Menikahlah, Maka Kamu Akan Menjadi Filosof!

slider
26 Maret 2019
|
9769

Sudah tak asing lagi bagi yang menggeluti dunia filsafat akan mengenal tiga filsuf paling berpengaruh yang berasal dari Yunani: Socrates, Plato, dan Aristoteles. Ketiganya dikenal sebagai pemikir besar, filsuf pada zamannya, kecerdasan mereka melampaui zaman. Tak heran jika sampai saat ini pemikiran filsafat ketiganya masih dipelajari dan namanya masih dikenang meskipun hidup jauh puluhan abad lamanya dengan kita.

Namun, apakah kunci dari semua pemikiran filsafat mereka? Bukankah ukuran otak sama seperti kita, tak mungkin juga kan para filsuf kepala dan otaknya lebih besar daripada kita? Bakalan lucu kalau begitu, akan seperti alien. Tapi mengapa pemikiran mereka bisa lebih menjulang dari kita dan mempengaruhi banyak filsuf-filsuf setelahnya sehingga dunia mengakui sebagai filsuf paling berpengaruh sepanjang masa, apa kuncinya?

Salah satu kunci yang membuat mereka menjadi filsuf dalam terawangan saya, yaitu berhubungan dengan perihal menikah. Hah... menikah, apa hubungannya menikah dengan kepintaran? Bagi kita yang bertanya begitu maka jawaban dari Socrates adalah, "Dengan segala cara: menikahlah. Jika mendapatkan istri baik maka akan bahagia, jika mendapatkan istri buruk maka akan menjadi seorang filsuf".

Lantas jika begitu maka semua orang berpotensi menjadi filosof! Tapi apakah hanya dengan menikah seseorang bisa menjadi filosof? Kenyataannya banyak orang yang sudah menikah tapi hidupnya biasa-biasa saja, kenapa Socrates mengatakan seseorang yang memiliki istri buruk akan menjadi seorang filosof? Kemungkinan besar dikarenakan seseorang yang memiliki istri buruk dalam hal kecantikan maupun perilaku lebih sering berpikir, ketimbang orang yang memiliki istri cantik dan baik.

Seseorang yang memiliki istri buruk seringkali merasa sumpek oleh perlakuan istrinya, membuat dirinya punya banyak kesempatan menjelajajahi semesta akal, dan belajar dari kesalahan-kesalahan istrinya, melihat istri yang jelek, kusam, tak pandai masak, setiap pulang kerja masakannya selalu tak enak, kasinen, kemanisen, atau bahkan hasil olahan makanan yang disajikan gosong dan pahit, klembat-klembut yang semuanya itu membuat si suami jadi berpikir tiap hari, tiap malam sampai-sampai ia tak bisa tidur hanya karena semalaman memikirkan istrinya yang tak kunjung tidak membahagiakan!

Bila dikaji secara lebih dalam, istri yang buruk mempengaruhi suami untuk berpikir lebih keras untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan dalam ruang lingkup keluarga. Dengan artian lain, istri buruk bukan hanya dari segi kecantikan saja namun juga dari segi perilaku, sebagai contohnya adalah ketika istri tidak bisa memasak, suami akan berpikir dua kali untuk mengajari istrinya memasak. Meskipun sebelum itu ia sama sekali tidak pernah memasak, namun ia akan berusaha mengajari istrinya.

Ya mau gimana lagi, mau tak mau suami harus belajar susah payah dan mengajari istri daripada setiap hari hanya makan dengan mengandalkan oven cook atau cuma telor ceplok. Sudah itu asin lagi. Kesalahan istri juga melatih kesabaran dan mental suami. Ketika suami baru pulang kerja dan sedang lelah-lelahnya plus lapar, perut keroncongan, namun setibanya di rumah ternyata istri tidak memasakan apa pun, akan terasa sangat menjengkelkan memang.

Bila memiliki istri begitu, hidup seakan sumpek, namun jika suami bisa menyikapi istri dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, ini akan melatih emosi suami untuk menjadi lebih welas asih, meningkatkan rasa syukur atas semua keadaan meskipun di rumah tak ada makanan. Keadaan istri buruk bukan hanya melatih suami dari segi IQ melainkan juga EQ, dan bukankah pengembangan diri seringkali bermula dari lingkup keluarga sebelum meluas ke kehidupan bermasyarakat?

