengabdi sebagai pastor, mengaguminya sebagai orang suci pembuat keajaiban atau karomah.
Bagi penduduk Verona, fenomena luar biasa yang dibuat Pastor Laurence adalah keajaiban. Tapi, bagi Pastor Laurence sendiri, fenomena abnormal tersebut adalah buah dari sains.
Ketika para agamawan pada masanya masih mempertantangkan sains dan agama, Pastor Laurence ternyata sudah mengharmoniskan dan memadukan keduanya. Saat Shakespeare mementaskan Romeo & Juliet untuk kali pertama pada 1564, Eropa masih berada pada masa transisi dari abad pertengahan yang memuja otoritas agama, menuju kurun modern yang mengagungkan sains. Shakespeare hidup pada zaman pancaroba peradaban.
Tapi catatannya, Romeo & Juliet bukan cerita yang digubah secara orisinal oleh Shakespeare. Model bagi tragedi Romeo & Juliet sudah lahir di Italia pada abad ke-15 ketika pengaruh politik gereja Katolik masih cukup kuat di Eropa. Kisah kasih serupa Romeo & Juliet ditemukan dalam Il Novellino, antologi cerita pendek yang dikarang Masuccio Salernitano (1410-1475 M), penyair Italia yang kritis terhadap perilaku gereja.
Dalam antologi itu, ada cerita tentang Mariotto & Gianozza. Plot cerita sama persis dengan tragedi Romeo & Juliet. Sebagaimana Romeo & Juliet, cinta Mariotto & Gianozza juga terhalang takdir (star-crossed lovers). Keduanya menikah diam-diam, tanpa sepengetahuan keluarga masing-masing. Mariotto diasingkan dari kota sebagai hukuman atas pembunuhan yang dilakukannya. Gianozza meminum ramuan mati suri yang diberikan seorang pastor. Akhirnya, Mariotto & Gianozza bunuh diri di kuburan.
Karena ditafsirkan menyerang kewibawaan agama, Il Novellino dimasukkan dalam indeks bacaan terlarang (index librorum prohibitorum) oleh otoritas gereja. Jika tak ada tokoh pastor yang berpihak pada Mariotto & Gianozza, yang dalam drama Romeo & Juliet bernama Laurence, II Novellino barangakali tak digolongkan sebagai bacaan terlarang.
Sikap dan perbuatan sang pastor memang tak sejalan dengan pandangan resmi gereja Katolik abad pertengahan. Alkemi, sains, dan romansa liar tak direstui agama. Agama terlibat dalam kecamuk perang tak berkeseduhan, baik perang antaragama maupun antarsekte dalam sebuah agama. Agama menyaru sebagai bayangan setan kebencian.
Di pihak lain, Pastor Laurence justru berpihak pada cinta dan berupaya menghadirkan kembali kedamaian. Ia gelisah menyaksikan perseteruan keluarga Capulet dan Montague yang telah berlangsung begitu lama. Penghinaan dibalas penghinaan. Dendam dibalas dendam. Luka dibayar luka. Darah juga dibayar darah. Daur kebencian dan kedengkian berputar tak henti-henti, meletihkan hati Pastor Laurence.
Di mana kata “maaf”? Di mana pengampunan? Kapan air keharmonisan tercurah dari langit kasih sayang membasahi bumi Verona?
Harapan sunyi Pastor Laurence rupanya terkabul. Suatu hari, Romeo menemui sang pastor, yang dianggapnya bapak angkat. Romeo bertutur tentang perasaannya. Ia, anak semata wayang keluarga Montague, jatuh cinta pada Juliet, anak tunggal keluarga Capulet. Dan cinta itu tak bertepuk sebelah tangan. Juliet pun jatuh hati pada Romeo sejak pandangan pertama. Romeo ingin segera menikahi “ratu kerajaan hatinya”.
Kesempatan datang dan Pastor Laurence tentu saja menyambarnya. Tapi, skenario harus dirancang secara matang dan cerdik. Secara diam-diam, Pastor Laurence menikahkan Romeo & Juliet, demi kebahagiaan kedua remaja tersebut, juga demi mengakurkan keluarga Capulet dan Montague.
Pastor Laurence merancang skenario perdamaian. Tapi, takdir menulis narasi sendiri. Marah karena kematian Mercutio, Romeo membunuh Tybalt, keponakan Tuan Capulet. Sebagai hukuman, Romeo diasingkan dari kota Verona. Lalu, Tuan Capulet memaksa Juliet menikah dengan Count Paris.
Juliet, yang menolak dinikahkan, mengadu pada Pastor Laurence. Ia mengancam, lebih baik mati bunuh diri daripada mengkhianati suami yang sedang dihukum.
Kita hapal kelanjutan ceritanya. Sebagai solusi, Pastor Laurence merancang sandiwara kematian Juliet. Ia menyerahkan ramuan mati suri kepada istri yang setia itu.
Sekali lagi, takdir menulis narasinya sendiri. Alur sandiwara yang disusun Pastor Laurence tak mengalir lancar, terhadang dan terpenggal ketentuan langit. Awalnya, peristiwa memang bergulir sesuai dengan siasat yang dibuat. Juliet memang menenggak ramuan mati suri sebelum hari pernikahannya dengan Count Paris. Juliet memang diyakini telah meninggal. Keluarga Capulet memang berduka. Count Paris memang frustrasi. Dan Juliet, pada akhirnya, memang dikuburkan.
