Menjadi Muslimah di Negeri Paman Sam

11 Februari 2022
|
2066

Januari tahun lalu saya masih bercengkerama berbagi cerita dan pengalaman bersama siswi madrasah tsanawiyah. Ketika saat itu saya masih menjadi tenaga pendidik di salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Sampai Februari akhir tahun lalu, saya tidak pernah membayangkan bahwa Januari 2022 akan terlempar ke benua seberang.

Berkesempatan tinggal di luar negeri mungkin menjadi sebagian impian dari beberapa orang. Entah belajar, travelling, atau menemani keluarga. Terhindar dari gunjingan tetangga dan menikmati udara bersih serta lingkungan asri bebas sampah menjadi faktor pendukung untuk merantau di salah satu negara di benua seberang, di Negeri Paman Sam katakanlah.

Mau stay di tengah atau pinggiran kota juga oke. Dijamin tidak ada orang yang menanyai “Mau nikah kapan?”, atau “Mau punya anak kapan?”. Mereka tahu bahwa urusan orang lain adalah none of your business.

Selain faktor tersebut Tuhan juga menawarkan keragaman empat musim di negeri Paman Sam ini. Yang semula di Indonesia hanya melihat keringnya tanah dan lebatnya hujan, di sini bisa beralih melihat salju dan cantiknya dedaunan yang gugur. Rangkaian panoramanya juga tidak kalah dari Indonesia. Ada daerah pantai, daerah bersalju, daerah desert. Tatanan kota yang asri bebas polusi, dan lagi-lagi pemandangan sampah akan sulit ditemukan di sini.

Itu baru sedikit tentang panoramanya, belum lagi ihwal tentang canggihnya teknologi. Saya di sini baru dua pekan, jadi maklum kalau masih bingung. Namun semuanya tadi bagi saya memang istimewa dan mengesankan.

Mengingat saya adalah seorang muslimah, tentu ada beberapa hal yang harus saya pahami serta maklumi. Lahir dan besar di lingkungan religius, dan hampir tidak pernah bersinggungan dengan aturan yang berbeda paham, kini saya harus banyak belajar di dunia yang serba baru.

Seperti kita tahu, muslim di Indonesia terlebih di Jawa, mereka menempati posisi mayoritas. Menjadi masyarakat mayoritas dalam segala aspek pasti akan mudah mendapatkan fasilitas. Sayangnya saya terlambat menyadari, bahwa hidup di lingkungan sebagai warga mayoritas merupakan nikmat tersendiri.

Lingkungan yang mendukung, fasilitas yang ramah halal, jauh berbeda dengan negara yang penganut Islamnya menjadi minoritas. Seorang laki-laki akan sulit diidentifikasi, apakah ia muslim atau non muslim. Namun jika perempuan yang berjilbab, akan bisa langsung dinilai bahwa yang mengenakannya adalah seorang perempuan yang beragama Islam.

Berjilbab di Indonesia, sudah menjadi pemandangan yang lumrah. Mereka dari usia dini pun ada yang sudah diajarkan untuk menutup rambut mereka dengan jilbab. Tetapi situasi seperti itu akan berbalik 180 derajat di negara yang masyarakat muslimnya menjadi minoritas.

Hampir 2 jam saya bersepeda di tempat publik yang banyak bersliweran orang, dan saya putuskan untuk duduk di rerumputan untuk menulis artikel ini. Total hampir tiga jam saya melihat orang berlalu lalang, namun tidak satu pun perempuan yang saya temui menggunakan jilbab.

Namun beberapa hari lalu, suami saya meyakinkan dan menyuruh saya untuk percaya diri menggunakan jilbab. Ia mencoba meyakinkan saya bahwa, moderasi di Negeri Paman Sam ini sudah cukup tinggi. Pesannya kepada saya, percaya diri saja dengan tanpa mengesampingkan waspada dan hati-hati.

Kemudian saat waktu sembahyang tiba, biasanya di desa saya mendengar kumandang adzan bersahutan di desa lantas dilanjutkan dengan salawat dari anak-anak yang masih lugu. Biasanya juga beberapa langkah saya bisa sampai ke masjid atau musala, sekarang jika ingin ke masjid harus naik mobil yang jaraknya beberapa kilometer.

Sekarang saya akan beralih ke urusan perut. Lidah Asia dengan Amerika tentu saja berbeda, pun dengan seleranya. Kalau sekadar bumbu atau bahan makanan masih bisa didapat dengan mudah di Asian Market, meskipun jaraknya beberapa mil. Atau kalau masalah sayuran juga masih bisa di dapat di supermarket mana pun. Hanya saja kalau daging atau olahan yang mengandung daging, saya mesti lebih selektif lagi.

Selanjutnya mengenai pakaian. Sebagai seorang muslimah, mencari pernak-pernik yang dikenakan walaupun dibuat sesimpel mungkin tetap saja rada merepotkan. Mungkin pakaian lengan panjang serta celana panjang atau bawahan rok panjang masih mudah didapat. Tetapi kalau mencari jilbab dan jarum pentulnya, bisa dikatakan cukup sulit dan langka. Lebih-lebih saya orangnya pelupa dengan jarum pentul itu. Entahlah, apakah saya memiliki qorin yang doyan makan jarum pentul atau bagaimana.

Selain jilbab dan jarum pentul, pernak-pernik lain yang sulit dicari ialah konektor jilbab. Penularan virus di Amerika kini masih meroket. Jadi jika bepergian, saya mesti menggunakan masker. Sayangnya di sini untuk menemukan masker hijab juga tidak mudah. Jadi memang lebih enak kalau memakai konektor. Sedihnya saya hanya membawa 2 konektor jilbab. Itu pun yang satu sudah dibuang sama suami, karena saya minta tolong untuk membuang masker bekas saya.

Terlepas dari itu semua, bagaimana pun keadaannya, saya rasa kita mesti tetap bisa pandai-pandai untuk bersyukur. Saya juga mesti bisa ngadem-adem pikiran sendiri, karena memang jauh dari sanak keluarga atau teman sefrekuensi seperti dulu. Kendati nanti dalam realisasinya saya meyakini akan menuai banyak tantangan dan kesusah-payahan.

Dengan menjadi salah satu warga minoritas di Negeri Paman Sam ini, membuat saya sedikit bertambah wawasan tentang bagaimana cara mengejawantahkan laku-laku berislam. Di kampung saya yang hanya menganut Islam ala Imam Syafi’i, sekarang dituntut untuk belajar lebih dari itu. Ya karena itu tadi, ada banyak hal baru, cara pandang baru, sikap baru yang perlu penyesuaian di sana-sini.

Wallahula’lam


Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ahdina Constantinia

Muslimah yang kini berdomisili di Tempe, Arizona, USA.