Ini memang mungkin masalah sepele yang sering kita jumpai, namun siapa sangka permasalahan yang terpacak dalam pernikahan, dalam lingkup rumah tangga, dapat menjadi kunci untuk menjadikan seseorang sebagai filsuf dan pemikir hebat? Hal ini sudah juga dibuktikan oleh Aristoteles. Suatu hari ia ditanya oleh seorang pemuda, "Hei, kenapa engkau bisa sangat pintar seperti ini, apa kuncinya?" Dengan santainya Aristoteles hanya menjawab, "Aku belajar dari istriku".

Terkejut pemuda itu, ternyata kunci dibalik kecerdasan Aristoteles selama ini adalah istrinya, "Dialah guru yang membuat Aristoteles menjadi sangat cerdas", batin pemuda tersebut. Beberapa hari kemudian pemuda itu datang ke rumah Aristoteles untuk menemui istrinya. Namun ketika sudah menemuinya, ia malah ragu-ragu tentang penyataan Aristoteles. Di lihat-lihat istrinya tak terlalu cantik, dandanannya juga biasa-biasa saja. Lalu pemuda tadi mencoba mengajak istri Aristoteles berdiskusi.

Tapi kenyataannya istri Aristoteles tak terlihat pintar dan memiliki ilmu pas-pasan. "Bohong nih Aristoteles", gerutu si pemuda itu. Kemudian dengan rasa tidak percaya, pemuda itu kembali menghampiri Aristoteles. "Hei, bagaimana mungkin kamu belajar dari istrimu, istrimu saja tidak lebih pintar darimu, sudah gitu enggak cantik-cantik amat?" Lantas Aristoteles menjawab, "Aku belajar dari kesalahan-kesalahan istriku sehingga aku mampu berbuat lebih baik tanpa harus mengulangi kesalahannya".

Betul, kita bisa belajar dengan cara tak mengulangi kesalahan atau kesalahan-kesalahan orang lain untuk menjadi lebih baik; belajar dari tetangga, teman, keluarga, sahabat, ataupun (kalau punya) dari pacar dan terutama tentunya adalah kepada istri yang selalu dekat menemani suami. Namun kita belajar tidak dengan berarti mencari kesalahan-kesalahan orang lain dulu, tapi bahwa setiap kesalahan ada hikmahnya.

Setidaknya jika kita melakukan kesalahan kita bisa menjadi contoh buruk untuk mereka yang akan berbuat baik. Maka janganlah pernah menyalahkan istri jika ia melakukan kesalahan. Daripada kita terus-terusan memarahinya dan menyalahkannya hanya akan menimbulkan emosi dan sakit kepala dan hati, mending kita belajar barsama dari kesalahan-kesalahan kita sebagai satu keluarga.

Hidup akan lebih baik jika suami mampu membimbing istri untuk tidak melakukan kesalahan kembali, bukannya untuk menjadi bahan pelampiasan emosi dan itu hanya akan memperparah keadaan. Kembali pada apa yang diungkapkan Socrates di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa, jika ingin menjadi filsuf, maka menikahlah secepatnya.

Jangan ditunda-tunda kesempatan besar menjadi filosof sudah ada di depan mata. Tapi jangan diandaikan bahwa menikah dengan mengikuti alur perspektif Socrates, bahwa istri baik maka akan bahagia, jika mendapatkan istri buruk maka akan menjadi seorang filosof. Belum tentu begitu. Selain itu, pernyataan dari Socrates bisa jadi juga akan terjadi kebalikannya, bukan istri yang baruk, tapi yang buruk adalah suami, bahagia dengan istri buruk, jadi filosof dengan istri baik, dan kemungkinan lainnya.

Ah, emboh. Menikah saja sudah.


Category : catatan santri

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Rizki Eka Kurniawan

Lahir di Tegal. Seorang pembelajar psikologi dan filsafat Islam. Aktif dalam Forum Sinau Bareng Poci Maiyah Tegal.