Tapi, surat yang dikirimkan Pastor Laurence kepada Romeo ternyata tak sampai. Romeo tak pernah menerima surat tersebut, yang mengabarkan sandiwara kematian Juliet. Romeo mendengar kematian Juliet—yang disangka sungguhan—justru dari temannya. Saat tenggelam dalam kesedihan, saat akal sehatnya tak berfungsi, Romeo membeli racun.
Ia kemudian mendatangi kuburan Juliet pada suatu malam yang gelap, pada suatu malam yang muram. Di sana mungkin tak ada gagak yang melengkingkan tembang kematian.
Tapi, di sana, Romeo bertemu dengan Count Paris. Mereka segera terlibat dalam perkelahian bersenjata. Di mata Paris, Romeo adalah musuh besar keluarganya yang hatinya penuh ambisi dendam kesumat. Tak puas membunuh Tybalt, Romeo kemudian melenyapkan nyawa Juliet.
Paris tak tahu, tak pernah tahu, bahwa Romeo telah menikahi Juliet; bahwa keduanya saling mencintai. Paris hanya tahu bahwa Juliet, perempuan yang ingin dimilikinya, meninggal menjelang pernikahan mereka. Hari bahagia tiba-tiba berubah menjadi hari paling menyedihkan. Dan karena kesedihan mendalam itu, Paris tak bisa berpikir jernih.
Dalam cengkeraman kesedihan dan kemarahan, Paris bertarung membabi buta. Begitu pula Romeo, yang menikamkan belatinya ke tubuh Paris. Bangsawan keluarga Capulet tersebut terkapar di tepi kuburan calon istrinya. Arwahnya mungkin mencari-cari arwah Juliet di alam seberang. Pencarian yang konyol dan sia-sia.
Setelah menggali kubur Juliet, Romeo melihat jasad kekasihnya yang pucat, kaku, dan dingin. Benar-benar mengira bahwa Juliet telah mati, Romeo meminum racun yang telah dibelinya untuk meyusul sang kekasih ke alam kelanggengan. Melampiaskan rindu yang diredam-redam, melunasi ikrar setia sehidup semati.
Ironisnya, ketika Romeo mati, Juliet “hidup” kembali. Entah apa yang ia rasakan saat menatap mayat Romeo yang terbaring di sisinya. Mungkin sejenak Juliet bingung. Tambah bingung karena Pastor Laurence tiba-tiba muncul di dekatnya, menyuruhnya untuk cepat-cepat meninggalkan kuburan, bergabung bersama para suster di asrama mereka. Itu tempat perlindungan dan persembunyian paling aman bagi Juliet. Agama adalah tempat paling aman bagi cinta. Seharusnya demikian.
Tapi, realitas bukan keharusan yang menghuni alam pikiran. Juliet tak mau berpisah bahkan dari jasad Romeo. Gagal membujuk Juliet, Pastor Laurence pergi meninggalkannya. Orang-orang Verona sedang menuju kuburan setelah mereka mendengar teriakan Count Paris sebelum napasnya yang terakhir. Pastur Laurence juga dicekam ketakutan dan kepanikan.
Sejak itu, Pastor Laurence tak pernah lagi bercakap-cakap dengan Juliet. Sebab, remaja merana itu bunuh diri, menikam jantungnya sendiri dengan belati Romeo.
Apa skenario perdamaian rancangan Pastor Laurence berujung tiga kematian yang mubazir? Tidak. Sama sekali tidak. Drama masih tersisa satu babak. Babak penutup yang indah, biarpun didahului babak panjang kegetiran.
Orang-orang berkerumun di kuburan Juliet. Tiga mayat tergeletak. Pangeran Escalus, penguasa Kota Verona, hadir di sana. Tuan Capulet dan Montague sudah hadir, membawa wajah duka, juga seribu tanda tanya dalam kepala. Setelah mengumpulkan keberanian dan keyakinan, Pastor Laurence juga datang.
Kepada semua yang hadir, ia membeberkan rahasia asmara Romeo & Juliet. Ia pun menjelaskan sandiwara “penyelematan” Juliet rancangannya yang, apa boleh buat, digagalkan takdir. Tragedi kematian Romeo & Juliet, menurut sang pastor, terjadi karena permusuhan berkepanjangan antara keluarga Capulet dan keluarga Montagoe.
Yang dikehendaki “cinta” Romeo & Juliet adalah sirnanya malam kebencian dan terbitnya fajar kedamaian. Kehendak itu terwujud. Tuan Capulet dan Tuan Montague berdamai, setelah menyesali permusuhan bodoh yang menumbalkan anak semata wayang masing-masing.
Tapi, bukankah kematian Romeo, Juliet, dan Count Paris sebenarnya disebabkan aksi Pastor Laurence yang merestui cinta Romeo & Juliet, yang merekayasa misi penyelamatan Juliet yang gagal? Maka, perlukah Pastor Laurence dihukum? Haruskan agama yang membela cinta disalahkan?
“Kami akan mengenal Bapa sebagai orang suci”, ujar Pangeran Escalus kepada Pastor Laurence. Tak ada hukuman untuk sang pastor. Agama yang membela cinta tidak dapat disalahkan. Agama memang sudah seharusnya membela cinta.
Tapi kawan, kita mengerti betul, keharusan adalah satu hal dan kenyataan adalah hal yang lain. Dan kita terombang-ambing di antara keduanya.
Category : kolom
SHARE THIS POST