Mindset Kompetisi sebagai Sumber Ketidakbahagiaan

slider
31 Desember 2024
|
814

Bertrand Russell, filsuf cum bangsawan asal Wales, memasukkan kompetisi atau persaingan sebagai salah satu dari beberapa penyebab ketidakbahagiaan. Kompetisi yang dimaksud adalah mindset membanding-bandingkan, atau selalu mengukur diri untuk selalu lebih atau menonjol daripada orang lain. Melihat segala sesuatu dengan kacamata kompetisi membuat hidup kita yang sudah berat ini menjadi makin berat. Prinsipnya, mengejar sukses dan menjadi lebih maju tanpa harus menggunakan mindset kompetisi—sebab hidup bukanlah arena tanding.

Dalam buku The Conquest of Happiness (1930), Russell mengilustrasikan keluhan para pengusaha perihal ‘perjuangan hidup’ untuk menjelaskan perihal kompetisi ini. Di satu sisi, perjuangan hidup teramat valid sebagai hal yang diusahakan semua orang. Namun, Russell menekankan, makna perjuangan hidup ala para pebisnis Inggris maupun Amerika bukanlah seperti yang dipahami masyarakat kelas ekonomi bawah dan mereka yang kurang beruntung.

Alih-alih “mencari makan untuk hari ini demi bertahan hidup”, makna perjuangan hidup ala pebisnis lebih mengarah pada aspek yang meliputi martabat, gengsi, dan kompetisi. Seorang pengusaha, bahkan ketika bangkrut tetap lebih baik secara materi ketimbang mereka yang tak pernah punya kesempatan menjadi kaya. Hal yang ditakutkan dalam perjuangan hidup ala para pengusaha, menurut Russell, “bukanlah kegagalan mendapat makan untuk besok pagi, tetapi kegagalan mengungguli tetangga mereka”.

Para pebisnis yang sudah mempunyai penghasilan tinggi ini semestinya—jika mereka mau—bisa hidup sangat berkecukupan dengan kekayaan yang telah mereka miliki. Namun, bagi kalangan pebisnis, tidak mengupayakan kekayaan yang lebih lagi, Russell mengibaratkan, tak cuma bak jalan di atas treadmill, tetapi juga seperti tentara yang lari dari medan perang—terasa memalukan.

Russell mengkritik dengan menyebut, jika pun para pebisnis ini ditanya apa sebenarnya tujuan dari mengejar kekayaan yang tidak terhingga itu, mereka juga tak punya jawaban pasti. Segala capaiannya, termasuk rumah menawan dan keluarga yang menyenangkan, tidak bisa benar-benar dinikmati karena waktunya telah habis tercurah untuk pekerjaan—berangkat kerja pagi-pagi sekali dan pulang malam hari hanya untuk tidur tanpa kesempatan berinteraksi dengan keluarga.

Pada hari kerja mereka sibuk dengan urusan bisnis, sementara pada akhir pekan mereka masih harus menemui orang yang potensial untuk bertransaksi. Hampir tidak ada momen hangat bersama keluarga, dan kehidupan di luar pekerjaan makin gersang. Mereka ini, kritik Russell, terlalu yakin sepenuh hati bahwa mengejar sukses adalah tugas utama seorang pria dan bagi yang tidak melakukannya berarti sedang melawan arus.

Para ‘pria modern’ mengejar lebih banyak uang dengan tujuan pamer, kemegahan, dan menjadi lebih menonjol. Namun, skala kesuksesan di dunia modern makin berkembang tak terbatas, yang menimbulkan kegelisahan karena pemenuhan martabat atau gengsi yang tak kunjung memuaskan. Berbeda dengan mereka, Russell membocorkan wujud ekspektasinya pada uang, yaitu sebatas untuk memenuhi waktu luang atau santai yang disertai rasa aman.

Russell tidak menafikan bahwa rasa puas atas kesuksesan, yang diikuti datangnya pengakuan dan kelancaran finansial sebagai konsekuensi dari kesuksesan, membuat kita lebih menikmati hidup—yang berarti lebih bahagia. Namun penekanan Russell adalah kesuksesan yang sifatnya kompetitif hanyalah satu dari sekian banyak unsur kebahagiaan, dan terlalu mahal harganya jika harus mengorbankan semua unsur lainnya hanya demi satu sumber tersebut.

