Musafir

slider
23 April 2015
|
1290

Musafir. Itulah mungkin laku kita hidup di dunia ini sebagai pejalan. Kita, jikapun pembaca setuju tentunya, hanyalah para pejalan yang hidup di dunia yang sebentar singgah, sebentar duduk, sebentar lewat, lalu menghilang dan hanya menyisakan nama. Sebagai seorang musafir, kita berarti sedang berjalan menuju ke sesuatu tujuan. Apa dan siapakah yang kita tuju? Jawabnya sudah pasti: Gusti Allah. Di mana Dia dan kapan kita bisa menemui-Nya? Itulah misteri kehidupan. Siapapun tak ada yang tahu. Tapi yang pasti, gerbang menuju ke sana, maksudnya ke kematian, bisa terbuka kapan pun.

Kita hidup yang dihadapkan pada kenyataan yang beraneka rupa keadaan: ada kesedihan ada kesenangan; ada kemiskinan ada kekayaan; ada kesulitan ada kemudahan; ada keinginan ada pula kenyataan. Semua rona kehidupan bisa ditemui di dunia ini, tinggal kita mau menghadapinya dengan penuh kesabaran dan rasa syukur, atau malah berbalik dan mengufurinya, hingga malaikat pencabut maut tiba. Tentu, pilihan terbaiknya adalah terus hidup dengan penuh kesabaran dan rasa syukur, walau kenyataan yang dihadapi pahit, getir dan penuh dengan duri.

Memang, menghadapi kenyataan hidup itu perlu perjuangan. Apalagi dalam rangka menemui Sang Khalik, seringkali kita harus berhadapan dengan jalan yang tidak gampang untuk dilalui. Persis seperti dikatakan Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin, bahwa perjalanan dalam hidup ini penuh dengan tipu daya, tanpa adanya petunjuk dan teman, perjalanan akan terasa melelahkan dan menyusahkan.

Sebagai musafir, kita tidak boleh buta dan tuli terhadap petunjuk Gusti Allah yang bisa datang dari manapun, kapanpun, termasuk dari pintu yang tidak terduga sama sekali. Maksud lainnya, musafir memerlukan teman seperjalanan, bukan hanya karena kita tidak akan berdaya tanpa adanya teman, melainkan sebenarnya kita semuanya adalah teman, teman dalam sebuah perjalanan menuju Sang Khalik itu.

Dengan begitu, sesama musafir seharusnya kita bisa saling mengingatkan dan berbagi bekal satu sama lain. Seorang berilmu mestinya bisa menjadi pengingat bagi pejalan lain yang kebingungan, kesasar atau kehilangan peta. Seorang hartawan seharusnya bisa membantu musafir yang kepayahan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Begitu pula dengan seorang bijak-cendikia sejatinya bisa menjadi penyejuk dan penyegar bagi pejalan yang letih bercucuran keringat amarah.

Selain petunjuk dan teman, musafir juga memerlukan bekal. Bekal itu berupa anugerah Tuhan kepada kita dalam segala bentuk potensi, yang satu paket dengan kelahiran kita ke dunia. Potensi-potensi itu bisa berupa akal untuk berpikir, indera untuk membaca kenyataan, dan hati untuk memekakan perasaan. Jika semuanya dimaksimalkan, boleh dibilang kita akan menjadi manusia sakti, manusia penuh perhitungan, penuh pengalaman dan penuh kearifan.

Bekal itu juga dapat berupa ilmu, harta, tahta, isteri-suami-sanak saudara, popularitas, titel dan sebagainya. Semuanya bisa menjadi bekal yang baik bagi kita. Ilmu bisa membuat hidup menjadi mudah; harta membuat kita berkecukupan; tahta, titel dan popularitas membuat kita makin didengar orang; sementara isteri-suami-sanak-saudara bisa menjadi penyemangat dalam mengarungi bahtera kehidupan.

Hanya saja, kita juga harus berani mengingatkan diri sendiri. Sebab bekal itu semua bersifat sementara dan malah bisa merintangi, membebani, dan justru menyesatkan! Sudah banyak kabar yang sampai kepada kita, seperti orang berilmu tapi terjerumus pada kesombongan dan ilmunya tiada berguna kecuali untuk dirinya sendiri; orang kaya terlena dengan kenikmatan dan tidak berhenti menumpuk harta meski sudah setinggi gunung; orang bertitel, bertahta lagi terkenal, merasa pencapaiannya itu karena usahanya sendiri, tidak menyadari bahwa itu hanya amanah Allah; adapula orang yang beranak pinak sudah merasa cukup dengan menghidupi keluarga sendiri, tidak peduli di sekelilingnya masih banyak manusia kebingungan mencari makan. Bekal-bekal semacam ini hanya akan membuat manusia terlena dalam kenikmatan sementara tanpa mampu mencapai kebahagiaan yang hakiki.

Tapi, ya bekal-bekal yang didapat seharusnya berbuah amal baik. Ilmu yang baik adalah ilmu yang bermanfaat, ilmu yang disebarkan, ilmu yang membuat derajat ketakwaan meningkat. Harta yang baik adalah harta yang berguna dalam membantu meringankan beban hidup orang lain. Tahta, titel, dan popularitas yang pantas adalah tahta, titel, dan popularitas di mana pemiliknya merasa bukan siapa-siapa, karena semuanya dipandang sebagai anugerah, dan akan diambil kembali oleh Sang Kuasa. Begitu pula keluarga. Keluarga yang baik adalah keluarga yang bisa menenangkan saat kita dilanda kebingungan, mampu menasehati saat kita mulai melakukan penyimpangan, mau mengingatkan saat kita mulai keluar dari jalur tujuan, dan setia mendoakan saat kita dipanggil keharibaan.

Namun sebaliknya dari itu semua, harta, tahta, pria-wanita, titel, dan semacamnya dipandang sebagai sesuatu yang paling berharga, bahkan menjadi tujuan hidup. Musafir seperti ini sangat mungkin larut dalam nafsu kehidupan, terlena dalam persinggahan dan tidak mampu lagi melanjutkan perjalanan. Musafir yang melihat segala atribut kehidupan sebagai bekal belaka, itu baiknya. Harta, tahta, pria-wanita, titel, dan segala macamnya hanya dipandang berharga jika bisa mendekatkan sang pejalan kepada-Nya. Akhirnya, pilihan ada pada diri kita sendiri. Tapi, ya, semoga saja, kita semua adalah musafir yang akan tetap kuat menyelusuri jalan Allah, meski jalan yang dilalui begitu terjal dan berliku.

*Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, Jumat 23 April 2015.


Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ihab Habudin

Jamaah tidak tetap Masjid Jendral Sudirman.