Sebenarnya, Russell bukan bermaksud mengenyahkan sepenuhnya unsur persaingan, dalam profesi apa pun. Namun, ia menekankan, penghormatan pada seseorang tidak diukur dari kesuksesan yang bersifat finansial semata, melainkan keunggulan skill (kemampuannya) sesuai profesinya yang membuatnya lebih menonjol dibanding orang lain.

Dengan kata lain, seorang akademisi misalnya, tidak akan menjadi lebih dihormati jika ia lebih kaya dibanding akademisi lain, karena aspek penghormatan padanya berasal dari penguasaan keilmuannya bukan kekayaannya.

Contoh lain, seorang tokoh atau pejabat terkemuka yang secara finansial terbilang sederhana dengan kehidupan tanpa gelimang harta—sebutlah contoh nyata wakil presiden pertama negara kita, Mohammad Hatta—tidak membuat penghormatan padanya menjadi pudar. Sebab, sekali lagi, standar penghormatan pada seseorang bukan dilihat dari prestasi finansialnya semata. Oleh karenanya, Russell juga mengkritik pendidikan yang orientasinya terlalu kuat untuk mengejar aspek finansial.

Ada satu lagi kritik menarik dari Russell soal prinsip kontes atau kompetisi ini. Mengambil contoh budaya membaca, Russell menggambarkan dampak dari kompetisi yang tidak pada tempatnya. Tujuan seseorang membaca buku ternyata bukan cuma kenikmatan intelektual, tetapi juga untuk menjadi bahan pamer (kebanggaan).

Dengan mindset kompetisi—jika kita lihat dari titik pandang hari ini—seseorang bisa saja membaca bab awalnya saja, seseorang yang lain bisa saja membaca ulasannya saja, bahkan di tingkat terburuk seseorang bisa saja pamer swafoto memegang bukunya saja. Alih-alih sebagai pemenuhan aspek intelektual, aktivitas membaca maupun jenis buku yang dibaca orang-orang era modern lebih karena disetir oleh ego follow the tren ketimbang dorongan pribadi.

Pemilihan jenis buku kontemporer yang bagi Russell “biasa-biasa saja” dan “jauh dari karya-karya besar” ini pun masih lebih baik dibanding jika seseorang dengan mindset kompetisi dibiarkan memilih sendiri buku bacaannya, yang mungkin saja lebih buruk daripada yang telah direkomendasikan secara umum.

Dampak lain dari mindset persaingan adalah ditinggalkannya pengetahuan yang dianggap tak menunjang finansial. Russell mencontohkan pada suatu momen tur sebuah kampus di Amerika Serikat, dirinya melewati area hutan sekitar kampus yang dipenuhi bunga liar yang indah, namun saat Russell bertanya apa nama bunga tersebut, tidak seorang pun mahasiswa yang memandu turnya yang tahu tentang bunga-bunga itu.

Bagi Russell, orang-orang modern tampak tidak begitu mementingkan kenikmatan intelektual. Pengetahuan luas dan mendalam tentang sastra tidak lagi dimiliki masyarakat umum, melainkan terbatas pada akademisi yang secara khusus mempelajarinya. Seni hidup dengan ritme slow, bahkan menikmati momen tidak melakukan apa pun, juga sudah tidak laku di era modern.

Begitulah dampak dari mindset kompetisi yang sayangnya telah menyebar dan diterima secara umum, yang mengorbankan intelektualitas. Russell menggambarkan masyarakat ber-mindset kompetisi sebagai ‘dinosaurus modern’ yang mengedepankan kekuatan daripada kecerdasan, sedangkan yang tidak ikut-ikutan ‘tren’ kompetisi adalah kelompok beruntung karena akan melahirkan generasi penuh kebahagiaan yang berumur panjang—sebab tidak saling serang, tidak saling menjatuhkan, dan tidak saling ‘bunuh’.

Orang-orang ber-mindset kompetisi, yang menganggap persaingan adalah hal utama dalam hidup, terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan. Mereka menganggap waktu luang untuk bersantai dan menenangkan diri sebagai hal tak penting dan membosankan. Pola rutinitas seperti ini mengantarkan ketidakbahagiaan masuk ke hidup mereka. Dalam jangka panjang, mereka tidak akan mempunyai waktu memikirkan keturunan. Di mata Russell, generasi ini tidak akan bertahan lama dan akan segera digantikan oleh generasi dengan kemampuan menjaga keseimbangan yang hidupnya lebih bahagia.


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ahada Ramadhana

Asisten Redaktur di Akurat.co